Home Politik Ujung Tombak Pajak yang Diupah Tak Wajar

Ujung Tombak Pajak yang Diupah Tak Wajar

Asahan,Gatra.com-Wajah Achi Novi Syahputri, 19, masih terlihat ceria. Padahal perempuan berperawakan kecil ini sudah seharian berkeliling kampung menagih Pajak Bumi Bangunan (PBB). Meski lelah, tetapi tidak menyurutkan semangatnya. 

Menemui warga dari pintu ke pintu rumah. Menagih pajak untuk pundi – pundi daerah ada tugas kolektor pajak di daerah. Ada ratusan lembar Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PBB ditangannya hari itu.

Baca Juga: Lestarikan Tradisi, Surya Ikut Terbangkan Layangan

Saat bertemu dengan Gatra.com di salah satu kantor instansi pemerintah di Kabupaten Asahan, Achi tetap menunjukkan semangat lewat senyumnya. Achi ditunjuk sebagai kolektor PBB dikampung halamannya, desa Perhutanan Silau, kecamatan Pulo Banding.

Dia mengaku, bahwa ada 850 subjek pajak yang harus didatangi untuk ditagih PBB. Itu harus dijalankannya sebagai tanggungjawab petugas kolektor pajak. Achi menjalankan tugas itu dengan baik. Sehingga merealisasikan 100 persen perolehan PBB sesuai target pemerintah daerah. 

Mengejar target  100 persen PBB menurut mahasiswa semester IV ini tidak mudah. Para kolektor pajak harus menggunakan cara – cara yang humanis dan menjelaskan fungsi pajak. Hal yang sama dialami Sutriana, petugas kolektor PBB desa Suka Damai Barat, kecamatan Pulo Bandring.

Baca Juga: Guru Honorer Asahan berharap jadi PNS

Petugas tidak jarang harus berulangkali mendatangi subjek pajak. Beratnya, seringkali subjek pajak berada diluar objek pajak. Terpaksa harus keluar masuk kampung. "Belum lagi kena damprat karena subjek protes tagihan PBB nya meningkat karena penghitungan ulang objek pajak," kata Sutriana.

Belum lagi resiko membawa uang hasil tagihan PBB di jalan. Sering membuat jantung mereka berdegub kencang melintasi jalanan perkampungan yang masih diselimuti perkebunan-perkebunan kelapa sawit. 

Mirisnya, Achi dan Sutrisna dibayar dengan honor rendah. Mereka hanya mendapatkan honor upah kutip Rp200-Rp300 per tahun. Sejumlah uang yang mereka terima sebagai honorarium tersebut tidak wajar. Karena honor itu jauh dari wajar untuk memenuhi kebutuhan dan operasional mereka. 

Baca Juga: Disnaker Asahan Tegur 18 Perusahaan

Namun, Meski berhonor rendah tidak menyurutkan semangat mereka mengabdi. Untungnya Kepala Badan Pendapatan Daerah (Kabapenda) Pemkab Asahan, Mahendra bisa tetap memotivasi mereka. "Senangnya kami masih bisa berkontak langsung dengan pak Kaban. "kata Uchi.

Mereka bersemangat meski dibayar honor murah. Upah yang minim ini sebenarnya tak pantas untuk mereka. "Mereka itu ujung tombak penghasil PAD lho,"ujar Anggota DPRD Asahan, Irwansyah.

Dengan  resiko yang tinggi, dan beban kerja yang berat seharusnya mereka diberikan apreasiasi tambahan oleh Pemkab Asahan. Setidaknya pemerintah daerah memberikan tambahan penghasilan buat mereka.

Baca Juga:  Dinkes Asahan Turunkan Tim Epidemiologis

"Saya sependapat jika seandainya Pemda buat kebijakan untuk memberikan tambahan penghasilan untuk para kolektor,"katanya.

Apalagi dalam tiga tahun terakhir kinerja Bapenda sebagai ujung tombak untuk mengejar peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menunjukkan kinerja positif. Dari perolehan PAD tahun 2017 yang hanya Rp39 milyar meningkat Rp17 milyar hanya dalam setahun. 

Tahun ini (2019) Bapenda Pemkab Asahan menargetkan perolehan PAD mencapai  Rp79 milyar. Sudah pasti lagi-lagi para kolektor menjadi ujung tombak untuk mengejar target ini. 

Reporter Edy Gunawan Hasby

644