Home Teknologi Teknologi Milenial Pengurai Limbah Cair

Teknologi Milenial Pengurai Limbah Cair

Jakarta, Gatra.com - Edwin Permana, menciptakan teknologi instalasi pengolahan air limbah (IPAL), eksperimental, murah dan berbahan lokal. Hasil olahan limbahnya bisa digunakan kembali sebagai air bersih.

***

Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal warga Desa Puntan, Kelurahan Ngijo, Kecamatan Gunungpati, Semarang, meluap Juli lalu. Warna limbah hitam pekat dan mengeluarkan aroma tak sedap. Alirannya merambat hingga daerah persawahan masyarakat sekitar. Parahnya, sebagian lagi masuk ke sungai-sungai kecil.

Berdasarkan pengakuan salah satu warga, Trisno, IPAL tersebut dibangun Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang tahun 2014. Baru tiga bulan beroperasi, kata Trino, IPAL tadi sudah mengeluarkan bau tak sedap. Bertahun-tahun warga komplain, toh pemerintah setempat bergeming.

Pememerintah Kota hanya memberi obat penghilang aroma bau. Bagi Trisno, hal itu bukan solusi. “Karena beberapa hari kemudian, ya bau lagi. Sampai bosan komplain," kata Trisno saat ditemui wartawan Gatra.com Budi Arista di Semarang, ketika itu.

Barulah setelah limbah IPAL merembes, DLH dan Dinas Pertamanan dan Permukiman (Disperkim) Semarang turun tangan. Dua bulan setelah itu, September 2019, Pemkot Semarang membangun sumur resapan untuk menampung limbah IPAL yang meluap tadi.

Solusi Pemkot itu justru membawa petaka baru. Limbah busuk tadi masuk ke tanah dan mencemari air tanah. Wajar, air yang keluar dari mata air jadi berbau. Tanaman warga juga banyak yang mati.

Ketua Kolegium Pengurus Pusat Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan (HAKLI) Prof. Arif Sumantri, menjelaskan perencanaan awal pembuatan IPAL yang salah, malah bisa semakin mencemarkan lingkungan, seperti yang terjadi di Semarang tadi.

Menurutnya limbah yang ditampung di dalam IPAL, harus dipisahkan. Misalnya tangki untuk penampungan limbah domestik Buang Air Besar (BAB) terpisah dengan limbah bekas cucian deterjen atau permandian. Agar proses pengolahan limbah IPAL secara biologi, bisa berlangsung.

“Karena kalau tercampur, (mikroorganisme) yang diharapkan mengakselerasi pertumbuhan sintesa, ternyata mati, sehingga menimbulkan bau karena bercampurnya bahan-bahan kimia,” ujarnya kepada Gatra.com, Kamis pekan lalu.

***

Pencemaran mata air dan air sungai di Kecamatan Gunungpati, Semarang di atas, tidak akan terjadi andai menggunakan metode Edwin Permana (28 tahun). Dosen Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta 2 ini mengklaim punya teknologi IPAL dengan metode sederhana, murah dan efektif.

Kondisi Limbah Domestik. (GATRA/Hendry Roris/ar)

Umumnya ada beberapa teknologi IPAL yang digunakan untuk mengolah limbah cair, seperti rotating biological contactor (RBC), aerasi kontak, Reverse Osmosis dan Biofilter. Di Indonesia, teknologi pengolahan yang paling sering digunakan adalah dengan biofilter.

Biofilter merupakan metode pengolahan air limbah dengan memanfaatkan mikroorganisme. Secara alamiah mikroorganisme akan tumbuh dan berkembang di permukaan media. Teknologi ini dianggap paling efisien dan efektif mengolah limbah cair.

Teknologi biofilter yang digunakan Edwin berbeda dengan biofilter pada umumya. Pertama, kebanyakan IPAL biofilter menggunakan dinding fiber. Sementara Edwin menggunakan beton agar dinding IPAL lebih kuat. Menurut Edwin, fiber IPAL lebih rentan bocor daripada beton. “Beton bisa sampai 20 tahun,” ujarnya kepada Gatra.com.

