Home Gaya Hidup Festival Pamalayu dan Jejak Kepurbakalaan di Dharmasraya

Festival Pamalayu dan Jejak Kepurbakalaan di Dharmasraya

Dharmasraya, Gatra.com - Kabupaten Dharmasraya selama ini dianggap sebagai daerah yang tidak memiliki potensi wisata karena cuacanya yang terik serta topografi lahan yang penuh dengan tanaman sawit dan karet. 

Namun tak banyak yang tahu, Dharmasraya ternyata menyimpan cerita sejarah yang layak menjadi daya tarik. Kabupaten yang tersohor dengan julukan Ranah Cati Nan Tigo itu memiliki sisa kejayaan masa lampau dari kerajaan Melayu yang bercorakan Hindu-Buddha. Di hulu Sungai Batanghari juga tersimpan rapi tapak-tapak reruntuhan negeri tua yang berserakan di beberapa lokasi.  

Meski pada 7 Januari 2020, Kabupaten Dharmasraya baru berusia 16 tahun, namun nama Dharmasraya sudah tercatat dalam sejarah beratus tahun silam sebagai ibukota Kerajaan Melayu di Pulau Sumatra. Melihat dari sejarahnya, yang ditertuang dalam buku Menguak Tabir Dharmasraya terbitan BPCB Batusangkar, Dharmasraya adalah nama sebuah kerajaan besar yang berdiri di Pulau Sumatra berabad-abad silam. 

Kerajaan ini muncul setelah kejatuhan Kerajaan Sriwijaya pada pertengahan abad XI Masehi karena serangan Rajendra Cola I pada 1025 masehi. Melayu pun memanfaatkan kelemahan itu untuk bangkit. 

Kembali diungkitnya sejarah Dharmasraya dimulai Sutan Riska Tuanku Kerajaan, selaku bupati Dharmasraya lewat Festival Pamalayu yang digelar secara maraton sejak 22 Agustus 2019 sampai 7 Januari 2020. Berbagai kegiatan digelar termasuk Talkshow Heritage, Arung Pamalayu, dan Pelestarian Cagar Budaya. 

Festival Pamalayu yang mengusung tema Merayakan Dharmasraya, bagi Sutan Riska punya makna tersendiri, untuk mengajak khalayak ikut riang gembira merayakan agenda Festival Pamalayu. Festival Pamalayu juga dianggap sebagai ajang persahabatan dengan daerah-daerah sekitar Dharmasraya, terutama DAS Batanghari. 

Petugas membersihkan bagian Candi Pulau Sawah II yang mulai terlihat dalam aktivitas ekskavasi (penggalian benda arkeologis) oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar, wilayah kerja Sumbar, Riau, dan Kepri. Kawasan Candi Pulau Sawah II dahulu ya dijadikan sebagai tempat pemujaan. (GATRA/Nella Marni/far)

Melalui Festival Pamalayu, sejarah Dharmasraya yang selama ini dianggap sedikit melenceng, patut diluruskan agar generasi muda tidak salah kaprah terhadap sejarah Dharmasraya, terutama terkait Ekspedisi Pamalayu. 

Ekpedisi Pamalayu selama ini dianggap sebagai sebuah upaya penaklukan Jawa atas Malayu (Melayu). Kenyataannya dalam fakta sejarah belum ada pembuktian secara otentik yang mengatakan bahwa ekspedisi tersebut merupakan penaklukan. 

Dalam pembukaan Ekspedisi Pamalayu di Museum Nasional, Sutan Riska menyatakan, narasi penaklukan yang terbangun di sini nampaknya butuh diluruskan. "Bagaimana mungkin bisa dikatakan sebagai penaklukan, sedangkan ada pengiriman arca Amoghapasa. Amoghapasa melambangkan kasih sayang," ungkap Sutan Riska di Jakarta pada penghujung Agustus lalu. 

Raja Kertanegara memerintahkan Rakryan Mahamantri Dyah, Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan Hang Dipangkara, dan Rakryan Dmung pu Wira untuk mengiringi Arca Amoghapasa ke tanah Melayu (Dharmasraya) dalam 'Ekspedisi Pamalayu' pada 22 Agustus 1286.

Arca Amoghapasa sendiri ditemukan di situs Rambahan yang berlokasi di Jorong Lubuk Bulang, Nagari IV Koto Pulau Punjung, Kecamatan IV Koto Pulau Punjung. sedangkan alasnya ditemukan di Padangroco, Sei Langsek sekitar 5 km arah hilir Batanghari. Baik arca maupun alas kakinya sekarang berada di Museum Nasional, Jakarta. 

