Home Ekonomi Faisal Basri Sebut Kebijakan Energi RI Super Ngawur

Faisal Basri Sebut Kebijakan Energi RI Super Ngawur

Yogyakarta, Gatra.com – Ekonom Faisal Basri menyatakan pandemi semestinya menjadi momentum pemerintah untuk mengembangkan kebijakan energi ramah lingkungan. Namun kebijakan energi pemerintah saat ini tidak selaras dan ambisius.

Hal itu disampaikan Faisal dalam diskusi daring ‘Webinar Penghapusan Premium dan Pertalite’ gelaran Dewan Energi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sabtu (6/3).

Ia memaparkan sejumlah negara telah mengambil kebijakan untuk menggenjot penggunaan energi ramah lingkungan. Contohnya, Norwegia dengan penjualan mobil listrik mencapai 54 persen pasar mobil negara itu tahun lalu sehingga jadi rekor dunia.

Adapun Jepang bakal melarang penjualan mobil berbahan bakar bensinn pada 2030, sedangkan Amerika Serikat juga mempercepat industri mobil tanpa bensin. “Negara-negara lain sudah ke Mars kita masih di zaman batu. Kita masih sibuk omong BBM,” seloroh Faisal.

Menurut Faisal, pemerintah memang akan memberikan insentif untuk pengembangan mobil listrik. Namun kebijakan ini tak selaras dengan kebijakan energi lain, seperti rencana pembangunan kilang untuk menampung BBM beroktan tinggi yang hingga kini tak kunjung terwujud.

Faisal menyindir rencana kilang yang tak jadi-jadi itu sebagai hikmah. “Pemerintah ini barangkali punya ahli nujum karena tahu membangun kilang itu akan sia-sia. Kalau kilang jadi, pembeli makin sedikit, karena mobil listrik makin banyak. Jadi ada hikmah juga,” kata dia.

Ia menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo perlu meninjau kembali pembangunan kilang minyak dan alihkan separuh anggarannya untuk energi baru terbarukan dan energi hijau.

“Jokowi jangan marah-marah lagi kepada menteri dan Pertamina kenapa bangun kilang enggak jadi-jadi. Alhamdulillah enggak jadi. Kalau jadi, kita bisa repot. Kapasitas (minyak) naik dua kali lipat, tapi konsumsi turun,” tuturnya.

Apalagi, kata Faisal, pada saat bersamaan pemerintah hendak mewujudkan secara penuh program B30, B40, bahkan B100, yakni penggunaan bahan bakar dengan kandungan organik atau bioenergi sebesar 30, 40, hingga 100 persen. “Ini sudah ngawur sekali, ngawurnya super ngawur,” kata dia.

Selain itu, pemerintah juga punya ambisi menggeber industri mobil lisrik yang ditopang ambisi jadi produsen baterai terbesar dunia. “Bakal terjadi kekacauan jika semua hendak diwujudkan dan menimbulkan ongkos ekonomi amat mahal,” kata pengajar di Universitas Indonesia ini.

Ia menyebut biodiesel bukan solusi kebijakan energi. Biodiesel semula untuk menekan impor minyak, sehingga memperbaiki transaksi perdagangan. “Kenyataannya justru bertolak belakang. Berdasarkan perhitungan opportunity cost akibatnya justru defisit perdagangan yakni Rp72 triliun pada 2018 dan Rp85,2 triliun pada 2019,” tuturnya.

Menurut dia, petani sawit juga sangat dirugikan karena harga jual sawit di tingkat petani ditekan. “Pengusaha biodiesel menikmati rente. Jadi ada zero sum game (kondisi ada yang menang dan ada yang kalah),” katanya.

Padahal saat ini subdisi BBM dialihkan ke biodiesel. “Anggaran Rp2,7 triliun dialokasikan dari APBN 2020 karena dana penyangga sawit sudah habis. Selain itu butuh tambahan 5 juta hektar untuk merealisasikan B30 dan B40,” kata Faisal.

393