Kedua, Edwin mengganti media-media untuk proses biofilter. Kebanyakan proses biofilter menggunakan material papan plastik dengan struktur sarang tawon (noneycomb). Disebut sarang tawon karena papan tersebut dibuat berongga-rongga.

Berbeda dengan IPAL Edwin, bahan-bahannya lebih sederhana seperti, tempurung kelapa, kulit kerang hingga bekas botol yakult. Edwin mengatakan beberapa bakteri yang tersisa di bekas botol yakult dapat mengurai zat-zat yang ada di limbah cair.

Ketiga, IPAL Edwin menggunakan dua jalur sebagai saluran limbah cair yaitu pipa bagian kanan dan kiri. Jika saluran pertama bocor, limbah bisa dialirkan ke saluran kedua. Hal ini efektif mencegah limbah masuk ke tanah, jika IPAL mengalami kebocoran. “Biasaya IPAL kan pakai satu jalur,” ujarnya.

Keempat, metode IPAL konvensional menggunakan proses secara aerob dan anaerob. Pada proses aerob, mikroorganisme membutuhkan oksigen untuk mengurai zat organik seperti bakteri dan jamur di limbah. Sedangkan proses anaerob, mikroorganisme tidak memerlukan pasokan oksigen..

Sementara di metode IPAL Edwin, ada satu jenis bakteri lagi yang digunakan, yaitu bakteri anoxic. Menurut Edwin, jenis bakteri ini akan mengoksidasi lemak dan minyak yang terkandung di limbah. “Itu bakteri fakultatif, bisa hidup dengan udara atau tanpa oksigen,” ujarnya.

Edwin menuturkan, bahan-bahan yang digunakannya mampu membuat kondisi, dimana ketiga jenis bakteri tadi bisa muncul. Berbeda dengan kebanyakan IPAL, bakterinya harus dimasukkan dari luar ke dalam tangki pengolahan.

Terakhir, Edwin meyakini hasil pengolahan IPALnya bersih alias tidak tercemar. Jika tidak ingin dibuang ke badan air atau sungai, bisa digunakan untuk menyiram tanaman atau mencuci mobil. Bahkan Edwin sesumbar, dengan sedikit penambahan proses penyaringan lagi, airnya bisa diminum. “Kalau diminum bisa saja dibuat. Masalahnya di haram dan nggak haramnya,” ujarnya.

Proses pengolahan limbah ala Edwin dimulai dari proses free treatment. Dalam proses ini, limbah akan ditampung dalam beberapa tangki berdasarkan jenis limbah. Misalnya limbah BAB (buang air besar) yang ada di tangki septik (septic tank), saluran dan tangki penampungnya dibedakan dengan limbah dari dapur atau dari kamar mandi.

Semua limbah tadi disaring agar memperoleh limbah cair saja, lalu dikumpulkan dalam satu bak penampung atau diistilahkan sebagai proses ekualisasi. Kemudian limbah diendapkan selama 8 jam, sebelum limbah diolah menggunakan alat dan bahan sederhana, seperti tumpurung kelapa, bambu, kulit kerang hingga botol yakult tadi.

Proses ini, disebut Edwin sebagai biofilter. Bakteri aerob, anaerob dan anoxic akan memproses limbah di bahan-bahan sederhana tadi. Setelah diolah, limbah tadi sudah tidak tercemar dan bisa dibuang ke badan sungai. “Bahan-bahan itu ada di masyarakat dan asli lokal semua,” ujarnya.

Air limbah yang diolah menjadi air bersih tadi, bisa juga dibuang ke sumur resapan. Di beberapa tempat, Edwin membangun IPAL dan sumur resapan sekaligus. Menurut Edwin, strategi ini dapat meningkatkan debit air tanah. “Jadi kalau masuk ke tanah, nggak mengganggu kualitas air sumur dan mata air lagi,” ujarnya.

