Home Hukum Ketum APHA: Hari Kehakiman Momentum MA Sandingkan Hukum Adat

Ketum APHA: Hari Kehakiman Momentum MA Sandingkan Hukum Adat

Jakarta, Gatra.com – Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Prof. Laksanto Utomo, mengatakan, Hari Kehakiman Nasional pada 1 Maret 2024 merupakan momentum Mahkamah Agung (MA) mendudukan hukum adat atau living law bersanding dengan hukum positif nasional.

“Hari Kehakiman Nasional adalah waktunya berintrospeksi berpaling pada hukum lokal demi menjaga kelestarian kekayaan alam Indonesia untuk cucu masa mendatang,” kata Laksanto pada Jumat (23/2).

Pria yang juga mendapuk Guru Besar Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) tersebut, lebih lanjut menyampaikan, MA harus melepas mindset legalistik positivistik dan harus menyelami hukum adat yang di antaranya memiliki ketentuan tentang hutan dan kepemilikan ulayat.

Menurut dia, dalam menjaga kelestarian keseimbangan alam semesta, tentunya masyarkat adat tanpa memiliki surat-surat bukti formal. Karena hanya mengacu pada hukum positif, putusan pengadilan kerap tidak berpihak pada kepemilikan atau perkara-perkara terkait dengan masyarakat hukum adat.

Padahal, kata Prof. Laksanto yang juga dosen di Fakultas Hukum Sahid (FH Usahid) Jakarta ini, wilayah Indonesia yang sangat luas mempunyai bergam hukum adat karena banyaknya masyarakat adat di negeri ini.

Masyarakat adat merupakan bagian bangsa Indonesia yang masih patuh untuk menegakkan hukum adat sesuai dengan masing-masing kearifan lokalnya akan sangat mempermudah dan membantu penegakan hukum di Tanah Air.

Peneliti pada Lembaga Studi Hukum Indonesia (LSHI) ini, lebih lanjut menyampaikan, peran hukum adat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru sangat kecil. Meski demikian, KUHP memberikan atau mengembalikan hukum yang bersumber pada kearifan lokal dan mengembalikan keseimbangan dengan mengangkat hukum adat.

Prof. Laksanto mengatakan, Hari Kehakiman Nasional nanti juga harus menjadi momentum MA mengevaluasi penegakan hukum di Tanah Air dengan me-review putusan-putusan peradilan yang kerap tidak berpihak kepada masyarakat adat.

Menurutnya, jika mengamati perkara yang bersinggungan dengan masalah masyarakat hukum adat terkait dengan pertambangan, pengembang perkebunan, properti, dan lainnya, para penegak hukum selalu berpegang pada hukum positif legalistik dan peraturan tertulis serta peraturan-peraturan baku.

“Karena berpegangan pada hukum positif legalistik, niscaya masyarakat hukum adat akan terpinggirkan, bahkan akan punah dari peradaban di Indonesia,” ujarnya.

Menurut Prof. Laksanto, hal itu menjadi titik nadir ketidakepercayaan masyarakat adat kepada MA. Pasalnya, putusan-putusan yang tidak sesuai hukum adat dan sangat sangat melukai perasaan para pencari keadilan.

105