Home Politik Pasal Karet Penanggulangan Ekstremisme

Pasal Karet Penanggulangan Ekstremisme

Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme dikhawatirkan memicu konflik horizontal. Terdapat pasal karet yang berpotensi disalahgunakan banyak pihak. 


Polemik Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE) Tahun 2020—2024, berlanjut. Peraturan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 6 Januari lalu ini masih diragukan banyak pihak.

Padahal, berdasarkan keterangan dari laman Sekretariat Kabinet, munculnya RAN PE didasari oleh semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia—yang telah menciptakan kondisi rawan dan mengancam hak atas rasa aman serta stabilitas keamanan nasional.

"Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, diperlukan suatu strategi komprehensif untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan," demikian bunyi penjelasan yang tertuang dalam pertimbangan perpres tersebut.

Lebih jauh, pada Pasal 1 ayat (2) didefinisikan, ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.

Selanjutnya pada ayat (4) dijelaskan, RAN PE adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana untuk mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme yang digunakan sebagai acuan bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (pemda) dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

"RAN PE bertujuan untuk meningkatkan pelindungan hak atas rasa aman warga negara dari Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," demikian bunyi Pasal 2 ayat (2).

Sebagaimana tercantum pada lampiran perpres, RAN PE memuat pendahuluan dan strategi RAN PE Tahun 2020—2024, di mana strategi RAN PE juga dilengkapi dengan Aksi PE. Disebutkan dalam Perpres, RAN PE Tahun 2020 telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut disebutkan, RAN PE mengedepankan pendekatan lunak (soft approach) dalam menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR Bidang Polhukam, Sukamta, mempertanyakan motif Presiden Jokowi melahirkan Perpres Nomor 7 Tahun 2021. "Sudah ada UU Terorisme yang dipergunakan untuk memberantas teroris. Apakah perpres ini benar-benar menyasar pencegahan tindakan terorisme, atau punya motif lain?" ucapnya.

Selain itu, Sukamta menilai Perpres ini rawan multitafsir mengenai makna ekstremisme. Menurutnya, apa yang tertuang dalam perpres itu menjadi tidak jelas. "Pemerintah tidak jelas arah dan tujuannya menerbitkan perpres tersebut," katanya.

Tafsir ekstremisme versi pemerintah tersebut, kata Sukamta, berbahaya bagi keadilan hukum dan iklim demokrasi. Tidak jelas bentuk dan ukurannya, sehingga dalam tataran teknis menjadi multitafsir. "Misal, ada laporan dari masyarakat tentang kejadian ekstremisme kepada kepolisian terhadap orang atau kelompok dengan keyakinan tertentu yang dianggap mendukung ekstremisme kekerasan polisi pun akan menafsirkan laporan secara subjektif," ia mengungkapkan.

Sebenarnya, Sukamta menambahkan, jika pemerintah serius mau memberantas terorisme, maka pergunakan Undang-Undang Terorisme. Selama ini UU Terorisme hanya dipergunakan untuk mengadili pelaku teroris dengan baju agama Islam. “Sedangkan kelompok pemberontak, makar di Papua tak pernah ditangani layaknya kasus terorisme. Namun, hanya ditangani seperti kelompok kriminal bersenjata biasa," Sukamta memaparkan lebih lanjut.

Pengamat terorisme Ridwan Habib menyebut, definisi ekstremisme dalam Perpres ini tidak dijelaskan secara rinci. Bahkan, menurutnya, ekstremisme dalam perpres yang didefinisikan menggunakan kekerasan mengarah pada terorisme juga malah bertentangan dengan teori dasar kontraterorisme. "Karena teroris itu teorinya mereka selalu berusaha menyamar sebagai orang baik-baik di masyarakat. Artinya, kalau seorang teroris itu tidak mungkin di masyarakat ia menunjukkan kekerasan, sebelum melakukan serangan ya," katanya kepada Gatra, Senin lalu.

Kerap kali, Ridwan melanjutkan,dalam pemberitaan mengenai penangkapan teroris, pelaku memiliki keseharian sebagai seseorang yang dianggap baik di lingkungannya. Lantas, bagaimana caranya masyarakat bisa mengetahui seseorang merupakan ekstremis jika dalam kesehariannya tidak menunjukkan tanda-tanda sama sekali? Maka dari itu, terminologi ekstremisme perlu didetailkan.

