Home Politik Pengamat: Kelas Ekonomi Bisa Membuat Polarisasi Politik

Pengamat: Kelas Ekonomi Bisa Membuat Polarisasi Politik

Jakarta, Gatra.com - Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jaka Badranaya, mengatakan kelas ekonomi mampu menciptakan polarisasi politik di Tangerang Selatan (Tangsel).

Jaka menjelaskan, angka partisipasi politik warga Tangsel yang hanya mencapai 57%, itu mayoritas berasal dari pemilih kelas menengah bawah. Sedangkan sisanya, bagian kelas menengah atas yang apatis terhadap proses politik.

Jaka menyebut, pemilih kelas menengah bawah itu bisa dimobilisasikan, yang diduga digerakkan melalui politik uang (money politics). Sementara kelas menengah atas cenderung sukarela, tak bisa digerakkan dengan uang. Sehingga, pengeluaran dari calon tak banyak atau mahal.

"Kalau partisipasi politik tinggi terutama kelas menengah ke atas itu akan mencerminkan konfigurasi proses pemilihan yang tidak mahal. Sekarang kan identiknya, 'mahal ya jadi walkot, 50 miliar' dari mana ngitungnya? Dari 300 ribu suara, yang suara itu adanya di kelas menengah ke bawah," kata dia di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Senin (30/12).

Jaka menerangkan, perbedaan kelas itu menjadi PR besar penyelenggara, panitia termasuk partai politik. Mereka harus memikirman bagaimana bisa masuk ke ruang-ruang publik yang selama ini relatif tidak tersentuh secara politik.

"Di cluster-cluster besar, di pengembang-pengembang besar itu kan mereka tidak peduli siapapun walkot Tangsel. ini tantangannya, gimana kelompok ini sadar politik dan mau ikutan dalam berkontribusi menentukan pemimpin ke depan," paparnya.

Sebelumnya, partisipasi politik di Tangsel dinilai cukup rendah dibandingkan dengan daerah lain.

"Kalau menurut data, memang partisipasi politik di kita [Tangsel] masih relatif rendah. Beberapa kota hampir di atas 60%, kita masih 57%. Ini membuktikan bahwa memang dari jumlah 900 ribu pemilih, yang biasa memilih itu 500ribuan," kata Jaka.

Partisipasi politik itu merujuk pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2014 lalu. Jaka menyebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengecek sisa persebaran 43% itu di wilayah mana saja.

"Analisa saya, mereka adalah kelas menengah ke atas. Orang-orang yang di kompleks, yang tidak mau terlibat, tidak hadir ke TPS [Tempat Pemungutan Suara] dan tidak memberikan suara," ujarnya.

171