Home Gaya Hidup Seniman Afghanistan, Bali, dan Padang Ungkap Pesan Toleransi

Seniman Afghanistan, Bali, dan Padang Ungkap Pesan Toleransi

Bantul, Gatra.com - Tiga seniman muda berbeda etnis dan latar belakang memamerkan karya mereka. Menariknya, salah satu perupa berasal dari Afghanistan yang mengungkapkan syukurnya bisa bebas berkarya di negeri damai dan toleran seperti Indonesia.

Pameran bertajuk ‘Flow of Tertiary’ digelar di Indieart House di Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 23 Juli - 6 Agustus 2019. Tiga perupa yang menunjukkan karyanya adalah Wayan Yusa Dirgantara, Ridho Rizki, dan Amin Taasha.

Yusa, perupa 24 tahun asal Bali, memboyong dua karya berupa kolase kanvas. Ada ‘Flow’ ukuran 18 x2 meter dan ‘Flow’ #2 dimensi 1,3x1,4 meter yang menggabungkan 7-8 potongan kanvas dengan warna dan tekstur beragam karena diperlakukan secara berbeda pula.

“Saya ingin menampilkan proses berkarya, behind the scene (di balik layar)-nya, dan mengalir, seperti judulnya ‘ flow’ ke ruang pameran ini. Ini kolase berbagai kanvas dari katun sampai bahan sintetis. Kanvas-kanvas ini ada yang dilukis sampai dicuci layaknya proses pada batik,” tutur Yusa pada Gatra.com, usai pembukaan pameran, Seasa (23/7).

Baca Juga: Kecil Itu Indah, Menikmati Karya Seni Ukuran Mini

Ridho Rizki, rekan seangkatan Yusa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta 2014 dari Padang, juga mengetengahkan dua lukisan yang dieksekusi senada. Dua karyanya dengan medium akrilik di kanvas 140 centimeter persegi diberi judul ‘Ada-Tiada’.

Ridho memainkan komposisi dan gelap terang sehingga ilustrasi sederhana sebuah lekukan dan lipatan kain coklat dengan gurat kehijauan yang seakan terhampar dan tersampir di sebuah bidang datar tampak meyakinkan.

Selain empar karya mereka, pameran ini juga menampilkan empat karya lain milik Amin Taasha, perupa 25 tahun, asal Afghanistan. Ia menampilkan tiga lukisan di medium seragam, cat air emas dan perak di kertas timbul ukuran 45 x120 centimeter.

Di tiga karya berjudul ‘FairyTail’, ‘The Jurney’, dan ‘Infinite Sky’ ini, Amin menggambar tentang perwujudan Buddha, warga Afghanistan dengan busana adatnya, siluet hewan-hewan seperti kuda dan gagak, yang berbaur dengan guratan warna terang di tengah sapuan warna gelap.


Suasana pameran seni 'Flow of Tertiary' di Indieart House, Bantul, 23 Juli-7 Agustus. Salah satu peserta pameran adalah perupa muda Afghanistan, Amin Taasha, yang bersyukur bisa berkarya di Indonesia yang damai dan toleran. (GATRA/Arif Hernawan/re1)
 

Di atas ruang pamer, Amin menggantung patung kepala Buddha dan burung-burungan warna hitam. Pemuda yang berada di Indonesia sejak 2013 ini memberi judul karya ini ‘The Heritage That We Lost’ yang berbicara tentang kehancuran budaya lokal akibat konflik dan perang.

Baca Juga: Borobudur Today 2019, Perdamaian Lewat Seni

Karya-karya mahasiswa ISI 2014 ini terasa personal. Apalagi ini menyangkut pengalamannya mengingat rumah Amin tak jauh dari patung Buddha raksasa di Bamiyan, sekitar 130 kilometer dari Kabul, Afghanistan, yang dihancurkan Taliban pada 2001.

“Semua (karya saya) ini tentang budaya Afghanistan yang hilang. Saya bersyukur di sini masih bisa bebas berekspresi dan bikin pameran. Di sini aman, peace (damai). Itu yang harus dijaga,” kata Amin dengan bahasa Indonesia patah-patah.

Kurator pameran ini, Sujud Dartanto, menyebut karya-karya perupa muda ini punya impresi kuat karena memperlakukan objek secara intim tapi juga pekat dengan pesan. Karya Yusa dan Ridho membawa elemen budaya daerah mereka. Karya Amin juga memuat metafora yang seolah mengingatkan masa renaisans seni di Timur Tengah dan seni klasik Persia.

“Amin jadi saksi bahwa toleransi dan integrasi itu penting. Dia bahkan mengatakan ‘kalian beruntung, persatuan di sini masih kuat’. Bersama Ridho dan Yusa, mereka prihatin atas tragedi tapi sekaligus tunjukkan keceriaan bisa berkarya bersama. Mereka mengingatkan persamaan dalam perbedaan,” tutur Sujud saat membuka pameran.

378