Home Ekonomi Beralih ke Pangan Lokal, Tidak Melulu Beras dan Gandum

Beralih ke Pangan Lokal, Tidak Melulu Beras dan Gandum

Indonesia terlalu tergantung pada beras dan gandum sebagai sumber pangan. Padahal banyak pangan lokal lain yang belum dimanfaatkan. Alternatif lebih baik daripada impor.

Sulit melepas kebiasaan lama yang sudah bertahun-tahun. Begitulah yang terjadi pada pola konsumsi pangan di Indonesia yang terlalu tergantung pada beras.

Dulu pada tahun 1990an, setidaknya buku pelajaran SD di sekolah masih mengajarkan bahwa makanan pokok orang Maluku adalah sagu, sedang orang Madura makan jagung.

Tapi bila Anda kini mengunjungi Maluku atau Madura, hal itu sudah tidak ada lagi. Hampir semuanya mengonsumsi beras.

Sebagian karena salah sejarah. Dulu Indonesia pernah mencapai swasembada pangan pada 1984. Tapi swasembada pangan itu hanya bertumpu pada satu komoditas pokok, yaitu beras.

Penekanan pada komoditas beras oleh pemerintah Orde Baru ketika itu, meski meningkatkan produksi, juga berdampak pada tersingkirnya pangan lokal dan tumbuhnya budaya mengkonsumsi beras.

Pangan pokok (staple food) bangsa Indonesia yang tadinya beragam pun makin monolitik.

Selama sekian tahun kebiasaan makan beras itu terus bertahan. Akhirnya ketika lahan pertanian makin menyusut dan pemerintah makin mengimpor beras, barulah disadari bahwa hilangnya keberagaman pangan pokok yang dulu merupakan budaya bangsa Indonesia justru kerugian luar biasa.

 

Membangkitkan lagi pangan lokal

Pertanyaannya memang bisakah itu dilakukan? Mungkinkan para generasi yang sejak kecil selalu mengonsumsi beras bisa beralih ke pangan pokok lain?

Jelas tidak mudah. Budaya yang sudah terbentuk sekian tahun memang tidak bisa diganti dalam waktu singkat.

Tapi setidaknya pemerintah sudah menyadari kesalahannya dan kembali berusaha melakukan pengankeragaman pangan. Ketentuan tentang diversifikasi pangan iu antara lain tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.

Setelah itu berbagai upaya diversifikasi pangan, juga berbagai kampanye pangan lokal non-beras terus digenjot. Program diversifikasi pangan pun jadi program resmi Kementerian Pertanian sejak beberapa tahun terakhir.

Terutama pada 2018 lalu, program diversifikasi pangan itu terus digenjot. Festival pangan lokal non-beras pun makin ramai, diadakan oleh pemerintah daerah masing-masing.

Meski memang masih butuh waktu untuk bisa kembali ke era keberagaman staple food seperti dulu. Maklum, budaya memang sulit diubah.

“Dulu kita memang menekankan pada swasembada pangan pada beras, tapi ya kayak kebabalasan karena semua kebutuhan pangan dikonversi jadi beras,” kata Bambang Brodjonegoro, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) ketika membuka Workshop Nasional Fortifikasi Pangan, 19 Februari lalu.

 

Budaya pangan lokal yang lenyap

Indonesia sebenarnya sangat kaya akan pangan lokal. Berbagai pangan lokal ini dulu juga menjadi makanan pokok (staple food). Beberapa di antara lain: sorgum, sukun, singkong, gembili (sejenis ubi rambat), ubi talas, ubi jalar, kentang, hingga ganyong.

Gandum bukan termasuk pangan lokal. Perlu diingat bahwa gandum merupakan tanaman sub-tropis, tidak cocok tumbuh di Indonesia. Tapi mengapa roti atau biskuit sangat populer? Bila menengok isi makanan kemasan yang dijual di minimarket misalnya, hampir semuanya berbahan dasar gandum.

Lagi-lagi ini soal kebiasaan. Indonesia pertama kali mulai mengimpor gandum pada tahun 1968. Tapi setelah itu, pemerintah Orde Baru membuka kran impor gandum. Bahkan pabrik pengolahan gandum pun dibangun.

Perlahan pola makan pun berubah. Penetrasi gandum terhadap budaya makan makin kuat. Mie instan, yang terbuat dari gandum, pun makin populer di Indonesia

Bagi generasi muda yang lahir ketika era impor gandum sudah merajalela, mungkin sulit membayangkan bahwa roti bukanlah makanan asli Indonesia. Bahkan gandum sulit ditanam di Indonesia.

Kuntoro Boga Adi, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, misalnya bercerita bagaimana ia semasa kecil dulu jarang makan gandum. Tapi kini pola makan generasi sesudahnya berubah. “Anak saya hampir tiap hari makan donat,” katanya kepada GatraReview.

