Home Milenial Puber Makin Cepat, Indonesia Darurat Perkawinan Anak

Puber Makin Cepat, Indonesia Darurat Perkawinan Anak

Semarang, Gatra.com - Indonesia menempati peringkat ke-11 dunia terkait dengan tingginya perkawinan usia dini, sedangkan di tingkat Asia, Indonesia menempati peringkat ke-2. Hal ini disampaikan Asisten Deputi Partisipasi Media Kementerian pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) , Drs Fatahillah, MSi dalam Dialog publik Pencegahan Perkawinan Usia Anak yang berlangsung di hotel MGSetos Semarang, Kamis (5/12).

Fatahilah mengakui, tidak mudah untuk menghapus pernikahan anak di bawah umur, karena banyak faktor yang justru menyuburkannya. Dimana yang paling berat adalah faktor adat budaya masyarakat Indonesia yang justru mendukung perkawinan anak. Mulai dari paham patriarki yang menimbulkan ketidkasetaraan gender, kemiskinan, kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi wanita hingga rendahnya literasi.

"Padahal dampak perkawinan dini sangat besar dan fatal. Mulai dari faktor kesehatan, tumbuh kembang anak, kualitas keluarga, bonus demografi yang berkurang dan kemiskinan perempuan secara terstruktur," kata Fatahilah.

Dia mengatakan, Berdasarkan data BPS tahun 2018 menyatakan proporsi perempuan menikah di rentang usia 20-25 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun sebesar 11,24 persen. Meski jumlahnya turun dibandingkan tahun 2017, namun turunnya hanya 0,3 persen sangat kecil. Karena itu, kami dari KemenPPPA sangat konsern untuk melakukan pencegahan perkawinan anak," paparnya

Sementara itu, Wakil Walikota Semarang Heverita Gunaryanti Rahayu mengatakan, perkawinan anak perlu dicegah. Karena jika dibiarkan semakin lama akan semakin banyak. Mengingat masa puber anak-anak saat ini semakin cepat. Belum lagi stimulan dari luar seperti perkembangan teknologi informasi yang memudahkan anak mengakses informasi termasuk konten negatif.

"Yang memprihatinkan adalah perkawinan anak saat ini lebih banyak dikarenakan anak hamil di luar nikah karena kemudahan mengakses konten-konten yang tidak diperuntukkan kepada anak. Di sinilah perlu adanya kolaborasi antara generasi muda dengan orang tua untuk pencegahan perkawinan anak," ujar Wawali.

Dari sisi efek, Ita menegaskan banyak dsmpak negatif dari perkawinan anak. Mulai dari masalah ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hingga perceraian dini. Pasalnya, usia anak baik secara mental maupun kesehatan belum siap untuk berperan sebagai orang tua.

"Mereka yang belum terdidik secara cukup tiba-tiba harus menikah karena hamil duluan. Anak-anak yang harusnya masih menikmati waktu bermain tiba-tiba harus mengasuh anak. Belum lagi dari pihak lelaki, yang juga masih anak-anak. Ya kalau orang tuanya mampu, kalau tidak ini akan menjadi masalah baru lagi. Bukannya menjadi keluarga bahagia namun justru berantakan," tandasnya.

Ia berharap melalui Diskusi Publik Pencegahan Perkawinan Anak yang digelar Jateng Pos dan Kemen PPPA bisa meningkatkan kesadaran masyarakat dan pesertanya bisa menjadi garda terdepan pencegahan perkawinan anak di Kota Semarang.

"Karena itu, acara seperti ini harus terus dilaksanakan. Karena semakin banyak masyarakat yang sadar, maka mereka akan semakin peduli untuk ikut mencegah perkawinan anak. Pemkot Semarang sendiri juga memiliki konsern mengenai hal ini, salah satunya dengan pendirian Rumah Duta Revolusi Mental di Dinas Pendidikan. Dimana di sana juga digencarkan bagaimana mencegah pernikahan usia anak dengan melibatkan siswa, kepala sekolah, guru BK maupun komite sekolah. Namun tetap saja peran aktif masyarakat sangat dibutuhkan untuk menekan angka perkawinan anak," ujarnya.

119