Home Milenial Kisah Etnis Tionghoa Masa Orba di Mata Pelajar Purbalingga

Kisah Etnis Tionghoa Masa Orba di Mata Pelajar Purbalingga

Purbalingga, Gatra.com – Siswa SMK Negeri 1 Purbalingga  membuat  film dokumenter tentang kisah etnis Tionghoa semasa Orde Baru. Mereka mengangkat kisah-kisah perjuangan orang-orang Tionghoa di Purbalingga dalam melewati kekuasaan Orde Baru dalam film  yang judul  Orang-Orang Tionghoa 

Sutradara, Icha Feby Nur Futikha, mengatakan, setelah melakukan riset, ia dan teman-temannya membidik tiga subjek  yang dianggap mewakili masalah-masalah yang dialami etnis Tionghoa pada masa orde baru. “Subjek orang Tionghoa yang dari dulu tetap beragama Konghucu, yang beragama Katolik, dan yang beragama Islam,” katanya,  dalam keterangan tertulis yang diterima Gatra.com, Sabtu (1/6).

Film itu  menceritakan  warga Tionghoa di Indonesia pada masa Presiden Soeharto yang wajib berganti nama Indonesia bila ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).  Ketiga subjek ini harus berganti nama masing-masing sesuai dengan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang peraturan ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama Cina.

“Film  ini masih dalam tahap editing,” kata siswi kelas X Jurusan Otomatisasi Tata Kelola Perkantoran (OTKP) ini.

Menurut Periset data, Rena Aryana Putri,  film itu juga menggambarkan proses pemaksaan  negara  terhadap etnis Tionghoa untuk menganut agama yang diakui pemerintah. Pada  saat itu hanya ada lima agama yang diakui dan tercantum dalam KTP.

Salah satu tokoh yang harus berganti KTP itu adalah Ambing Setiawan. Ia yang  beragama Konghucu menuliskan "Kristen"  pada kolom agama di KTP-nya. Itu dilakukannya karena ia tak mau disebut melawan pemerintah. “Pada tahun 1975, Om Ambing pernah rela KTP-nya ditulis Kristen di kolom agama. Ya itu, karena saat Orde Baru, hanya lima agama yang diakui negara,” kata Rena.

Selain soal agama Konghucu yang tidak diakui negara, pada masa Orde Baru, kebudayaan Tionghoa juga  diberangus. Orang tidak lagi bebas menyaksikan kesenian Liong, Barongsai, dan Wayang Potehi seperti sekarang ini. “Baru setelah Reformasi,  pada era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur, agama Konghucu dan budaya Tionghoa mulai menghirup udara bebas hingga Presiden Joko Widodo sekarang,” ujar Renda.

Icha merasakan  keasyikan dalam membuat film dokumenter. Mereka memperoleh informasi baru dan mempelajari banyak hal. “Awalnya  membosankan, namun semakin banyak informasi yang kami dapat, ternyata ada tantangan di situ. Kami mendapat pengetahuan yang sama sekali tidak kami peroleh di bangku sekolah,” katanya.

Sayang, pihak sekolah tidak merespons kreativitas siswa-siswinya dalam memproduksi film ini. Karena itulah, para siswa lantas patungan dan meminjam kamera serta meminta pendampingan dari Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga untuk membuat film tersebut.

1225