Home Gaya Hidup Jangan Buru-Buru, Slow Living Saja

Jangan Buru-Buru, Slow Living Saja

Menjadi pecandu kerja demi mencapai tujuan, sering kali mengabaikan kebutuhan diri sendiri baik secara fisik maupun rohani. Slow living bisa jadi jawaban, menjalani hidup tak berburu-buru dan tetap berkualitas.


Agnes mengaku dirinya adalah pecandu kerja (workaholic). Ia bekerja sebagai penerjemah lisan bahasa Jepang di sebuah perusahaan garmen Korea Selatan yang ada di Karawang, Jawa Barat. Sadar dirinya terpilih sebagai pekerja di sana dengan melewati seleksi ketat dan menyingkirkan ratusan pelamar lainnya, Agnes harus bekerja keras memberikan apa yang ia bisa untuk perusahaan.

"Karena enggak gampang itu, makanya aku harus kerja keras banget, tapi kan memang yang kita lakukan di suatu hal harus total enggak, sih, kalau mau berhasil?" ujar pemilik nama Agnesia Fransisca ini kepada Qonita Azzahra dari GATRA. 

Rutinitas kerja Agnes mulai dari mendampingi tamu-tamu dari Jepang saat bertemu dengan bos dan menerjemahkan semua lalu lintas percakapan mereka dalam bahasa Jepang. Ia juga harus menyiapkan materi, mempresentasikannya dalam rapat, lalu menemani para tamu saat kunjungan produk ke pabrik sebagai interpreter. Semua proses tersebut ia ikuti hingga terjadi kesepakatan kontrak antara perusahaan dan investor.

Perempuan 23 tahun ini bahkan tak keberatan melakoni pekerjaan yang banyak dan berat dengan jumlah hari libur minim, serta jam istirahat terbatas. Padahal, untuk bisa menyiapkan semua bahan materi rapat, Agnes butuh waktu hingga tiga hari. Tak jarang ia harus bergadang semalaman.

Hari libur yang didapat Agnes pun pada akhirnya lebih banyak digunakan untuk beristirahat di indekos. Ia sering merasa tidak enak badan dan jatuh sakit melakoni rutinitas super-sibuk seperti itu. Tak ada lagi waktu baginya untuk traveling mencicipi kuliner kesukaan atau berburu foto.

"Sebenarnya, aku juga suka traveling ke luar kota, buat kulineran atau hunting foto, tapi kan itu makan banyak waktu, sedangkan liburku cuma sehari. Kalau emang sudah janji aja sama temen-temen baru pergi [ke luar kota]. Itu pun enggak bisa tenang, karena tetap kepikiran kerjaan," tutur Agnes.

Berpayah-payah yang dilakukan Agnes saat ini, agar ia bisa melanjutkan kuliah S2 ke Negeri Sakura dan bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di Jepang. "Makanya, enggak apa lah capek sekarang. Asalkan aku bisa S2, terus bisa kerja di Kedubes. Itu, sih, impian terbesarku," ucapnya.

Berbeda dengan Agnes, Guntur memilih menjalani hidup lambat, alon-alon atau slow living. Alih-alih memaksakan diri bekerja keras dan mengorbankan kesehatannya demi beroleh materi berlimpah, pria 30 tahun ini lebih merasa cukup dengan apa yang sudah ia dapatkan sekarang.

Guntur sendiri membuka usaha sablon dan memiliki lima pintu kos-kosan di rumahnya yang ada di Kompleks Margahayu, Bekasi Timur. Penghasilannya tak seberapa tiap bulannya, tetapi ia mengaku cukup. Ketika teman-temannya yang bekerja di perkantoran Ibu Kota, datang pamer sedang kredit rumah atau mobil baru, Guntur tak merasa terganggu.

"Hidup yang penting banyak canda aja biar enggak stres. Hidup cukup, cukup makan, cukup duit kalau mau jalan-jalan," Guntur berseloroh. Ia mengatur waktu sendiri saat harus sibuk atau bersantai lebih asyik. Saat ada orderan, ia bekerja. Saat butuh hiburan, ia liburan naik gunung bersama teman-temannya.

Sepintas hidupnya terlihat santai dan banyak waktu bermalas-malasan. Soal pandangan ini, Guntur tak ambil pusing. Ia menyebut hidupnya santai, tetapi penuh komitmen. Buktinya, usaha sablonnya sudah berjalan lebih dari tiga tahun dan masih menerima orderan meski terganjal pandemi Covid-19. "Banyak duit, kerja tiap hari, emang enggak capek? Kaya belum tentu, bahagia belum pasti. Cepet tua sama mati, iya," ucapnya yang diiringi tawa.

***

Gaya hidup yang dilakoni Agnes tergolong hustle culture. Hustle culture menggambarkan keadaan seseorang yang harus selalu sukses hingga mengabaikan waktu untuk dirinya sendiri dan beristirahat. Gaya hidup ini disebut-sebut banyak psikolog tidak baik bagi keseimbangan hidup seseorang. Selain mengejar kesuksesan finansial, orang juga butuh kesuksesan pekerjaan dan kesejahteraan emosional.