Alur kerja metode IPAL Edwin Permana. (Dok. GATRA/ar)

Biaya pembuatan IPAL, kata Edwin, tidak sampai Rp5 juta per instalasi. Bujet tersebut dapat membangun IPAL komunal untuk mengolah limba cair 5 kepala keluarga. Murah dan sederhananya teknologi IPAL ala Edwin ini, sudah dirasakan beberapa warga di kecamatan Jatinom, kabupaten Klaten, Jawa tengah.

Tukimin (50 tahun), warga desa Gedaren, dulu sering buang air besar sembarangan (BABS). Dampaknya, lingkungan tempat tinggal Tukimin tercemar banyak Escherichia coli. Setelah ada IPAL sederhana buatan Edwin, perilaku buang air besar sembarangannya hilang. Limbah BAB Tukimin juga tidak langsung dibuang ke sungai, melainkan diolah menjadi air bersih. “Lalu airnya dimasukkan ke sumur resapan,” ujarnya.

Biaya pembuatan IPAL dan sumur resapan warga, kata Tukimin, berasal dari sumbangan beberapa perusahaan sekitar yang digalang warga Jatinom. Edwin hanya mendampingi dan membantu mendesain sistem IPALnya dan membantu pembuatan proposal warga.

Sementara, bahan-bahan lainnya untuk biofilter diperoleh dari warga setempat. Seperti, tempurung kelapa, batu kali atau pasir. Uang yang diperoleh dari hibah tadi, paling banyak digunakan untuk membeli semen dan batu bata.

Dengan memanfaatkan program Prakti Kerja Nyata (PKN) Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II setiap tahun, Edwin membantu masyarakat untuk membuat jamban komunal, IPAL komunal dan sumur resapan. Meskipun Edwin mengaku, belum banyak IPAL rumah tangga yang dibuat karena keterbatasan pendanaan. “Kalau ada donor, saya bisa buat di semua tempat,” ujarnya.

Dalam waktu dekat, Edwin akan membangun jamban dan IPAL komunal untuk beberapa rumah tangga di derah Duri, Jakarta Barat. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat Edwin. Untuk biaya, Edwin memperoleh dari Kementerian Pendidikan. “Rencana buat satu RT. Semoga bisa jadi percontohan di Jakarta,” katanya.

Selain untuk rumah tangga, teknologi IPAL buatan Edwin juga sudah digunakan di lima rumah sakit swasta. Ada di Bogor, Sragen, Bengkulu, dan Jakarta. Edwin mengatakan secara prinsip kerja, tidak ada perbedaaan teknologi antara IPAL komunal dan rumah. Perbedaannya hanya pada ukuran bak penampung dan biaya pembuatan.

Untuk tangki IPAL komunal panjangnya 1,5 meter, lebar 1,5 meter dan dalam 2,5 meter. Sedangkan untuk sumur resapan dalamnya 1,5 meter. Untuk IPAL rumah sakit, bak penampungnya harus besar, dua hingga tiga kalinya dari IPAL komunal.

Meski demikian, biaya pembuatan IPAL rumah sakit ala Edwin masih lebih murah dari IPAL rumah sakit yang dibuat konsultan. Misalnya saja rumah sakit dengan kapasitas 30-50 bed, biaya pembuatan IPAL sektiar umumnya Rp250 juta. Sementara, jika rumah sakit membuat IPAL sendiri dengan metode Edwin, maka biayanya tidak sampai Rp100 juta.

Kualitas air hasil pengolahan dengan metode Edwin pun tak kalah baik. Dengan waktu sektiar 2 hari, air limbah rumah sakit berubah menajdi air bersih. “Salah satu rumah sakit di Sragen sudah menggunakan itu (hasil pengolahan air limbah) kembali,” ujarnya.

