Home Gaya Hidup Penghayat Kepercayaan di Tengah Arus Zaman

Penghayat Kepercayaan di Tengah Arus Zaman

Banyumas, Gatra.com - Kemajuan teknologi dan perkembangan dinamika kehidupan sosial masyarakat menuntut para penghayat kepercayaan dapat beradaptasi. Para pewaris nilai-nilai budaya leluhur ini harus mampu menunjukkan eksitensi di tengah arus zaman.
 
Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, mengatakan, zaman modern merupakan era kebebasan menunjukkan eksitensi diri. Oleh karena itu, penghayat kepercayaan harus berani tampil percaya diri di depan publik. 
 
Menurut penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk ini, eksistensi kelompok penghayat itu  dilindungi oleh undang-undang, dan memilih kepercayaan itu merupakan hak asasi. Karena itu, komunitas ini tidak perlu merasa kecil.
 
"Perlu ditegaskan secara umum, para penghayat kepercayaan ini pun mempercayai Ketuhanan Yang Maha Esa semenjak sebelum masuknya agama, baik dari India, Eropa, maupun Timur Tengah," katanya pada Dialog Budaya Spiritual Balai Pelestari Nilai Budaya DI Yogyakarta di Hotel Wisata Niaga Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (27/6). 
 
 
Menurut Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Kabupaten Banyumas ini, para penghayat kepercayaan perlu memublikasikan ajaran dan identitas yang merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Hal itu bisa dilakukan dengan menulis artikel, atau bentuk tulisan yang lain, untuk menjaga eksistensi. 
 
Bahkan, kata Tohari, mereka juga bisa turut andil memengaruhi kebijakan publik. Salah satunya dengan cara bergabung dengan partai politik. "Saya dorong masuk ke partai. Silakan pilih partai yang tidak berbasis agama, jadi anggota legislatif, pengaruhi kebijakan. Jangan hanya jadi penonton," katanya. 
 
Novelis ini mengatakan, budaya spiritual merupakan realisasi cipta, karya dan karsa manusia yang dibangun atas kepercayaan terhadap Tuhan. Ajaran nenek moyang yang telah ada sejak ribuan tahun silam ini juga mengenal berbagai sebutan terhadap Sang Pencipta, seperti "Sangkan lan Paraning Dumadi", "Sanghyang Tara", dan "Sing Akarya Jagat".  
 
Apabila direnungkan, kata Tohari, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini tidak lain merupakan bentuk monoteisme atau dalam bahasa agama Islam yaitu tauhid. 
 
"Penghayat kepercayaan itu yakin Tuhan menciptakan bumi dan seisinya. Dalam aspek kepercayaan saya sebagai orang Islam ini berangkat dari tauhid, keyakinan monoteisme yang disebut dalam bahasa penghayat kepercayaan yaitu Tuhan Yang Maha Esa," ujarnya. 
 
Sementara penghayat kepercayaan asal Kebumen, Rocky Irawan, mengatakan, anggota kelompok kepercayaan kerap merasa kesulitan untuk menampilkan identitasnya di tengah masyarakat umum. Bahkan, kadang mereka mengalami tindak perundungan. "Tetapi, kami tetap berupaya mendampingi. Terutama dari kalangan pelajar. Mereka sering mendapat perlakuan diskriminatif," tuturnya. 
 
Menurut Rocky, penghayat kepercayaan perlu membangun jejaring lebih luas. Hal itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi dan internet. "Manfaatkan media sosial, bangun jaringan lebih luas. Kami akan membuat kanal video untuk mengenalkan kegiatan penghayat kepercayaan," ucapnya.
951