Home Politik Patgulipat UU Mahkamah Konstitusi

Patgulipat UU Mahkamah Konstitusi

Kontroversi DPR yang mengesahkan revisi UU MK dalam waktu sepekan terus menuai cibiran. Disinyalir ada kepentingan politik akan perpanjangan masa jabatan hakim MK. Mungkinkah ada main mata?


Tok, tok, tok! Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Revisi Undang-Undang (UU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjadi UU. Menariknya, proses dari usulan hingga menjadi UU berlangsung kilat. Betapa tidak, para wakil rakyat ini mampu merampungkan revisi UU hanya dalam sepekan.

Sontak semua pun menyoroti. Salah satunya LSM Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, yang menduga ada praktik barter politik di balik pengesahan revisi UU secara cepat tersebut. Catatan KoDe Inisiatif, revisi UU MK bergulir pada 24 Agustus 2020 dengan persetujuan pembahasan bersama pada rapat kerja DPR-pemerintah. Dilanjutkan dengan rapat tertutup pada 26-29 Agustus 2020. Ndilalah-nya, pada 31 Agustus lalu ternyata sudah disahkan di tingkat pertama. Dan akhirnya, Selasa, 1 September sudah sah menjadi UU.

UU MK menjadi kontroversi lantaran dibahas secara tertutup dan tergesa-gesa. Padahal, beleid tersebut tidak masuk daftar program legislasi nasional (Prolegnas). Karena itu, KoDe Inisiatif menilai regulasi yang direvisi hanya dalam waktu tujuh hari itu mengandung permasalahan konstitusional. Bukan hanya dari segi prosedural saja, melainkan juga materi muatannya dinilai tidak substantif, tidak mendesak, dan sarat akan kepentingan politik.

Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif, Violla Reininda, mengatakan bahwa revisi UU MK berpotensi menurunkan kredibilitas MK di mata publik serta memengaruhi independensi terhadap kekuasaan legislatif dan eksekutif. "Kelihatan sekali, pembentuk UU MK memiliki iktikad buruk untuk membajak Mahkamah Konstitusi menjadikannya kaki tangan penguasa di cabang kekuasaan kehakiman," kata Violla saat dihubungi Dwi Reka Barokah dari Gatra, Senin lalu.

Menurut Violla, ada materi krusial yang disahkan, yaitu tidak ada lagi kocok ulang hakim konstitusi tiap lima tahun. Hakim konstitusi akan dijabat selama 15 tahun atau sudah mencapai usia 70 tahun. Jadi, UU MK baru telah menghapus Pasal 22 yang menyatakan masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan berikutnya.

Dalam UU MK yang baru muncul Pasal 87 ayat (b) disebutkan: "Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun." Hal inilah yang diduga sebagai barter politik kepentingan. Menurut Violla, MK punya “mahkota putusan”, sedangkan DPR-pemerintah punya kepentingan amankan UU. "Barter "mahkota" MK berpotensi berbenturan dengan pelaksanaan kewenangan MK. Barter politik ini diduga kuat ditujukan untuk mengamankan sejumlah pengujian UU kontroversial yang menjadi perhatian publik secara luas," katanya.

Contoh UU yang kontroversi di antaranya adalah UU KPK, UU Keuangan Negara untuk Covid-19, dan UU Minerba serta RUU yang potensial mendapat penolakan publik; RUU Cipta Kerja dan RUU Pemilu. Menurut Violla, semua perkara yang disidangkan di MK adalah perkara publik yang menyangkut kemaslahatan rakyat secara luas dan berkenaan dengan penegakan konstitusi sebagai hukum tertinggi di negeri.

Karena itu, jika MK ditundukkan dengan kompromi politik seperti ini, tafsiran dan putusan MK potensial hanya akan jadi satu yang turut meruntuhkan nilai-nilai konstitusi kelak. Apalagi, Violla menambahkan, konstelasi jabatan hakim konstitusi di masa depan berpotensi untuk diisi dengan calon-calon hakim yang dipertanyakan kenegarawanannya, akibat tidak adanya penyempurnaan dan penyeragaman standar rekrutmen hakim di setiap cabang kekuasaan. “Marwah dan keluhuran MK berpotensi dibajak dengan cara mendudukkan personil hakim konstitusi yang dapat tunduk pada lembaga pemilihnya semata," Violla menyebut.

Anggota Panitia Kerja (Panja) UU MK, Taufik Basari, membantah semua tuduhan tersebut. Tidak benar kalau ada barter kepentingan. Ia menjelaskan bahwa jika revisi UU MK itu muncul sebagai tindak lanjut dari putusan MK itu sendiri. "Karena RUU ini termasuk kategori RUU Kumulatif sebagai tindak lanjut putusan MK dalam Prolegnas, maka yang menjadi inisiator adalah Baleg, kemudian berdasarkan hasil rapat Bamus dan Keputusan Paripurna, Komisi III ditugaskan untuk melakukan pembahasan," ujar Taufik, yang juga Ketua Fraksi MPR RI dari Partai NasDem, kepada M. Guruh Nuary dari Gatra.

Tobas juga menerangkan detail putusan MK mana saja yang melandasi lahirnya Revisi UU MK tersebut. Pertama, didasari putusan MK Nomor 48/PUU-IX/2011 yang membatalkan dan menyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap Pasal 45A dan Pasal 57 ayat (2a), sehingga pasal-pasal tersebut dihapus melalui revisi UU MK.

