Home Politik Bayangan Kelam Pam Swakarsa

Bayangan Kelam Pam Swakarsa

Penggunaan Pam Swakarsa kembali didengungkan oleh Polri. Banyak organisasi dan pranata sosial yang dilibatkan. Dikhawatirkan menjadi alat politik untuk mengerahkan massa.


Nama Pam Swakarsa kembali muncul setelah lebih dari dua dekade tenggelam. Kali ini, satuan pengamanan sipil itu hadir lewat Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa. Perkap tersebut ditanda tangani langusng oleh Kapolri Jenderal Idham Azis pada 5 Agustus lalu.

Sebelumnya, nama Pam Swakarsa ramai dibicarakan pada 1998. Dibentuk atas perintah Jenderal Wiranto yang menjabat sebagai Panglima ABRI. Tujuannya, membendung protes atas Sidang Istimewa MPR. Ketika itu, Pam Swakarsa terdiri atas beberapa ormas, di antaranya Pemuda Pancasila, FKPPI, Pemuda Panca Marga, dan Banser. Pada masanya, aksi Pam Swakarsa juga tak lepas dari peristiwa besar lainnya seperti Tragedi Semanggi I dan II, yang menewaskan 28 warga sipil dan melukai lebih dari 300 orang –dicatat oleh organisasi hak asasi manusia (HAM) seperti Amnesty International.

Wakil Koordinator Kontras, Rivanlee Anandar, mengatakan dibentuknya Pam Swakarsa tidak relevan dengan situasi hari ini. Terlebih, wacana pembentukannya seolah ingin mengembalikan ketakutan yang ada dalam benak publik, atas peristiwa-peristiwa masa lalu yang melibatkan Pam Swakarsa. “Jadi di tahun 1998, Pam Swakarsa dihadapkan masyarakat untuk mengamankan sidang MPR, nah di tahun ini urgensinya sejatinya apa?” kata Rivan kepada Ucha Julistian Mone dari Gatra.

Apalagi, salah satu poin dari aturan baru soal Pam Swakarsa adalah wajib berkoordinasi dengan satuan polisi di daerahnya. “Dari bunyi pasal tersebut, kami mengkhawatirkan adanya pengerahan ke depannya, untuk keperluan-keperluan di luar keamanan lingkungan. Jadi, bisa saja nanti keberadaannya ditujukan untuk kepentingan tertentu. Yang mana tidak disampaikan secara detail di peraturan tersebut,” Rivan memaparkan.

Selain itu, ada pasal yang menurutnya telalu luas dalam menerangkan organisasi-organisasi yang dapat bergabung dalam Pam Swakarsa. Hal itu dikhawatirkan Rivan bisa mengulang kondisi di tahun 1998, di mana akhirnya merangkul kelompok-kelompok yang awalnya sudah terbentuk. “Khawatirnya, ke depan ini akan muncul kelompok yang bisa bertindak sewenang-wenang, karena telah merasa di backing atau dirangkul oleh kepolisian melalui Pam Swakarsa ini,” tuturnya.

Lebih jauh, Rivan juga melihat akan adanya potensi gesekan di kalangan masyarakat dalam bentuk Pam Swakarsa atau kelompok yang nanti bisa mandiri. “Saya tidak mau menyebut sama kayak FPI. Tapi menurut saya, itu contoh bahwa nanti akan muncul kelompok yang bisa sewenang-wenang karena telah seolah mendapat legitimasi dari Pam Swakarsa ini,” ia membeberkan.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Awi Setiyono, membantah jika pembentukan Pam Swakarsa ada unsur politiknya. Menurutnya, pembentukan kali ini tidak sama dengan 1998. "Kok kita ditarik lagi ke 1998. Tidak ada, selama ini kan juga kondusif karena memang tidak ada [masalah],” katanya saat konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis pekan lalu.

Menurutnya, filosofi pembentukannya memang karena kekurangan tenaga kepolisian dibandingkan dengan jumlah penduduk. “Memang sangat jauh sekali perbandingan, sehingga kehadiran mereka diharapkan menambah gelaran fungsi kepolisian di lapangan," ucap Awi.

Peraturan Kapolri yang baru memuat tiga unsur yang diatur tugas dan fungsinya, yakni terdiri dari satuan pengamanan alias satpam dan satuan keamanan lingkungan atau satkamling. Selain itu, terdapat juga dari pranata sosial atau kearifan lokal. Dapat berupa pecalang di Bali, Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, Siswa Bhayangkara, dan Mahasiswa Bhayangkara.

Satpam, kata Awi, proses perekrutannya dilakukan secara profesional melalui badan usaha jasa pengamanan (BUJP). Sedangkan satkamling dan kelompok kearifan lokal, berasal dari warga masing-masing daerah. Terhadap ketiganya, Polri bertugas sebagai regulator dan mentor. Polri juga bertindak sebagai auditor terhadap BUJP.

Awi mengklaim, tugas mereka dibatasi dan tidak boleh bertindak represif. "[Kami] cuma lakukan pembinaan agar tugas-tugas kepolisian [sampai] secara terbatas jelas. Dia tidak boleh represif, kan memang tujuan mereka mendirikan Pam Swakarsa atas kesadaran mereka sendiri ingin lingkungannya aman dan tertib dari gangguan keamanan, makanya mereka ada," tuturnya.

