Home Ekonomi Koperasi Indonesia 4.0

Koperasi Indonesia 4.0

Jakarta, Gatra - Setiap tanggal 12 Juli, bangsa Indonesia memperingati Hari Koperasi Indonesia. Di usianya yang ke-72 tahun, Koperasi Indonesia telah mengalami perkembangan yang dinamis dalam menggerakan perekonomian nasional.

Sayangnya, perkembangan itu bersifat parsial dan tidak diarahkan secara strategis sebagai kekuatan utama dalam perekonomian nasional, terutama dalam mengurangi kemiskinan dan mewujudkan kemandirian pangan. Padahal yang menjadi cita-cita para pendiri negara, memposisikan Koperasi Indonesia sebagai sokoguru sistem ekonomi nasional berdasarkan Pancasila.

Tantangan Perjalanan bangsa Indonesia yang telah berusia 74 tahun ini menghadapi tantangan yang makin berat dan kompleks. Tantangan terberat dan krusial adalah kemiskinan struktural dan kesenjangan ekonomi serta ketersediaan pangan pokok. Angka rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional dalam 10 tahun terakhir berkisar 5,4%.

Angka ini belum mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi. Justru kesenjangan masih relatif besar ditandai gini rasio 0,41 tahun 2016 dan turun sedikit menjadi 0,393 pada tahun 2017 (BPS, 2017), dan 0,384 (BPS, 2018). Hal yang sama juga terjadi dalam penguasaan lahan. Sensus Pertanian 2013 tercatat, angka gini ratio penguasaan lahan sebesar 0,64 yang termasuk kategori sangat timpang (BPS, 2013). Kondisi yang mengkhawatirkan ini berbeda dengan era 1990-an.

Bank Dunia (1990) melaporkan bahwa gini rasio Indonesia rata-rata sebesar 0,30. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan Laos (0,32), Vietnam (0,37), Kamboja (0,39), Filipina (0,45,), Malaysia (0,49) Thailand (0,46). India (0,34) dan Cina (0,34) pada masa itu. Artinya, pemerintahan Orde Baru mampu mengurangi kesenjangan sosial ekonomi. Di samping itu, Laporan BPS (2018) juga mencatat bahwa tahun 2017-2018 indeks kedalaman kemiskinan menurun dari 1,74 tahun 2017, menjadi 1,63 tahun 2018.

Masih tingginya indeks ini menggambarkan bahwa jarak antara pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan semakin jauh, sehingga makin sulit mengentaskan kemiskinan. Hal serupa juga terjadi pada nilai indeks keparahan kemiskinan yang melonjak dari 0,44 tahun 2017 menjadi 0,41 tahun 2018. Jumlah penduduk miskin pun masih relatif tinggi.

Tahun 2017 sebesar 27,77 juta (10,64 persen) dari total penduduk Indonesia sebesar 262 hanya turun sedikit menjadi 25,56 juta pada September 2018 atau turun (0,46 persen). Angka ini masih relatif tinggi secara absolut dan cukup mengkhawatirkan, meskipun pemerintah mengklaim sudah dibawah 10%.

Artinya, program-program pembangunan infrastruktur yang marak di seluruh wilayah tanah air belum mampu mengurangi 2 kemiskinan dan kesenjangan sosial ekonomi di Indonesia. Kondisi kesenjangan pun diperkuat riset Oxfam dan INFID yang menyebutkan bahwa harta dari empat orang terkaya setara dengan gabungan dari harta 100 juta orang miskin di Indonesia. Artinya, rata-rata pertumbuhan ekonomi yang tinggi hanya dinikmati segelintir orang di Indonesia.

Credit Suisse juga melaporkan data serupa bahwa 1 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai 45,6 persen total kekayaan pada tahun 2012 dan meningkat menjadi 49,3 persen tahun 2016. Sementara, kekayaan 40 persen penduduk miskin menurun dari 2,1 persen tahun 2012 menjadi 1,3 persen tahun 2016 (Kompas, 10/11/2017).