Prasasti Dharmasraya ditulis dalam huruf Jawa Kuna, dengan bahasa Melayu Kuna dan Sanskrta. Dari data Prasasti Dharmasraya dapat diketahui bahwa Arca Amoghapasa yang dikirim Raja Kertanegara sebagai tanda persahabatan. 

Jejak Kepurbakalaan

Siang itu tepian hulu aliran Sungai Batanghari dipadati masyarakat Kabupaten Dharmasraya yang ingin memuaskan rasa penasarannya terhadap mulai utuhnya penemuan peninggalan purbakala semasa Kerajaan Melayu Dharmasraya. Tidak jarang di antara mereka menatap dengan penuh keheranan, sebab tapak-tapak peninggalan peradaban itu tidak ubahnya berbentuk tumpukan batu bata yang disusun rapi membentuk segi empat. 

Rasa penasaran terjawab sudah dari papan informasi yang dipasang Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar, Riau, Kepri. Candi Pulau Sawah I, begitulah yang tertulis. Dengan begitu masyarakat Sumbar dan Dharmasraya khususnya menjadi tahu, lokasi tersebut dahulunya sebagai salah satu peradaban Kerajaan Melayu Dharmasraya. 

Di sana juga tertulis bahwa terungkapnya keberadaan kepurbakalaan di daerah hulu aliran Sungai Batanghari tidak terlepas dari survei yang dilakukan oleh Westeneck (seorang ahli pemetaan) pada 1909. Dalam laporannya tertulis adanya tinggalan masa Hindu-Buddha di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari seperti Pulau Sawah, Lubuk bulan, dan Padang Roco banyak ditemukan sisa-sisa fondasi batu bekas suatu bangunan kuno. 

Tidak jauh dari lokasi Candi Pulau Sawah I, hanya beberapa meter saja, sekitar delapan hingga sembilan orang rombongan BPCB tampak sibuk menggali (ekskavasi) sisa-sisa arkeologis peradaban kerajaan Melayu Dharmasraya. Satu orang lainnya membersihkan dengan sikat secara pelan dan sangat hati-hati bagian demi bagian dari bangunan yang mulai terlihat.

Teguh Hidayat, salah satu peneliti dari BPCB Batusangkar, wilayah kerja Sumbar, Riau, dan Kepri menerangkan, tujuan ekskavasi untuk mengungkap peradaban masa lampau yang ada di Kabupaten Dharmasraya, agar masyarakat mengetahui bahwasanya di daerah itu tersimpan satu peradaban yang pernah mencapai kejayaan pada masanya serta memiliki banyak peninggalan sebagai bukti kebesaran. 

Banyak kalangan hanya mengira candi hanya bisa ditemui di Pulau Jawa saja. "Banyak juga yang lupa bahwasanya Sumbar juga memiliki satu peradaban besar sekitar abad Ke 9-14 yang terletak di Kabupaten Dharmasraya kini (sebuah kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten Sawahlunto-Sijunjung) 15 tahun silam," ujar Teguh disela mengawasi penggalian. 

Komplek Candi Padang Roco terletak di Jorong Sungai Langsek, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya. Keberadaan Candi Padang Roco merupakan salah satu bukti bahwa pada dahulunya wilayah pernah dijadikan sebagai pusat pemerintahan, sehingga perlu dibuat candi-candi sebagai sarana ibadah raja, keluarga dan rakyatnya. (GATRA/Nella Marni/far)

Teguh mengatakan ekskavasi terhadap Kawasan Pulau Sawah mulai dilakukan sejak 1995 hingga sekarang. Dari luas kawasan yang mencapai hampir dua hektare tersebut, diperkirakan mengandung lebih dari 11 struktur bangunan bata, tiga di antaranya sudah dipastikan sebagai bangunan candi. 

"Potensi bangunan ini lebih banyak dibanding dengan Rambahan maupun Sei Langsek, yang diasumsikan sebagai ibukota kerajaaan dahulunya," ucapnya. 

Dengan potensi tinggalan arkeologis tersebut, ibukota Kerajaan Melayu Dharmasraya, diperkirakan berada di Pulau Sawah atau Siguntur. Kawasan Pulau Sawah sendiri berada di antara Sungai Batanghari dan Batanglalo, yang mempunyai ketinggian antara 3-10 meter dari permukaan air sungai dalam keadaan normal. 