Kedua, berdasarkan putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 yang membatalkan Pasal 4 ayat (4) huruf f, huruf g, huruf h; Pasal 15 ayat (2) huruf h sepanjang frasa “dan/atau pernah menjadi pejabat negara”; Pasal 26 ayat (5), Pasal 27A ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e; Pasal 27A ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6); Pasal 50A; Pasal 59 ayat (2); Pasal 87; sehingga terdapat pasal yang dihapus, terdapat pasal yang dilakukan perubahan dan terdapat pasal yang harus dilakukan penyesuaian setelah perubahan.

Kemudian, terkait dengan putusan MK Nomor 34/PUU-X/2012 yang pada pokoknya memutuskan bahwa: Pasal 7A ayat (1) mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang disertai frasa "dengan usia pensiun 62 (enam puluh dua) tahun bagi Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti”. Sehingga dilakukan perubahan dengan mengikuti isi Putusan MK. Lalu, berdasarkan putusan MK Nomor 7/PUU-Xl/2013 yang memutuskan Pasal 15 ayat (2) huruf d inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai "berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama”, sehingga dilakukan penyesuaian dengan menyesuaikan pertimbangan-pertimbangan putusan MK. Terakhir, berdasarkan putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan keseluruhan UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang perubahan kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menjadi UU.

Jadi, menurut Tobas, dengan dasar pertimbangan bahwa idealnya jabatan Hakim Konstitusi adalah puncak pengabdian bagi seseorang, maka masa jabatan Hakim Konstitusi selesai hingga waktu pensiun. Dengan demikian, seorang Hakim Konstitusi tidak lagi memikirkan capaian apa yang hendak diraih pasca-bertugas. “Tidak berpikir lagi ingin menjadi pejabat tertentu karena sudah selesai dengan urusan karier dan politik. Konsep masa jabatan hingga pensiun ini juga sama dengan yang berlaku di MA, yang sama-sama menurut konstitusi merupakan pelaku kekuasaan kehakiman," ucapnya.

Kemudian, karena pilihan kebijakan yang diambil adalah menjadikan masa jabatan Hakim Konstitusi adalah hingga memasuki masa pensiun 70 tahun, maka usia minimum calon Hakim KonstItusi-pun harus menyesuaikan. “Awalnya dalam draft usulan usia calon Hakim Konstitusi adalah 60 tahun, namun pemerintah mengajukan usul 55 tahun dengan alasan menyesuaikan pengalaman calon Hakim Konstitusi dan jenjang karir bagi calon yang berasal dari lingkungan MA," Tobas menambahkan.

Juru bicara MK, Fajar Laksono, mengatakan bahwa revisi UU MK sepenuhnya kewenangan para pembentuk UU. MK, kata Fajar, tak ikut-ikut dalam legislasi. "Jadi, posisi MK tidak pada merespons atau menilai, apalagi pada setuju atau tidak setuju. Semua kembali pada wewenang Pembentuk UU," kata Fajar kepada Muhammad Almer Sidqi dari GATRA, Senin. Sementara itu, GATRA mencoba mengkonfirmasi soal “barter kepentingan” kepada Menkumham Yasonna Laoly di balik pengesahan tersebut, sayangnya ia belum merespons.

Toh, pengamat hukum tata negara Refly Harun sangat menyayangkan hal tersebut telah terjadi. Terlebih ada salah satu poin dalam UU MK yang telah direvisi mengatur tentang perubahan masa jabatan hakim. Refly menilai, poin itu tidak ada urgensinya, sebab yang jadi masalah adalah independensi dan integritas hakim.

Apalagi, terkait masalah jabatan hakim ini, menurut Refly, dalam membuat UU itu harus ada masa peralihan yang masuk akal. Jadi, kalau ada perubahan masa jabatan, maka mereka yang menjabat sekarang harus menyelesaikan masa jabatannya, bukan main tambah begitu saja. "Ketika ada perubahan masa jabatan, mereka tetap pensiun sesuai [periode awal]. Ketika mereka terpilih kembali, barulah mereka sudah masuk masa baru," kata Refly kepada wartawan Gatra Erlina Fury Santika, Selasa lalu.

Sebenarnya, jika para hakim tidak dikocok ulang setiap lima tahun sekali tidak terlalu berbahaya, apabila kualitas hakimnya sangat bagus. Namun, Refly menilai, justru banyak hakim yang lebih pantas menjadi hakim konstitusi dari pada yang ada saat ini. Karena itu, ia menilai proses yang cepat itu sarat kepentingan politik. Ia membeberkan sedikitnya sudah ada tiga contoh bahwa MK sering kali melakukan barter politik sejak lama. Pertama, saat hakim-hakim MK meloloskan hak angket terhadap KPK yang menurutnya tidak seharusnya berjalan seperti itu. Hak angket bagian dari pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif. Pelolosan hak angket itu diduga dilakukan Ketua MK Arief Hidayat dengan Komisi III DPR untuk meloloskan dirinya menjadi hakim MK kembali.

Kedua, adalah ketika MK meloloskan presidential treshold yang dilihat Refly sudah tidak masuk akal. Kebijakan presidential treshold itu sendiri didasarkan pada pemilu sebelumnya, yakni pemilu 2014, namun diberlakukan lagi untuk pemilu 2019. Kebijakan ini dinilai menghilangkan hak konstitusional partai politik dan peserta pemilu.

Ketiga, adanya isu yang menyebutkan negosiasi agar tidak dibatalkannya UU KPK. "Ini makin menunjukkan bahwa integritas hakim-hakim MK saat ini masih dalam tanda tanya yang besar. Seolah-olah mereka itu mau membarterkan apa saja termasuk idealisme mereka asal mereka dipastikan menjabat lebih lama," kata Refly.

Gandhi Achmad