Fenomena ini mengisyaratkan adanya anomali dalam kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi. Pada tataran mikro Indonesia, tantangan yang paling berat adalah penyediaan kebutuhan dasar (basic need) rakyat Indonesia utamanya ketersediaan pangan dan energi yang setiap tahunnya harganya selalu naik dan mencekik.

Laporan indeks ketahanan pangan global (Global Food Security Index) dan indeks kelaparan global (Global Hunger Index) masih memosisikan Indonesia dalam kategori mengkhawatirkan. The Economicst melaporkan bahwa pada tahun 2016-2018, angka GFSI Indonesia berada di bawah empat negara ASEAN yaitu: Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Bila tahun 2016 Indonesia berada di peringkat 71 (skor 50,6) dari 113 negara, maka tahun 2017 naik ke peringkat 69 (skor 51,3) dari 113 negara serta tahun 2018 di peringkat 65 dari 113. Meski demikian, posisi GFSI ini tetap dalam kategori mesti serius mengurusi pangannya. Jika terabaikan, ancaman kelaparan, kekurangan gizi dan kemiskinan menghantui.

Informasi lain terkait kedaulatan pangan bersumber dari laporan International Food Policy Research Institute (IFPRI). Indeks kelaparan global (Global Hunger Index/GHI) Indonesia tahun 2016 berada di peringkat 72 (skor: 21,9) dari 118 negara sama dengan tahun 2017 di peringkat 72 (skor 22,0) dari 119 negara. Lalu tahun 2018 GHI-nya berada diperingkat 73 (skor 21,9) dari 119 negara. Posisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kategori ancaman kelaparan serius (IFPRI, 2016, 2017, 2018).

Laporan Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN) tentang Food Sustainability Index (FSI) tahun 2017 juga memosisikan Indonesia di peringkat 32 (skor 52,4), jauh dibandingkan Ethiopia peringkat 12 (skor 65,4) dari 34 negara, hanya melampuai India dan UEA. Artinya, keberlanjutan penyediaan pangan di Indonesia masih kalah dibandingkan Ethiopia yang dikenal sering kelaparan. Beragam indikator mulai GFSI, GHI hingga FSI mengandung makna bahwa Indonesia rentan terhadap krisis pangan dan berpotensi terancam kelaparan.

Oleh karena itu, politik pembangunan pertanian di Indonesia mestinya berorientasi pada upaya mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. 3 Revitalisasi Peran Koperasi Di era industri 4.0, gerakan Koperasi Indonesia mestinya mendapatkan peran yang strategis untuk menyelesaikan problem kemiskinan, kesenjangan dan ketersediaan pangan pokok rakyat.

Era industri 4.0 yang ditandai digitalisasi memudahkan hubungan antar manusia, efisien dan produktivitas tinggi dalam segala aspek kehidupan. Era industri 4.0 melahirkan budaya ekonomi berbagi (sharing) dan berkolaborasi, baik “aset maupun akses” informasi serta sumber daya sehingga menghasilkan efisiensi kolektif. Jika ditelisik secara sosio-antropologi, esensi budaya semacam ini, sesungguhnya telah hidup dalam diri manusia Nusantara sebelum lahirnya Indonesia.

Budaya ini dikenal sebagai paham kekeluargaan yang menjadi akar filosofi Koperasi Indonesia. Makanya, Koperasi Indonesia memiliki pijakan ideologi yang berlainan dengan Koperasi di Eropa, utamanya negara-negara Skandinavia, bahkan mungkin bertentangan. Apabila koperasi di Eropa merupakan kerja sama antara individu ataupun perusahaan sejenis yang memiliki tujuan yang sama, bergabung secara sukarela untuk mendirikan koperasi agar dapat bekerja lebih efisien sehingga mampu bersaing di pasar, maka koperasi Indonesia justru merupakan institusi ekonomi yang sesuai dengan hakikat manusia Indonesia (Filsafat Etnik Nusantara). Manusia Nusantara adalah makhluk komunal sejati, homo socius sejati. Kehidupannya selalu diwujudkan dalam kelompok sebagai kesatuan yang utuh.

