Home Gaya Hidup Geliat Industri Tekfin Pendidikan

Geliat Industri Tekfin Pendidikan

Rendahnya kemampuan ekonomi keluarga menjadi faktor pemicu tingginya angka putus sekolah di Indonesia. Beberapa perusahaan rintisan teknologi finansial mencoba untuk memutus mata rantai putus sekolah itu.  


Hingga tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) masih menunjukkan data yang mengkhawatirkan terkait angka putus sekolah di Indonesia. Dari tiap jenjang sekolah, setidaknya ada 285.000 anak putus sekolah dan didominasi oleh siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang harus rela pupus di tengah jalan. Penyebab utama tingginya angka putus sekolah, yakni kemampuan ekonomi keluarga dan perspektif yang menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan tersier.

Jika melirik data BPS, persoalan pendidikan paling nyata memang bersumber dari kemampuan finansial para orang tua murid. Meski triliunan dana pendidikan digelontorkan pemerintah, apa mau dikata jika keluarga memang tidak mampu menyekolahkan anaknya. Persoalan ini juga yang menjadi alasan bagi Dipo Satria Ramli, Januar Sudharsono, dan Eka Ginting untuk mendirikan DANAdidik pada 17 Juni 2015.

Bagi Dipo, ide awal mendirikan unit bisnis di bidang teknologi finansial (tekfin) pendidikan ini berangkat dari pengalaman pribadinya ketika kesulitan mengakses dana kuliah. Hal ini juga sangat mungkin terjadi pada para pelajar lain di Indonesia, apalagi jika ingin berkuliah di kampus bergengsi.

Namun, DANAdidik hanya fokus pada para peminjam yang menjadi peserta didik di pendidikan vokasi, utamanya pada bidang kesehatan. Fokus ini memang sudah dirancang sejak awal DANAdidik didirikan. Sepanjang setengah dekade, DANAdidik telah menyalurkan dana kepada 500 peserta didik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Bali.

"Kami banyak bekerja sama dengan kampus-kampus vokasi kesehatan, terutama di Jawa. Banyak dari peminjam merupakan mahasiswa perawat, kedokteran, dan bidan," ujar Dipo kepada Muhammad Almer Sidqi dari GATRA.

Meski tidak menutup pinjaman bagi mahasiswa, tetapi peserta yang berasal dari perguruan tinggi negeri (PTN) terbilang sedikit. Setidaknya, dana sebesar Rp3 miliar telah tersalurkan dengan rata-rata besaran dana pinjaman Rp10 juta. DANAdidik sendiri mematok maksimal peminjaman hingga Rp40 juta.

Tidak semua pengaju layanan DANAdidik bakal mendapatkan pinjaman. Ada analisis manajemen risiko, selain ketentuan formal tentang latar belakang ekonomi, dan prospek peminjam ke depan, yang menjadi pertimbangan.

Terkait pemberi pinjaman alias lender, DANAdidik bekerja sama dengan beberapa institusi penyedia jasa kesehatan. Ini juga berelasi dengan pasar yang mereka sasar. Johnson & Johnson tercatat sebagai salah satunya. Sebagai penyelenggara, DANAdidik mendapatkan 3,5% hingga 5%. Adapun investor berasal dari dua perusahaan induk Garden Impact Investment, dan Plug and Play.

Menurut Dipo, ada pasar besar di ranah student loan. Meski ada beberapa pemain serupa, tiap pemain menyasar pangsa pasar berbeda. Para pelaku tekfin akan membangun industrinya sendiri. "Multifinance beberapa sudah masuk, tapi terhitung masih kecil," ia menambahkan.

Oleh karena itu, DANAdidik akan memfokuskan diri pada pasar yang sudah terbangun, dan bagaimana proyeksinya ke depan. Di satu sisi, pandemi COVID-19 mau tidak mau memiliki relasi dengan kesadaran masyarakat akan kebutuhan tenaga medis mapan, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Kendati ada slow down selama pandemi berlangsung, Dipo menuturkan, efek pandemi bisa diproyeksikan akan ada peningkatan minat di sektor kesehatan. Potensi pasar yang disasar DANAdidik masih akan berkembang. "Sebelum ada COVID-19, jumlah perawat di Indonesia hanya setengah dari kebutuhannya," ujar Dipo.