Psikolog dari Universitas Indonesia, Lathifah Hanum, menjelaskan bahwa pecandu kerja punya sisi positif. Menjadi pecandu kerja berarti ia memiliki rasa tanggung jawab besar terhadap hasil pekerjaannya, sehingga ia mendorong dirinya untuk mengerjakan pekerjaan sebaik dan sesempurna mungkin. "Tapi juga membuat kesehatan mental mereka menjadi menurun. Misalnya, mereka menghabiskan waktu lebih banyak untuk bekerja sampai enggak punya social life, karena waktunya sebagian besar habis untuk bekerja," ujarnya kepada Wartawan GATRA, Ucha Julistian Mone.

Jika seorang pecandu kerja tak memiliki kehidupan sosial yang baik, ketika pekerjaannya sudah selesai dikerjakan, ia akan bingung harus mengisi kegiatannya dengan apa. Ini bisa membawa rasa kesepian pada dirinya. Apalagi sebelumnya, manajemen waktu yang ia alokasikan terbanyak, yaitu untuk bekerja.

Kalaupun pecandu kerja memiliki pasangan atau memasuki masa tak lagi bekerja, aspek kehidupan lain yang harusnya terisi menjadi tidak terpenuhi, karena selama ini yang dirasanya penting adalah bekerja. "Kalau dia sudah punya keluarga, dia mungkin akan luput untuk memperhatikan keluarganya. Punya anak, mungkin luput untuk memperhatikan tumbuh kembang anaknya," Hanum menambahkan.

Fenomena tersebut berbeda dengan perilaku slow living. Gaya hidup ini bahkan dianggap sebagai antitesis hustle culture dan jawaban menghadapi pola hidup dengan ritme sangat cepat. "Slow living ini merupakan jawaban dari situasi pekerjaan yang datang dan mesti selesai cepat. Slow living membuat kita memilih prioritas. Apa sih yang mau dicari, apa yang mau dikerjakan lebih dahulu," ujar Hanum.

Menurut Hanum, orang yang menjalankan gaya hidup slow living saat memiliki setumpuk pekerjaan, akan cenderung memilih pekerjaan mana yang harus diselesaikan lebih dahulu. Adapun kegiatan lain yang bisa dikerjakan tak terburu-buru, akan dikerjakan kemudian. "Jadi, orang penganut slow living bukanlah orang yang suka bermalas-malasan," katanya.

Slow living disebut Hanum sebagai cara paling baik dalam mengatur keseimbangan hidup. Seseorang tetap sadar dengan tanggung jawab yang dimilikinya, sekaligus bisa melihat kebutuhan dirinya sendiri ingin mencapai tujuan apa. Slow living mengarahkan seseorang mengenal kebutuhan untuk dirinya sendiri.

"Misalkan, ketika sedang kerja yang mesti diselesaikan, tapi pundak terasa nyeri dan sakit. Itu mungkin pertanda ada yang luput kita perhatikan, tanda tubuh butuh istirahat. Orang slow living mungkin akan bilang pada dirinya sendiri akan menuntaskan pekerjaannya agar bisa segera istirahat," tutur Hanum.

Bagi pecandu kerja, lanjut Hanum, memulai gaya hidup slow living akan menghadapi tantangan. Mencoba menyeimbangkan hidup akan terasa sulit. Ini karena ada dorongan dalam diri bahwa ia harus bisa mengerjaan pekerjaan tersebut, sehingga jika ada sinyal tubuh merasa kelelahan, akan cenderung diabaikan.

Hal terpenting dalam mencapai keseimbangan hidup, yaitu mencoba mendengarkan kebutuhan tubuh dan pikiran, baik secara fisik maupun psikologis. Langkah yang bisa diupayakan, yakni membuat dan mengetahui prioritas diri harian kita. "Pekerjaan itu kan memang akan selalu ada, tidak pernah berhenti, tetapi pastikan kita bisa mengatur apa yang menjadi prioritas pekerjaan kita. Ketika satu pekerjaan selesai, kita bisa melakukan hal lain seperti makan siang, minum air putih, dan lainnya. Jangan sampai kita terganggu karena sibuk bekerja," Hanum berpesan.

Fitri Kumalasari


Panduan Menjalani Slow Living

- Menjalani hidup lebih lambat dengan menikmati segala hal yang kita lakukan untuk diri sendiri.

- Mindfulness, menyadari waktu saat ini dan waspada terhadap kehidupan sekitar.

- Berkomitmen dengan tujuan yang membawa hasil pada kebahagiaan diri dan orang banyak.

- Tidak terburu-buru demi mencapai tujuan.

- Konsumsi hal-hal materi tidak selalu penting.

- Kebahagiaan itu berasal dari diri sendiri, bukan mencontoh orang lain.

 

Manfaat Slow Living

- Makin sehat jasmani dan rohani.

- Makin produktif dalam bekerja.

- Makin menikmati hidup.

- Menikmati proses dan detail.

- Menghargai ketenangan.

- Memperbaiki hubungan dengan orang-orang sekitar.

Sumber: berbagai sumber diolah