Padahal perubahan budaya pangan bisa jadi hal yang berbahaya. Kasus gizi buruk yang menimpa warga suku Asmat di Papua, pada 2018 lalu bisa jadi contoh

Sekadar informasi, kasus gizi buruk Asmat adalah kasus gizi buruk luar biasa yang terjadi di kabupaten Asmat, Papua. Hingga Februari 2018, sudah 72 anak meninggal, sebagian besar karena campak. Pemerintah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dan mengirim tim medis sekaligus bantuan makanan.

Mengapa warga Asmat mengalami gizi buruk?

Nurpudji Taslim, guru besar ilmu gizi Universitas Hasanuddin (Unhas), Makasar, yang mendatangi lokasi bersama tim medis dari Unhas, ketika itu memberi keterangan tertulis ke berbagai media bahwa salah satu penyebab KLB gizi buruk itu adalah “perubahan pola makan”.

Dulu, warga suku Asmat menanam sagu sendiri dan mengonsumsi sagu. Tapi lewat program Raskin (Beras untuk rumah tangga miskin), pemerintah mulai mengenalkan “budaya makan beras” ke warga Asmat. Warga tidak lagi menanam sagu, dan beralih ke beras.

“Sudah terjadi pergeseran pola makan yang luar biasa. Dulu mereka makan sagu dengan ikan, tapi kini beras dengan mie instan sebagai lauk,” jelas Nurpudji.

Tapi ketika beras Raskin terlambat datang, warga Asmat yang sudah tidak lagi memiliki pohon sagu terpaksa membeli sagu dari para pendatang. Tapi harganya mahal, dan tidak semua warga memiliki kemampuan untuk membeli. Akibatnya mulai terjadi kelaparan.

“Kebijakan pemerintah yang mengubah pola makan yang tadinya berbasis pangan lokal menjadi beras Raskin harus diubah. Itu menimbulkan banyak masalah,” kata Nurpudji.

 

Akses mudah terhadap pangan lokal

Harus diakui bahwa menghidupkan lagi budaya pangan lokal yang sempat lenyap memang tidak mudah. Selain karena kebiasaan memang sulit diubah, ada faktor lain, yaiu akses.

Pengamat pertanian, Khudori, misalnya mengatakan bahwa saat ini isu diversifikasi pangan sejatinya adalah isu akses terhadap pangan lokal tersebut.

Gandum sebagai produk impor dari negara sub-tropis lagi-lagi bisa jadi contoh.

Menurut Khudori, meski pemerintah berusaha menekan ketergantungan terhadap gandum, faktanya gandum dan produk turunannya (tepung terigu) merupakan bahan pangan yang mudah didapat dan harganya pun murah.

Tapi kondisi berbeda terjadi di pangan lokal. Pasar tradisional mana di Jakarta misalnya, yang masih menjual singkong atau ubi jalar?

Faktanya, terutama di kawasan perkotaan, lebih mudah mendapatkan gandum daripada singkong. Karena itu upaya diversifikasi pangan pun terhambat. “Kalau warga didorong untuk mengonsumsi pangan lokal, produknya harus tersedia dan harganya juga murah. Bila dua hal ini belum tercapai, industri juga akan mencari jalan termudah,” katanya.

Sejauh ini Khudori melihat bahwa akses masyarakat terhadap pangan lokal masih belum mudah. Karena itu kampanye diversifikasi pangan harus segera diiikuti dengan kebijakan strategis yang bisa mempengaruhi industri makanan.

Sebab, bila upaya diversifikasi pangan tidak segera diikuti dengan industrialisasi pangan lokal, dikhawatirkan justru gandum yang lagi-lagi akan mendapat untung. Kampanye “tidak makan beras” misalnya justru berpotensi meningkatkan konsumsi gandum.

Menurut Khudori, itu terlihat dari porsi gandum dalam pola konsumsi nasional yang makin tinggi. “Saat ini sekitar 25%,” katanya.

 

Staple food tidak pernah jauh dari kita

Masih banyak tantangan lain yang harus dihadapi pemerintah dalam upaya membangkitkan lagi diversifikasi pangan.

Tapi yang terpenting, harus ditanamkan kesadaran bahwa pangan pokok bukanlah sesuatu yang monolitik. Tiap suku atau bangsa memiliki pangan lokalnya sendiri, yang tidak harus sama.

Bahkan menurut Khudori, bila kita melihat bagaimana dulu di Indonesia tiap daerah memiliki tanaman lokallnya sendiri, itu mengindikasikan bahwa tanaman itulah yang merupakan makanan pokok (staple food) masyarakat daerah itu.

“Mengapa dulu sorgum banyak di NTT, jagung di Madura, sagu di Maluku dan Papua? Itu cara Tuhan mengatur, bahwa yang namanya staple food itu tumbuhnya di dekat masyarakat itu tinggal,” katanya.*

 

Basfin Siregar