Data tinggalan arkeologis yang tercatat di BPCB Batusangkar, pada kawasan ini terdapat bangunan candi bata sekitar lima bangunan. Dua di antaranya diungkap sebagai Candi Pulau Sawah I dan II. Proses eskavasi belum sepenuhnya tuntas, masih ada beberapa munggu (gundukan tanah) yang dicurigai mengandung struktrur bangunan candi bata. 

Dirinya memperkirakan Kawasan Pulau Sawah lebih banyak difungsikan sebagai lokasi pemujaan kepada para dewa, baik Hindu maupun Budha. Bangunan candi yang ada mengarah kepada bangunan yang bersifat sakral (sebagai tempat pemujaan) maupun semi profan (bangunan pendukung kegiatan pemujaan). 

Beberapa Arca yang ditemukan juga menunjukkan sebagai arca pemujaan, seperti Dewi Durga (dewi kematian), arca dewa setengah badan, dan temuan artefak isian candi di dalam perigi (sumuran) di bagian tengah Candi Pulau Sawah I. 

Tidak hanya itu, peninggalan purbakala lainnya adalah Candi Padangroco yang berlokasi di Jorong Sei Langsek, Kenagarian Siguntur, Kecamatan Sitiung, Dharmasraya. Situs Candi Padangroco mempunyai tinggalan berupa candi sebanyak empat bangunan, yakni Candi Padang Roco I, II, III, dan IV. 

Dalam informasi yang dimuat, Candi Padang Roco I merupakan Candi Induk dengan ukuran 21 m x 21 m dengan ketinggian struktur bata sekitar 90 cm dan pada bagian tengah (bagian isian candi) sekitar 3 m. Bangunan induk ini mempunyai tangga masuk/naik pada keempat sisinya dengan orientasi baratdayatimurlaut. 

Sedangkan Candi II merupakan candi yang terbuat dari konstruksi susunan bata, berdenah bujur sangkar, berukuran 4,40 x 4,40 m. Tinggi bangunan yang masih tersisa sekarang 1,28 m. Pintu masuk dan tangga yang menjadi arah hadap terletak di sisi barat sehingga bangunan tersebut berorientasi ke barat daya timur laut. 

Candi III merupakan bangunan dengan struktur bata, berdenah bujur sangkar terdiri dari 3 undakan. Undakan pertama terletak paling atas berukuran 2 x 2 m, dengan tinggi bangunan yang masih tersisa terletak di bagian selatan, terdiri dari 7 lapis bata. Sedangkan Candi Padang Roco IV masih berupa reruntuhan di sudut belakang Candi Padangroco II. 

Berpeluang dan Berdaya Tarik 

Teguh Hidayat menilai situs purbakala yang sudah dimunculkan dari ekskavasi memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan menjadi wisata sejarah. Bukan sesuatu mustahil Dharmasraya bisa berkembang menjadi destinasi unggulan dan tumpuan wisata sejarah dan budaya di Sumatra Barat. 

Pengembangan sektor ekonomi, kata Teguh, juga akan memberi dampak pada perekonomian masyarakat tempatan jika pemerintah kabupaten Dharmasraya beserta masyarakat bisa menangkap peluang tersebut.

"Pemkab Dharmasraya sudah memulainya, dengan memberi perhatian pada peninggalan sejarah dan purbakala di sini (Dharmasraya). Semoga ini bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lain yang memiliki banyak peninggalan benda bersejarah," kata Teguh kepada Gatra.com

Bupati Sutan Riska selaku pemimpin muda benar-benar menangkap peluang tersebut dengan cepat. Dia menyebutkan, Pemkab Dharmasraya sedang menyiapkan desain pembangunan museum di kawasan situs peninggalan sejarah yang direncanakan dimulai pada 2020.

"Museum akan dijadikan sebagai tempat untuk peninggalan sejarah, termasuk replika Arca Amoghapasa, dan peninggalan arkeologis lainnya," ucap Sutan Riska. 

Bupati muda ini juga berharap penemuan dan penggalian kawasan candi yang berada di pinggiran aliran Sungai Batanghari menjadi magnet tersendiri bagi pengunjung untuk datang ke Dharmasraya. "Dengan begitu Dharmasraya diharapkan bisa sejajar dengan daerah-daerah yang sudah terlebih dahulu berkembang," ungkapnya. 
1344