***

Seperti halnya Dipo, pengalaman masa kuliah juga mendorong Tommy Yuwono mendirikan perusahaan rintisan teknologi finansial bernama Pintek pada 2018. Bagi Tommy, kesulitan yang nyata ia hadapi ketika kuliah, yakni membayar uang kuliah yang memang tidak kecil nilainya. Hal ini juga sangat mungkin terjadi pada para pelajar lain di Indonesia, apalagi jika ingin berkuliah di kampus bergengsi.

"Sejak saat itu, saya ingin berkontribusi untuk memberikan kemudahan dengan menyediakan dana untuk kebutuhan biaya pendidikan anak-anak di Indonesia," ujarnya kepada Drean Muhyil Ihsan saat dirinya berkunjung ke Kantor GATRA.

Meski terbilang baru menetas, Pintek sudah mampu menyaingi tekfin lain untuk menyediakan jalan keluar bagi para orang tua yang tetap ingin menyekolahkan anaknya, bahkan hingga jenjang tertinggi dalam dunia akademis. Cara kerja Pintek sebenarnya mirip dengan tekfin pembiayaan lainnya, yakni menjadi jembatan antara pemberi pinjaman dan peminjam.

Pinjaman yang diajukan kemudian akan ditawarkan oleh Pintek ke pemberi pinjaman, yang terdiri dari institusi keuangan, non-keuangan, dan family office, yang memang telah bekerja sama untuk mendanai. Jika disetujui, pinjaman akan langsung disetorkan ke lembaga pendidikan yang dituju, bukan kepada si peminjam.

Dari segi produk, Pintek membaginya menjadi dua kategori, yaitu Pintek Students dan Pintek Institutions. Untuk Pintek Students, kata Tommy, pihaknya menyasar seluruh warga Indonesia yang ingin bersekolah mulai dari PAUD hingga S3 di seluruh wilayah Indonesia. Plafonnya mulai dari Rp3 juta sampai dengan Rp300 juta dengan bunga 0-1,5% per bulan.

Kategori kedua, yaitu Pintek Institutions. Kategori ini menyasar lembaga pendidikan yang membutuhkan pendanaan untuk keperluan fisik sekolahnya, seperti renovasi, pembangunan laboratorium, membeli komputer, dan sebagainya. Kategori ini memiliki plafon pinjaman yang lebih tinggi, maksimal Rp2 miliar dengan bunga mulai dari 0,75% per bulan. Hingga saat ini, Pintek sudah mampu memberikan pinjaman hingga 3.000 siswa pada lebih dari 100 institusi pendidikan yang tersebar di 26 provinsi dengan total Rp60 miliar.

***

Kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah memang menjadi sasaran bagi para tekfin P2P, terutama tekfin pendidikan yang saat ini sedang naik daun. Kalangan masyarakat yang tidak bisa menerima pelayanan dari perbankan ini, tentu akan mencari jalan keluar lain dari persoalan keuangan, apalagi jika sudah bicara soal uang untuk pendidikan anak.

Bagi Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI), Tumbur Pardede, ada dua kategori masyarakat yang tidak bisa dilayani oleh perbankan, biasa disebut unbanked dan underbanked. Tekfin tidak sepenuhnya salah jika menyasar dua kategori ini menjadi garapan mereka. Masyarakat dalam kategori ini cenderung tidak memiliki catatan perbankan.

Nah, dengan adanya pinjaman melalui tekfin pendidikan, statusnya akan berbeda dengan catatan pernah meminjam pada industri keuangan non-bank. "Kita malah akan membantu industri perbankan, karena kita membuat satu record bagi masyarakat yang kita telah layani itu," ujarnya kepada Ryan Puspa Bangsa dari GATRA.

Aditya Kirana

 

52