Selain itu, Ridwan juga menyayangkan, penyusunan Perpres ini tidak melibatkan organisasi-organisasi masyarakat besar seperti Nadhlatul Ulama, Muhammadiyah, dan lainnya. Padahal, pelibatan itu sangat penting untuk menghindari adanya pertentangan di masyarakat akibat Perpres ini. "Orang akan tuding satu sama lain. Ini ekstremis, yang itu tidak ekstremis. Itu harus melibatkan ormas-ormas besar, dipanggil untuk duduk bersama dalam sekretariat bersama, membahas dan merincikan hal itu," ujarnya.

Meski saat ini Perpres RAN PE masih belum bisa dimanfaatkan untuk melaporkan seseorang, lantaran sekretariat bersama (sekber)-nya belum terbentuk, menurur Ridwan Habib tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan konflik di masyarakat. Karena itu, sekber harus bisa mengakomodasi berbagai macam karakter masyarakat agar tidak terjadi permasalahan baru nantinya. "Makanya pada saat aplikasinya, di praktik sekretariat bersama itu, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) harus mengundang ormas-ormas. Jadi sekber ini menurut saya harus melibatkan masyarakat," dia menjelaskan. 

Lagi pula, nantinya sekber juga akan merumuskan langkah-langkah apa saja yang akan diambil. Misalnya, menyiapkan ulama moderat untuk memberikan ceramah soal nasionalisme, kebangsaan, NKRI ke masjid-masjid. Jika tidak melibatkan ormas-ormas besar, ulama-ulama moderat yang ditugaskan ini bisa ditolak masyarakat.

Secara tertulis, Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Hak Asasi Manusia Kantor Staf Presiden (KSP), Jaleswari Pramodhawardhani, mengatakan bahwa dalam RAN PE sudah secara limitatif diatur ekstremisme seperti apa yang dimaksud. Beberapa parameter yang dipergunakan, antara lain, keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem serta bertujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.

Kemudian, persoalan RAN PE memberikan berbagai ruang bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam upaya menganggulangi ekstremisme dan terorisme, di antaranya melalui: pembentukan platform kemitraan antara pemerintah dan pemangku kepentingan di masyarakat. Lalu, pelibatan para pemimpin komunitas dalam melakukan pelatihan dan sosialisasi pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di tatanan masyarakat. "Hingga optimalisasi program pemolisian masyarakat," katanya.

***

Deputi Penegakan Hukum BNPT, Eddy Hartono, menjelaskan ada beberapa faktor kunci yang dapat diidentifikasi sebagai latar belakang tumbuh dan berkembangnya ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Yaitu, besarnya potensi konflik komunal berlatar belakang sentimen primordial dan keagamaan, kesenjangan ekonomi, perbedaan pandangan politik, perlakuan yang tidak adil, dan intoleransi dalam kehidupan beragama.

Eddy memandang seluruh langkah sudah dikalkulasikan dengan terukur oleh BNPT dalam penyusunan perpres ini. Misalnya dalam pasal pemolisian masyarakat untuk mencegah ekstremisme, implementasinya akan menitikberatkan pada kemitraan antara Polri dan masyarakat.

Eddy mengaku tidak khawatir regulasi ini akan disalahgunakan oleh kelompok tertentu. Menurutnya, pakem Perpres Nomor 7 Tahun 2021 itu sebagai payung hukum sudah sangat kuat mengatur upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme secara sistematis, terencana, dan terpadu.

Apalagi, hal tersebut diperkuat adanya Surat Keputusan Menkopolhukam Nomor 33 Tahun 2019 tentang Tim Koordinasi Antarkementerian/Lembaga Pelaksanaan Program Penanggulangan Terorisme. "Perpres ini justru memperkuat pencegahan dari hulunya terhadap tindak pidana terorisme, karena hilirnya sudah dapat ditangani dengan baik oleh aparat penegak hukum," ia memaparkan.

Dengan adanya perpres tersebut, menurut Eddy, peran BNPT dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme akan semakin kuat. "Sesuai amanat Pasal 43G Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," ujarnya.

Gandhi Achmad, M. Guruh Nuary, Ucha Julistian Mone, Ryan Puspa Bangsa, dan Erlina Fury Santika