Home Hukum Pakar Hukum Nilai Perkara LNG Karen Agustiawan adalah Perdata dan Prematur

Pakar Hukum Nilai Perkara LNG Karen Agustiawan adalah Perdata dan Prematur

Jakarta, Gatra.com – Pakar hukum pidana Dr. Chudry Sitompul, S.H., M.H., menilai pembelian gas alam cair atau liquefid naturan gas (LNG) dari LNG Corpus Christi Liquefation yang membelit mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina, Galaila Karen Agustiawan, adalah perkara perdata.

“Bahwa ini objeknya bukan pidana, ini setidak-tidaknya administrasi negara,” kata Chudry dalam diskusi bertajuk “Membedah Eksepsi Karen Agustiawan: Pengadaan LNG Pertamina-Corpus Christi” di Jakarta akhir pekan kemarin.

Ia berpandangan demikian karena menurutnya persitiwa yang diperkarakan adalah sebuah perjanjian. Banyak yurisprudensi yang menyatakan bahwa kalau suatu perbutan yang berdasarkan perjanjian tidak serta merta merupakan tindak pidana. “Harus diselesikan dulu perdatanya,” kata dia.

Berdasarkan sangkaan dan dakwaan yang ditudingkan, lanjut dia, yakni diduga melanggar Pasal 2 atau 3 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun Pasal 3 mengatur soal menyalahgunakan kewenangan.

“Buktikan dulu karena penyelahgunaan wewenang itu bukan kewenangannya peradilan pidana,” ujarnya.

Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, lanjut Chudry, untuk menyatakan menyelehgunakan wewenang, ini ranahnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

“Itu jelas. Jadi kalau orang keberatan terhadap putusan pemerintah, dia bisa melakukan keberatan. Forumnya itu di PTUN,” ucapnya.

Ia lantas mencontohkan perkara mantan Guburnur Sumatera Utara (Sumut), Gatot Pujo Nugroho. Kala itu, OC Kaligis mengajukan gugatan ke PTUN terkait penyelidikan Kejati Sumut dalam perkara dugaan korupsi dana bansos.

“[Gugtan] ini dibenarkan, tidak bisa ini perkara dilanjutkan sebelum diperiksa di TUN,” ujarnya.

Chudry juga menilai bahwa surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak cermat karena prosedur penyidikannya diduga melanggar ketentuan.

Ia menjelaskan, kedudukan antara JPU dan terdakwa di dalam proses hukum adalah setara. Namun, penyidik tidak menghadirkan saksi-saksi yang meringankan bagi tersangka. Alasan silakan hadirkan saksi meringankan dan ahli di persidangan ini menunjukkan ketidaksetaraan.

Sebab, lanjut dia, Indonesia sudah meratifikasi hak-hak sipil dan hukum pidana ini sesungguhnya telah merampas hak asasi orang, yakni dengan adanya penangkapan, diperiksaan, penhanan, dan seterusnya. “Jadi mestinya tidak melihat satu sisi saja,” kata dia.

Menurut Chudry, surat dakwaan JPU KPK juga tidak menguraikan kejadian yang sebenarnya. Ada hal-hal yang sengaja tidak semua dimasukkan karena menyangkut manajemen administrasi negara yang harus dibuktikan terlebih dulu.

“Harus dibuktikan, apalagi BUMN itu kompleks sekali. Itu mestinya dijelaskan kepada orang,” katanya.

Lebih lanjut Chudry menyampaikan, kaksus ini sudah selesai atau belum peristiwanya, karena peristiwa itu didasarkan kontrak. Kontrak itu ada jangka waktu. “Jadi menurut saya, perkara ini adalah prematur. Orang belum selesai kok,” ujarnya.

Terlebih lagi, hanya parsial karena ada perubahan kontrak. Ini memerlukan pendapat dari ahli hukum perdata, kalau namanya amandemen itu bukan perjanjian baru, tetapi perubahan karena objeknya itu kerja sama. “Jadi menurut saya ini prematur,” ujarnya.

Sedangkan mengenai kerugian keungan negara, ia menilai dalam dakwaan tidak pasti. Padahal Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa kerugian tersebut harus nyata dan pasti.

“Ketika dibilang, bagaimana kerugian negaranya tidak lengkap, tidak cermat ini, apakah peristiwa pidananya sudah selesai atau belum? Kalau pembunuhan jelas orangnya mati, kalau penganiayaan orangnya luka, kalau pencurian barangnya sudah berpindah,” ia mencontohkan.

Selanjutnya, harus ada niat jahat atau mens rea. “Dia tahu enggak bahwa ini kerugian memang dia inginkan? Dia tahu ada kerugian dan diinginkan kerugian itu. Dia sadar itu akan terjadi? Tapi ini bisnis bagaimana bisa dipakai,” katanya.

Ia menyimpulkan, peristiwa ini bukan merupakan objek pidana, nanum setidak-tidaknya administrasi negara. “Kemudian, ini perkara prematur karena peristiwa pidananya belum selesai,” katanya.

Sebelumnya, JPU KPK mendakwa Karen melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Kourpsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

167