Gara-gara teknologi sederhana berbasis bahan lokal ini, Edwin menyabet juara 1 dalam kompetisi Smart Living Challenge untuk kategori pengolahan air limbah di Stockholm, Swedia akhir tahun 2014. Dalam kompetisi itu, Edwin harus melalui tahapan presentasi hingga wawancara.

Bahkan Duta Besar Swedia untuk Indonesia waktu itu, Johanna Brismar Skoog, ikut memastikan keunggulan teknologi IPAL Edwin. Hasilnya, Edwin diputuskan juara dan menyingkirkan ratusan peserta dari seluruh dunia. “Orang Swedia lihat, kok materialnya dari lokal semua, murah dan mudah, tapi hasilnya bisa bening,” kata Edwin.

Edwin mengaku mendalami pengolahan limbah sejak duduk di bangku perkuliahan. Lalu saat bekerja sebagai dosen, Edwin hanya mau mengajar mata kuliah pengolahan limbah.

Di luar kampus, pria asal Bengkulu ini, aktif mengisi seminar pengolahan limbah di rumah sakit sampai indsutri makanan dan minuman. “Kalau disuruh ngajar yang lain kecuali pengolahan limba, saya tidak bisa,” ujarnya.

Sayang, Edwin belum serius mengurus hak cipta metodenya ini. Alasannya, untuk mengurus hak cipta ribet dan mahal. “Nunggu lama dan banyak prosedur,” katanya.

***

Bagi Arif, Ketua Kolegium PP HAKLI tadi, metode IPAL yang mudah dan dapat dibuat masyarakat, akan mengefisiensikan biaya pembuatan IPAL. Arif menilai pemisahan jenis limbah sejak awal akan mengoptimalkan kerja bakteri aero, anaerob dan anoxic dalam tahapan biofilter. Ujungnya, air olahan limbah yang dihasilkan lebih bersih.

Selama ini, Arif melihat banyak penelitian mengenai model-model IPAL komunal. Sayangnya penelitian tersebut sulit diterapkan karena tidak sesuai dengan kemampuan masyarakat. “Karena masyarakat butuh satu model IPAL yang mudah, murah, praktis, dan hasilnya efektif. Dan itu temuan Edwin tadi,” katanya.

Grafik pembangunan IPAL oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian KLHK/ar)

Arif mengatakan, organisasinya siap mendukung agar temuan Edwin ini bisa dipatenkan. “Kolegium memberikan rekomendasi untuk mendapatkan satu hak di dalam karya itu,” ujarnya.

Pokja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL), lembaga yang dibentuk pemerintah untuk fokus mengurus air minum dan sanitasi, juga mengapresiasi teknologi Edwin.

Salah satu anggota AMPL, Laisa Wahanudin mengatakan temuan Edwin ini sejalan dengan komitmen pemerintah terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 6 yaitu tentang Air Bersih dan Sanitasi.

Wahanudin mengatakan, tidak banyak kaum milenial seperti Edwin yang konsisten terhadap pengolahan limbah. “Kalau ada anak muda yang peduli, itu bagus. Dan saya harapkan, bisa membantu ini,” ujarnya kepada Gatra.com.

Menurut Wahanudin, teknologi IPAL Edwin memungkinkan dilakukan secara komunal oleh masyarakat. Karena, metode yang dilakukan Edwin sederhana. Pasalnya, sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kondisi yang mendukung penguraian limbah organik lebih cepat. “Dan bisa diselesaikan lebih cepat di Indonesia. Karena cepat terurai,” katanya.

Kasubdit Sanitasi Laisa Wahanudin dari Direktorat Perkotrumkim Bappenas itu menjelaskan, ada 7,42% masyarakat yang sudah mengelola limbah domestiknya. Hanya saja yang dikelola masih limbah BAB. Ada yang disedot oleh truk penyedot. Ada juga limbah yang masuk ke sistem perpipaan kota, baru diolah.

