Home Pendidikan Dekan Fakultas Kedokteran Presuniv Sebut Penanganan K3 Harus Lebih Promotif dan Preventif

Dekan Fakultas Kedokteran Presuniv Sebut Penanganan K3 Harus Lebih Promotif dan Preventif

Jakarta, Gatra.com - Dekan Fakultas Kedokteran, President University (Presuniv), Prof Budi Setiabudiawan mengatakan bahwa penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) harusnya lebih mengutamakan upaya-upaya yang bersifat promotif dan preventif.

"Kenyataannya penerapan K3 di Indonesia lebih bersifat reaktif dan kuratif. Ini mengindikasikan bahwa penerapan K3 lebih untuk memenuhi kewajiban, dan belum menjadi kebutuhan atau budaya," katanya dalam seminar Budaya K3, Sehat dan Selamat dalam Bekerja, Terjaga Kelangsungan Usaha di Tempat Kerja, Bergerak Bersama Komunitas Industri Jababeka.

Seminar ini diselenggarakan pada Jumat (26/1) dalam rangka memperingati bulan K3 nasional yang bertema Budayakan K3, Sehat dan Selamat dalam Bekerja, Terjaga Keberlangsungan Usaha.

Menurutnya, selain sebagai aset perusahaan, para pekerja adalah penggerak perekonomian bangsa dan tulang punggung keluarga. Dengan kondisi semacam itu, kesehatan dan keselamatan pekerja harus menjadi tujuan penting dalam penerapan budaya K3 di Indonesia.

"Kita sedang berada dalam masa transisi menuju era Industry 5.0. Era tersebut akan memicu munculnya beberapa perubahan. Misalnya, munculnya budaya kerja baru, bentuk dan pola kerja baru, perubahan jam kerja, dan bahkan lahirnya profesi-profesi baru," jelasnya.

Semua itu, lanjutnya, akan mempengaruhi risiko K3 bagi para pekerja. Oleh karenanya, diperlukan penyesuaian, transformasi dan inovasi pada semua sektor kehidupan dengan tetap menjaga efektivitas dan efisiensi dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan Penyakit Akibat Kerja (PAK).

Ia menyebut, di Fakultas Kedokteran Presuniv, para mahasiswanya sejak awal sudah diperkenalkan dengan budaya K3 melalui kurikulum dan kecirian kesehatan kerja. Para mahasiswa sudah memperoleh paparan program-program K3 langsung dari lapangan sedini mungkin.

"Ini agar mereka lebih memahami upaya untuk meningkatkan keselamatan dan kesehatan pekerja, dan bisa melakukan inovasi baru dalam bidang K3," ucapnya.

Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Presuniv, Maria Jacinta Arquisola Maria Jacinta menekankan bahwa biaya yang mesti ditanggung jika terjadi kecelakaan kerja bisa sangat mahal. Padahal, kecelakaan kerja bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

"Kita memerlukan lebih banyak lagi kegiatan tentang K3, sebab masih banyak kasus kecelakaan kerja. Selain itu juga masih banyak kasus yang muncul sebagai Penyakit Akibat Kerja atau PAK," tegasnya.

Koordinator Pemeriksaan Norma K3 di Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Kementerian Tenaga Kerja, Sudi Astono mencatat jumlah pekerja yang mengalami Kecelakaan Kerja (KK) dan PAK terus meningkat. Di tahun 2020 jumlahnya mencapai 221.740 pekerja, pada 2021 menjadi 234.370 atau naik 5,6%. Seiring dengan itu, biaya Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang dikeluarkan BPJS Ketenagakerjaan juga meningkat lebih dari 14% dari Rp1,56 triliun (2020) menjadi Rp1,79 triliun (2021).

Dari sisi usia, kelompok yang terbesar mengalami KK dan PAK adalah pada rentang usia 25 sampai 30 tahun.

"Mereka betul-betul kelompok usia yang sangat produktif. Ini tentu menjadi kerugian bagi kita," ucapnya .

Ia juga memandang pentingnya upaya promotif dan preventif, ketimbang reaktif dan kuratif. Melihat besarnya alokasi dana JKK dari BPJS Ketenagakerjaan, terlihat bahwa penanganan K3 masih lebih ke arah reaktif dan kuratif.

"Dari situ terlihat bahwa K3 masih belum menjadi budaya perusahaan," tegasnya.

Ia menyebut, kasus-kasus K3 berbanding terbalik dengan daya saing suatu negara. Jika kasus-kasus K3 meningkat, maka daya siang suatu negara akan menurun. Oleh karena itu, jika Indonesia ingin meningkatkan daya saingnya, upaya-upaya promotif dan preventif harus diutamakan. Bukan sebaliknya, reaktif dan kuratif.

35