Home Politik Pengamat: Money Politics akan Selalu Ada di Pemilu

Pengamat: Money Politics akan Selalu Ada di Pemilu

Jakarta, Gatra.com - Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Jaka Badranaya, menilai praktik politik uang atau money politics akan selalu ada dalam pemungutan suara, terutama di Tangerang Selatan (Tangsel). Ia menduga, pemilih yang digerakkan dengan uang adalah masyarakat kelas ekonomi bawah.

"Suka gak suka orang pasti lebih nyiapin duit 30 miliar untuk money politics. Itu persoalannya. Tapi kalau kelas menengah ke atas digerakkan, partisipasi tinggi maka ini akan menarik konfigurasi," kata Jaka di bilangan Serpong, Tangerang Selatan, Senin (30/12).

Ia melanjutkan, beberapa lembaga survei memang meyakini praktik politik uang tidak akan hilang sama sekali. Sepakat atas hal itu, ia menambahkan bahwa politik uang akan membuat ongkos politik calon kepala daerah mahal.

"Satu sisi juga tidak ingin mencoba untuk menekannya, malah mengonfirmasinya bahwa itu [politik uang] selalu ada. Bedanya angkanya aja," ujarnya.

Ia memprediksi, Pilkada 2020 pun akan terjadi politik uang. Terkait sasaran politik uang itu adalah kalangan ekonomi menengah ke bawah, Jaka membeberkan analisisnya.

Angka partisipasi politik warga Tangsel yang hanya mencapai 57%, mayoritas berasal dari pemilih kelas menengah bawah. Sedangkan sisanya, Jaka menganalisis bagian kelas menengah atas, yang dinilai apatis terhadap proses politik.

Jaka menyebut, pemilih kelas menengah bawah itu bisa dimobilisasikan, yang diduga digerakkan melalui praktik politik uang. Sementara kelas menengah atas cenderung sukarela, tak bisa digerakkan dengan uang, sehingga pengeluaran dari calon tak banyak atau mahal.

"Kalau partisipasi politik tinggi terutama kelas menengah ke atas itu akan mencerminkan konfigurasi proses pemilihan yang tidak mahal. Sekarang kan identiknya, 'mahal ya jadi walkot, 50 miliar' dari mana ngitungnya? Dari 300 ribu suara, yang suara itu adanya di kelas menengah ke bawah," kata dia.

Jaka menerangkan, perbedaan kelas itu menjadi PR besar penyelenggara, panitia termasuk partai politik. Mereka harus memikirkan bagaimana bisa masuk ke ruang-ruang publik yang selama ini relatif tidak tersentuh secara politik.

186