Bappenas juga mencatat masih ada 9,36% atau sekitar 25 juta masyarakat Indonesia yang berperilaku buang air besar sembarangan di tempat terbuka. Padahal, menurut Wahanudin, sanitasi rumah tangga yang buruk dapat menyebabkan diare pada anak.

Sekitar 25 juta masyarakat tadi, kata Wahanudin, juga berpotensi mengidap penyakit menular karena buruknya kualitas sanitasi mereka. Belum lagi, semakin tercemar air sungai, maka pengolahan air minum dan bersih semakin mahal.

Kasubdit Sanitasi Direktorat Perkotrumkim Bappenas, Laisa Wahanudin. (GATRA/Hendri Roris/ar)

Wahanudin mengatakan, untuk menekan limbah domestik, pemerintah memungkinkan untuk menerbitkan aturan kewajiban bagi pengembang properti untuk membuat IPAL komunal. Secara hitung-hitungan juga, kata Wahanudin, kewajiban bangun IPAL komunal lebih menguntungkan pengembang. Karena lebih efisien daripada membuat tangki septik masing-masing rumah.

Menurut Wahanudin, pembangunan IPAL komunal bisa dijadikan syarat bagi pengembang mendapat Izin Membangun Bangunan (IMB). “Fasum (fasilitas umum), fasos (fasilitas sosial) saja bisa (diwajibkan), kenapa nggak dibuat itu. Dan itu sangat bisa dilakukan developer karena lebih murah juga,” katanya.

Direktur Center for Regulation, Policy and Governance (CRPG), Mohamad Mova AlAfghani mengatakan, penanganan limbah dan masalah sanitasi hingga saat ini masih lambat. Padahal, menurut catatannya, sudah banyak anggaran yang dihabiskan. Toh, hasilnya begitu-begitu saja.

Menurutnya, untuk meningkatkan ketersediaan air bersih, pemerintah perlu membangun IPAL yang efektif dan mudah perawatannya. Agar penggunaan IPAL berkelanjutan, masyarakat perlu dipungut retribusi.

Selama ini menurut pengamatan Mova, sistem retribusi air limbah tidak jalan karena dilakukan terpisah dengan mengutip retribusi air bersih. “Ada PDAM untuk air minum, kalau limbah UPT PAL, itu bisa satu retribusi sekalian. supaya bayarnya nggak susah,” katanya kepada Gatra.com.

Mova mengungkapkan, pengolahan limbah domestik khususnya bekas mandi dan cucian selama ini belum banyak dilakukan. Limbah-limbah tersebut mengalir mulus dari selokan rumah hingga mencemari tanah dan sungai. “Itu bisa membuat pencemaran air sungai sampai muncul eceng gondok,” ujarnya.

Akademisi dari Universitas Ibn Khaldun ini menyarankan, untuk mengolah limbah bekas mandi dan cucian, saluran penampungannya harus dibuat khusus dan berbeda dengan limbah tinja. Karena bekas sabun dan deterjen bersifat kimia. “Itu harus segera dilakukan, kalau nggak kotor terus sungai,” katanya.

Terkait teknologi IPAL yang dibuat Edwin, kata Mova, dapat menjadi pilihan dalam mengelola limbah di masyarakat. Menurut Mova, ada beberapa tantangan dalam pemeliharaan IPAL seperti penanganan pipa yang mampet dan persoalan sludge (lumpur), membutuhkan orang yang berkompeten.

Mova menjelaskan, perlu dibuat peraturan mengenai tarif masyarakat untuk pembuatan dan pemeliharaan IPAL komunal. Menurut hitungan Mova, biaya pemeliharaan rutin IPAL berkisar Rp100ribu – Rp1 juta per IPAL per bulan. Itu artinya jika satu IPAL komunal digunakan 10 KK, berarti 1 KK hanya membayar sekitar Rp10ribu per bulan. “Harusnya ada regulasi menetapkan tarif resmi ke masyarakat,” ujarnya.

11103