Home Hukum Pengembalian Kerugian Negara Perlu Integritas Yudikatif

Pengembalian Kerugian Negara Perlu Integritas Yudikatif

Jakarta, Gatra.com – Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Achmad Dimyati, mengatakan, perlu kesamaan pandangan, khususnya itegritas yudikatif dalam upaya pengembalian kerugian negara terkait kejahatan ekonomi.

"Keinginan eksekusi dan legislatif perlu juga didukung komitmen dari yudikatif. Penyelenggara hukum harus bersih," kata Dimyati.

Ia mejelaskan, penegak hukum harus bersih dan benar-benar mengejar aset pihak yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, misalnya kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan investasi Asabri dan Jiwasraya.

"Karena itu, integritas penegak hukum jangan sampai kalah dengan uang," ujar Dimyati dalam diskusi virtual Ruang Anak Muda pada Selasa (20/4).

Sedangkan soal menguatnya dorongan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset segera dibahas dan disahkan, menurutnya tidak terlepas dari gagalnya sistem hukum yang ada, untuk mengembalikan kerugian negara secara cepat dan maksimal.

"Kan kita uda ada UU TPPU [Tindak Pidana Pencucian Uang], tapi lambat dan tidak maksimal penerapannya," ujar Dimyati.

Karena itu, eksekutif dan legislatif atau pemerintah dan DPR kembali membahas RUU Perampasan Aset. Ini juga sebagai upaya penyempurnaan atau melengkapi hukum atau UU yang telah ada.

Adapun alasan lainnya, karen keuangan negara saat ini sedang mengalami kesulitan, sehingga prioritas penanganan kejahatan ekonomi bukan hanya kepada penghukuman aspek pidana, namun juga pada aspek perdata berupa perampasan aset hasil dari tindak kejahatan.

"Urgensi RUU Perampasan Aset karena Indonesia sedang mengalami defisit keuangan. Sementara di saat besamaan, marak kejahatan keuangan dan menguras kekayaan sumber daya alam negara," ujarnya.

Ia menekankan perlu ada kesamaan paradigma dalam menegakkan hukum, supaya tujuan dari pembentukan UU Perampasan Aset dapat tercapai dengan baik, yakni pengembalian kerugian negara secara maksimal, terutama pada kasus BLBI, Jiwasraya, dan Asabri.

90