Home Teknologi Aktivitas Gunung Slamet Terpengaruh Gerakan Lempeng Selatan

Aktivitas Gunung Slamet Terpengaruh Gerakan Lempeng Selatan

Purwokerto, Gatra.com – Geolog Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, Fadlin menilai meningkatnya aktivitas Gunung Slamet terkait dengan aktifnya lempeng di selatan Pulau Jawa. Pergerakan lempang akan direspons dengan meningkatnya aktivitas gunung di sisi utara batas lempeng.

Menurut dia, hal itu adalah lumrah atau wajar. Sebaliknya, jika tidak ada respons dari gunung api aktif di utara lempeng, justru patut dipertanyakan.

Meski wajar dan lumrah, pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa mengkhawatirkan situasi tersebut atas dinaikkannya status Gunung Slamet ini yang semula normal menjadi waspada?

Sebagaimana diketahui, keberadaan media sosial mengenai kebencanaan terkadang ditanggapi secara berlebihan. Di antara informasi yang benar dan bisa dipertanggungjawabkan, acap kali terselip kabar bohong alias hoaks.

“Kebencanaan umumnya akan di respons berlebihan oleh masyarakat sehingga menciptakan kekhawatiran yang berlebihan pula pada masyarakat, terutama masyarakat sekitar Gunung Api Slamet,” ucapnya, dalam keterangannya kepada Gatra.com, Minggu (11/8) sore.

Fadlin yang juga anggota Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia menjelaskan, berdasarkan data-data geologi Gunung Slamet, hasil studi teknik geologi Unsoed, dan juga dari hasil penelitian para ahli geologi gunung api (vulkanologi) Indonesia lainnya yang sudah banyak diterbitkan menunjukkan bahwa komposisi geokimia magma Gunung Slamet terefleksi pada produknya berupa batuan Gunung masih bersifat "basaltic".

“Artinya kalaupun terjadi erupsi pada Gunung api Slamet,” ucapnya.

Karenanya, letusan atau erupsi Gunung Slamet tidak akan begitu berbahaya atau relatif aman. Karena karakter letusan yang akan dihasilkan maksimal di level "strombolian".

“Seperti percikan kembangapi,” ujar ahli Vulkanologi, Endapan Mineral, dan Geokimia ini.

Menurut dia, jangkauan radius aman adalah satu kilometer. Bahkan, secara ekstrem momentum tersebut justru bisa dijadikan wisata. “Untuk berwisata atau geowisata Gunung, tentunya pada radius aman tadi,”  kata Sekjen Kelompok Studi Geologi Jawa Tengah (KSGJT) ini.

Terkait hal ini, ia menyarankan  pemerintah agar setempat untuk lebih mengenali karakter bencana geologi yang ada di wilayahnya masing-masing, dengan cara menginventarisasi karakter dan potensi bencana tersebut. Dengan begitu, akan dihasilkan peta zonasi rawan bencana yang lebih baik dan akurat.

Ia juga menyarankan  pemerintah untuk menggandeng institusi-institusi terkait, seperti teknik geologi Unsoed, sehingga situasi yang kini tengah dihadapi bisa ditanggapi dengan efektif dan efisien agar tidak menimbulkan keresahan terhadap masyarakat.

“Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa data-data tersebut dapat dijadikan acuan atau rujukan dalam membuat suatu regulasi-regulasi dalam pengembangan suatu daerah,”  kata Fadlin, dosen mata kuliah geokimia, vulkanologi, dan endapan mineral, Fakultas Geologi, Unsoed ini.

Fadlin juga menilai bahwa peningkatan status Gunung Slamet dari normal menjadi waspada oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) adalah wajar. Menurut dia, hal itu sudah berdasarkan data yang terekam pada aktivitas Gunung Slamet dalam periode pengamatan sebelumnya.

“Sudah sesuai dengan SOP standar dari Direktorat Vulkanologi Indonesia tentang bencana letusan gunung berapi,” katanya.

161