Manusia Nusantara merasa tidak memiliki arti, jika tidak berada dalam kesatuan kelompoknya. Manusia Nusantara bukan individu terasing yang bebas dari segala ikatan dan semata-mata hanya ingat pada keuntungan diri sendiri sebagaimana yang digagas kaum individualis. Mereka adalah manusia yang lebih mengutamakan hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat.

Dalam kenyataannya, setiap individu Manusia Nusantara akan selalu terikat dengan masyarakatnya atas dasar solidaritas dan kerja sama antar individu dalam rangka mempertahankan diri dan memastikan pemenuhan kebutuhan hidup diri dan keluarganya.

Hal itulah yang menjadi dasar institusionalisasi bentuk-bentuk kerjasama tradisional, yang oleh Ropke (2005), disebut sebagai lembaga-lembaga koperasi asli (Authenthonous Cooperative Instutions). Dari pijakan idiologi yang khas secara filosofis, gerakan Koperasi Indonesia diwujudkan menjadi bentuk “Demokrasi Ekonomi” sebagaimana tercantum dan diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945.

Pada tataran impelementatif di era industri 4.0, gerakan Koperasi Indonesia lebih tepat diarahkan untuk membangun koperasi pedesaan karena, pertama, kemiskinan dan pengaruh globalisasi rentan terhadap rakyat miskin yang sebagian besar hidup di pedesaan.

Gerakan pemberdayaan dari, oleh, dan untuk mereka sendiri dilandasi jiwa dan semangat gotong royong yang merupakan nilai dasar Pancasila menjadi sebuah keniscayaan. 4 Kedua, dalam badan usaha koperasi, keluarga miskin yang menjadi anggotanya memiliki identitas ganda, yaitu sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.

Identitas inilah yang membedakan koperasi dengan badan usaha lainnya sehingga koperasi memiliki fungsi pemberdayaan sekaligus perlindungan. Fungsi pemberdayaan usaha dilakukan melalui subsidi silang dan pengambilan risiko bersama (tanggung renteng), sedangkan, fungsi perlindungan melalui jaminan harga dan pasar barang/jasa kebutuhan anggota.

Kedua fungsi tersebut mesti dikelola berdasarkan prinsip-prinsip perusahaan agar menghasilkan nilai tambah, baik yang berdimensi ekonomi maupun sosial. Pada gilirannya koperasi akan bermanfaat besar bagi anggotanya untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan secara mandiri dan berkelanjutan.

Koperasi Indonesia juga mesti memiliki keunggulan daya saing dalam menghasilkan produk berkualitas tinggi dengan harga yang terjangkau. Terkait hal itu, koperasi mesti lebih produktif dan mengembangan jaringan usaha yang efisien secara nasional dalam bentuk arsitektur ekonomi rakyat berbasiskan koperasi. Model ini mesti didukung teknologi digital agar tercipta budaya saling berbagi (sharing) aset dan akses sumber daya ekonomi untuk menciptakan efisiensi kolektif.

Dalam arsitektur ekonomi rakyat ini, koperasi harus mempunyai dua pilar utama, yakni jaringan kelembagaan ekonomi rakyat yang merupakan jaringan lembaga distribusi nasional dan jaringan keuangan nasional yang sehat dan kuat berbasis digital. Idealnya, koperasi dapat membentuk dan memiliki seluruh jaringan tersebut lewat kemitraan setara dengan BUMN dan swasta dengan memanfaatkan teknologi informasi/digitalisasi.

Diharapkan dengan berkembangnya jaringan tersebut, koperasi Indonesia akan menjadi unicorn-unicorn Indonesia yang berperan utama dalam kegiatan ekonomi rakyat khususnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Tugas kita bersama sebagai anak bangsa saat ini adalah menjadikan peringatan Hari Koperasi yang ke-72 sebagai momentum untuk membangun kembali dan merevitalisasi peran Koperasi Indonesia secara besar-besaran khususnya di pedesaaan sehingga tercapai dua sasaran sekaligus, yaitu meningkatnya kesejahteraan seluruh rakyat dan kemandirian pangan. Selamat Hari Koperasi!

Subiakto Tjakrawerdaja
Pengamat Ekonomi