Selain itu, penetapan satpam dan satkamling menjadi Pam Swakarsa ini sekaligus merombak sistem satpam selama ini. Dalam aturan tersebut, Idham membuat golongan kepangkatan di dalam tubuh satpam, yakni ada level manajer, supervisor, dan pelaksana. Bahkan, khusus seragam satpam nantinya akan mengalami perubahan hingga mirip dengan seragam polisi.

Dirpotmas Korbinmas Baharkam Polri, Brigjen Edy Murbowo, menjelaskan bahwa teknik perekrutan untuk Satpam yang diatur sepenuhnya oleh BUJP. Satpam biasanya direkrut, kemudian dilantik. Penyelenggara pelatihan itu bisa dari Polri dan BUJP. Setelah mereka selesai mengikuti pelatihan, satpam dikukuhkan oleh Polri, sehingga dapat ijazah, kartu tanda anggota (KTA), pin, atau kewenangan. "Setelah itu BUJP menyalurkan mereka ke penggunanya. Bisa ke perusahaan, perhotelan, kawasan bisnis, mana yang membutuhkan mereka." kata Edy saat dihubungi Erlina Fury Santika dari Gatra, Selasa lalu.

Sementara itu, Satkamling dibina oleh Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat atau Bhabinkamtibmas. Wilayah kerja satkamling berada di desa dan kelurahan. Kemudian untuk kelompok kearifan lokal, bentuknya berasal dari daerah masing-masing.

Soal anggaran, Edy membeberkan bahwa Polri tak melakukan pengadaan untuk tiga unsur Pam Swakarsa itu. Justru, ia menambahkan, Polri malah mendapat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) seperti diatur di Peraturan Pemerintah 60/2016. Yakni, mendapatkan pemasukan dari penerbitan ijazah dan KTA. “Ijazah senilai Rp85.000 per lembar, sementara KTA itu Rp75.000 per lembarnya,” katanya.

Sedangkan untuk pelaksanaan aturan itu, sudah berlaku sejak disahkan pada 5 Agustus silam. Namun, Polri masih punya ketentuan-ketentuan peralihan, sehingga diberikan waktu sampai satu tahun untuk penggantian seragam. Kemudian, ketiga unsur Pam Swakarsa itu tidak dibekali senjata apa pun.

Meski berpolemik, rencana pembentukan Pam Swakarsa yang diusung Polri memang telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo. Hal ini diungkapkan Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia, Jaleswari Pramodhawardhani.

Menurutnya, Jokowi akan menentang Pam Swakarsa jika dibentuk dengan konsep yang sama seperti saat Orde Baru. Konsep yang diusung Polri kali ini jelas berbeda, yaitu penataan ulang organisasi pengamanan sipil. “Ini memang merupakan kewenangan aparat kepolisian,”  kata Jaleswari saat dihubungi wartawan Gatra Dwi Reka Barokah, Selasa lalu.

***

Sementara itu, Ketua Asosiasi Profesi Satpam Indonesia (APSI), Azis Said, menyambut baik dengan pembentukan Pam Swakarsa. Menurutnya Pam Swakarsa bukan suatu lembaga namun itu hanya istilah umum. Karena sudah tertera jelas dalam Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, di mana tugas Polri dibantu oleh kepolisian khusus (polsus), penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan atau bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

Azis mengakui bahwa pihaknya juga dilibatkan dalam pembentukan Perkap Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa. Namun, menurut Azis belum ada sosialisasi masif dari Polri. Karena itu, pihaknya lebih dulu yang mengabarkan kepada anggotanya, yang kurang-lebih berjumlah 10.000 orang. “Dengan dibentuknya Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Satpam di bawah Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), ini dimaksudkan bahwa seorang anggota satpam harus selalu meningkatkan dan memelihara kompetensinya agar semakin profesional," katanya kepada Wahyu Wachid Anshory dari Gatra.

Hal senada juga diutarakan Manggala Utama Pasikian Pecalang Bali, I Made Mudra, bahwa tidak ada masalah dengan Pam Swakarsa. “Boleh saja, ada persamaan, terdaftar dan dikelola oleh kelompok, tapi pecalang lebih jelas yang membentuk lembaga desa adat, apalagi adanya Perda Nomor 4 Tahun 2019 menjadikan lebih kuat posisi desa adat atau pecalang sekarang,” ucapnya.

Ia menuturkan, ada sekitar 44.790 pecalang jika setiap desa adat yang berjumlah 1.493 ini punya 30 orang pacalang. Karena itu, bagi Made Mudra, perlu sosialisasi yang masif dari Polri. “Karena hingga kini belum ada sosialisasi. Dan juga perlu ada pemantauan dan pengawasan dari Polri agar tidak liar nantinya,” katanya kepada Gatra.

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Taufik Basari mengatakan, dalam hal penggunaan istilah semestinya Polri tidak menggunakan istilah Pam Swakarsa, karena terkait dengan pengalaman perjalanan bangsa yang menimbulkan traumatik. "Istilah ini adalah istilah yang sensitif. Terlebih lagi hingga saat ini penyelesaian tragedi Semanggi I dan II hingga kini belum juga tuntas," tutur Taufik kepada Muhammad Almer Sidqi dari Gatra.

Taufik mengusulkan agar judul peraturan diganti menjadi Peraturan Polri tentang Partisipasi Masyarakat dalam Menciptakan Keamanan dan Ketertiban Lingkungan, atau Peraturan Polri tentang Satuan Pengaman dan Satuan Keamanan Lingkungan.

Gandhi Achmad dan A.A. Gede Agung (Bali)