Home Politik Muhammadiyah dan Koalisi Tolak RUU Pertanahan

Muhammadiyah dan Koalisi Tolak RUU Pertanahan

 

Jakarta, Gatra.com - Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah bersama Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan sejumlah koalisi masyarakat sipil menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Alasannya, karena dinilai liberal, menguntungkan korporasi, dan merugikan petani, nelayan, serta masyarakat adat.

Penasehat Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Mochtar Luthfi menyebut RUU Pertanahan mengembalikan aturan di masa kolonial Belanda . Domein Verklaring menetapkan, tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, secara otomatis menjadi milik negara.

"Secara fikih, kata "milik negara" sudah haram digunakan. Ini yang paling krusial," ujar Mochtar Luthfi dalam konferensi pers di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (3/9).

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika mengatakan, RUU tersebut hanya mengambil pasal 33 UUD 1945 serta UU Pokok Agraria. Namun, secara substansi justru sangat bertentangan dengan semangat reforma agraria.

"Ini bukannya hendak menata ulang ketimpangan agar lebih adil, tetapi justru akan memperparah ketimpangan itu. Dengan memberikan banyak kemudahan bagi korporasi, tetapi membatasi ke masyarakat kecil," kata Dewi.

Selain bermasalah di bagian konsiderans, Dewi menyebut, banyak pasal yang akan sangat merugikan petani dan masyarakat kecil. Ini terletak di bab hak guna usaha, bab hak pengelolaan serta bab reforma agraria.

Selain itu, Dewi menilai, RUU Pertanahan akan semakin menambah peraturan perundang-undangan yang semakin tumpang tindih dengan UU Perkebunan, UU Minerba, hingga kehutanan.

"Urusan tanah itu kan domain di semua sektor, tidak bisa hanya di bawah yurisdiksinya ATR/BPN saja," ujar Dewi.

Peneliti Pusat Studi Agraria Insititut Pertanian Bogor Lina Mardiana menilai, mandat pengelolaan tanah yang akan didominasi oleh negara diatur dalam RUU Pertanahan. Hal tersebut justru akan menjadi pintuk masuk bagi kapitalisme yang disponsori oleh negara.

"RUU ini kental menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi dan politik. Bisa dilihat jelas, tanah masuk mekanisme pasar yang bisa diagunkan ke berbagai bentuk. Ini kapitalis liberal," ujar Lina.

Muhammadiyah bersama masyarakat sipil sepakat, pembahasan RUU Pertanahan yang cenderung kejar tayang agar segera dihentikan dan tidak disahkan. Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Wahyu A Perdana menilai, RUU Pertanahan disahkan dengan kondisi draf terbaru. Justru, akan semakin memperbesar kerusakan lingkungan dan meningkatkan konflik agraria.

 

1186