Home Kesehatan Jurus Optimasi Layanan JKN Menggunakan Big Data

Jurus Optimasi Layanan JKN Menggunakan Big Data

Jakarta, Gatra.com – Upaya pemerintah untuk memperbaiki tata kelola kesehatan terlihat dari terbitnya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Beleid tersebut mengatur mengenai kenaikan tarif program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Di dalam Perpres dijelaskan iuran JKN Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) bagi peserta kelas I naik dari Rp80.000 jadi Rp150.000 per bulan. Iuran peserta kelas II naik dari Rp51.000 menjadi Rp100.000 per bulan. Sementara iuran peserta kelas III segmen peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP) jadi Rp42.000 per bulan.

Pemerintah bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-Kesehatan) berupaya memastikan pembiayaan JKN yang berkelanjutan. Misalnya pada awal bulan Juli 2020, BPJS menaikkan kembali tarif JKN untuk 13 juta peserta mandiri Kelas I dan Kelas II atau 6% dari total seluruh peserta BPJS. Sedangkan kenaikan tarif untuk 21 juta peserta kelas III baru akan diberlakukan pada Januari 2021.

Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Kementerian Keuangan, Didik Kusnaini mengatakan arah perbaikan ekosistem JKN dalam Perpres 64/2020 bertujuan untuk memperbaiki struktur iuran dan meningkatkan kepatuhan pembayaran iuran dan relaksasi di masa pandemi Covid-19. Pemerintah menurutnya telah mengambil beberapa kebijakan relaksasi yang bersifat jangka pendek.

Pertama, relaksasi perpindahan kelas yakni peserta yang tidak mampu membayar layanan kesehatan pada kelas 1 dan kelas 2 dapat berpindah ke kelas 3 (Rp25.500/bulan). “Tarif ini jauh lebih murah dari tarif untuk orang miskin sebesar Rp42.000 yang dibayar negara,” ujar Didik dalam diskusi webinar “Menjamin Kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional “ yang diselenggarakan The SMERU Research Institute, Selasa (20/10).

Langkah kedua, pemerintah mengambil relaksasi pengaktifan kepesertaan yakni peserta JKN yang menunggak dapat mengaktifkan kembali kepesertaannya dengan melunasi tunggakan iuran selama 6 bulan (turun dari keharusan pelunasan 24 bulan). “Apabila masih ada sisa tunggakan, akan diberi kelonggaran sampai dengan tahun 2021,” ucapnya.

Mengenai sumber pembiayaan JKN, terang Didik, pemerintah telah menyiapkan skema pembiayaan jangka panjang. Pertama, melalui iuran yakni review iuran secara berkala, integrasi pungutan iuran dalam rekening listrik, integrasi pungutan iuran dalam rekening listrik, evaluasi batas upah secara berkala, pelaporan gaji/upah termasuk PNS, kontribusi Pemda kepada iuran PBPU lazim, cukai rokok, dan pajak rokok.

Opsi pembiayaan lainnya melalui cukai alkohol, cukai SSB (sugar sweethened beverages) dan cukai healthy food. Sementara dalam jangka pendek, skema pembiayaan dapat diperoleh melalui sharing data dengan BP Jamsostek dan penyelenggara lain, optimalisasi PPU (Pekerja Penerima Upah), Filantropi, CSR dan Crowdfunding.

“Opsi lainnya dapat berupa pengalihan subsidi gas dan BBM, pengalihan subsidi listrik dan penambahan jumlah tertentu per liter BBM,” katanya. Pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Prof. dr. Hasbullah Thabrany mengatakan terdapat beberapa opsi pembiayaan JKN. Di antaranya iuran disesuaikan paling lama tiap 2 tahun, baik persentatase maupun batas atas,

Selanjutnya iuran PBI (Penerima Bantuan Iuran) dan PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah) disesuaikan tiap dua tahun. “Bayaran ke faskes juga disesuaikan paling lama tiap dua tahun. Jika masih ada kekurangan dana, hibah dari APBN bisa dimanfaatkan baik dari dana cukai maupun dana-dana lain,” ujarKetua InaHEA dan Penasihat Kebijakan Think Well Global itu.

Namun persoalan dalam JKN tidak semata soal keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di tengah isu defisit. Beberapa kalangan menyoalkan ketimpangan fasilitas dan kualitas pelayanan kesehatan, serta konsistensi layanan di masa Covid-19. Dalam jangka pendek, pemerintah dapat mengalokasikan pajak dosa (Sin Tax) dan melibatkan swasta dalam skema koordinasi manfaat untuk memperluas ruang fiskal pembiayaan JKN.

Penerapan Sin Tax untuk JKN

Pemanfaatan pajak dosa yang bersumber dari cukai tembakau, alkohol, dan konsumsi lainnya untuk pembiayaan program JKN menjadi salah satu solusi perbaikan tercepat. Sebagai ilustrasi, target penerimaan cukai pada RAPBN 2021 dipatok di angka Rp178,5 triliun. Nilai ini lebih besar dari anggaran kesehatan senilai Rp130 triliun pada 2020.

Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Kementerian Keuangan, Didik Kusnaini mengatakan pemanfaatan Earmarked Tax untuk membiayai social health insurance merupakan praktik umum di berbagai negara. Ia mencontohkan Sin Tax Law (STL) di Filipina berhasil mereformasi earmarking terhadap produk tembakau dan alkohol untuk mempromosikan kesehatan dan memperluas cakupan peserta asuransi PhilHealth.

“Di Australia, Earmarked Tax pada tembakau digunakan untuk membiayai promosi pelayanan kesehatan di Victoria (VicHealth), Australia Barat (Healthway), dan Australia Selatan (Foundation SA). Namun, untuk implementasi di Indonesia masih perlu proses legislasi yang didorong oleh berbagai pihak,” ujar Didik.

Dirinya menambahkan penerapan dana dosa harus disertai alternatif lain yakni kerja sama pemerintah dan swasta terkait koordinasi manfaat. Gagasan itu menurutnya telah tertuang pada Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2013, namun regulasi tersebut masih memerlukan peninjauan lebih lanjut. “Selain meningkatkan akses terhadap jumlah fasilitas kesehatan, kerja sama ini memungkinkan selisih biaya penanganan kesehatan ditanggung oleh asuransi komersial sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku,” katanya.

Farmakoekonomi Dukung JKN

Terlepas dari sumber pembiayaan, keberlangsungan program JKN juga dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan dana yang tersedia. Pemilihan perlakuan yang tepat dalam sistem pengobatan pasien JKN menjadi kunci sukses pembiayaan kesehatan. Terlebih semakin banyak masyarakat yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan pada era JKN ini.

Hasbullah Thabrany mengatakan dalam jangka menengah, pemilihan obat-obatan yang efektif dan efisien dapat menghemat pengeluaran JKN didasarkan prinsip farmakoekonomi. Prinsip itu merujuk pada perhitungan teliti atas manfaat dan biaya penggunaan suatu obat berdasarkan hasil uji klinis yang akurat. “Sebagai contoh, penggunaan farmakoekonomi digunakan untuk menilai obat infeksi yang paling efektif dengan harga yang paling rendah untuk dimasukkan ke dalam e-catalog JKN, seperti perbandingan Cyproxin 500 mg sebagai obat paten dan Siprofloksasin 500 mg sebagai obat generik” ucap Hasbullah.

Pemanfaatan Big Data

Direktur The SMERU Research Institute, Widjajanti Isdijoso mengatakan solusi pembiayaan JKN dapat dioptimasi dengan bantuan teknologi. Penerapan prinsip farmakoekonomi untuk meningkatkan efektivitas perawatan dan terapi dapat dikolaborasikan dengan pendekatan Know Your Customer (KYC) berbasis big data untuk solusi jangka menengah dan panjang JKN.

Pendekatan KYC berbasis big data, terang Widjajanti, dapat diterapkan untuk menganalisis lebih jauh karakteristik kesehatan peserta JKN, mengontrol mutu dan mengendalikan biaya dalam bentuk pemantauan antipenipuan.

“Rekam medis pasien merupakan salah satu sumber data penting yang perlu diperhitungkan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan efisiensi pembiayaan,” katanya.

Peneliti SMERU, Nurmala Selly Saputri mengatakan KYC sangat bermanfaat dalam implementasi Program JKN. Dengan teknik KYC, BPJS dapat mengetahui latar belakang klien, melakukan monitoring aktivitas klien, serta memastikan sumber dana pembayaran.

Sementara penggunaan big data menurutnya dapat mencegah potensi fraud atau penipuan. “Kompleksitas program JKN dan pendanaan yang besar memungkinkan terjadinya kecurangan/fraud dalam program JKN-KIS dimana potensi kecurangan menurut BPKP yakni sebesar 1%,” kata Nurmala.

BPJS Kesehatan menurutnya sudah melakukan beberapa langkah seperti: pengembangan teknologi informasi, pembentukan unit kerja anti fraud, dan mendorong pemantauan dari dinas kesehatan. “Olah karenanya pemanfaat big data JKN untuk analisis fraud sangat dianjurkan dalam implementasi JKN. Hal ini sudah diterapkan untuk memonitor program Medicare di Amerika Serikat,” ujarnya.

Menurut penelitian The SMERU Research Institute, dominasi pelayanan luratif dalam JKN menjadi salah satu penyebab defisit. Dari data pengeluaran JKN tahun 2017 diperoleh kontribusi pembiayaan untuk rawat inap dan rawat jalan RS sebanyak 84 persen. Sementara klaim terbanyak JKN menurut data Dewan Jaminan Sosial Nasional/DJSN (2018) yakni: operasi pembedahan caesar ringan (736.307), nyeri abdomen & gastroenteritis lain-lain (525.699), dan penyakit infeksi bakteri dan parasit lain-lain ringan (442.194).

Big data layanan kesehatan menurutnya sangat membantu pekerjaan data rutin, rekam medis, public records dan lain-lain. Nurmala menyatakan saat ini sistem pencatatan data medis masih bersifat manual dan belum bersinergi dengan baik antara satu faskes dan faskes lainnya. Akibatnya, data yang sangat kaya tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal.

“Ke depan, peran para pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam mendorong integrasi big data kesehatan di Indonesia, disertai dengan kerangka regulasi yang tepat guna menjamin privasi dan keamanan data masyarakat,” pungkasnya.

272