Home Ekonomi Polemik Pandemi Cerminan dari Terabaikannya Aspek Struktural Pembangunan RI

Polemik Pandemi Cerminan dari Terabaikannya Aspek Struktural Pembangunan RI

Jakarta, Gatra.com - Ledakan persoalan Covid-19 yang menempatkan Indonesia menjadi episentrum Covid-19 di Asia merupakan akumulasi berbagai persoalan struktural yang cenderung tidak pernah tertangani dengan baik selama ini.

Ketua Departemen Ekonomi dan Pembangunan DPP PKS, Farouk Abdullah Alwyni menyatakan bahwa paradigma pembangunan yang hanya menekankan kepada pertumbuhan ekonomi selama ini membuat para pemegang kebijakan abai terhadap aspek-aspek struktural dari pembangunan.

Selain persoalan kesehatan, Farouk melihat bahwa persoalan struktural pembangunan yang lain, yakni terkait lemahnya sistem jaringan pengaman sosial dan persoalan birokrasi Indonesia, berkontribusi terhadap tidak terkendalinya persoalan Covid-19 di Indonesia sekarang ini.

“Sistem jaringan pengaman sosial di sini sangat lemah terkait implementasi bantuan sosial kepada segenap masyarakat yang terdampak oleh pandemi Covid jika keputusan lockdown dilakukan.” ujar Farouk kepada pihak Gatra.com pada Ahad (25/01).

“Pemerintah sejak awal tidak kunjung bisa untuk melakukan lockdown karena menyadari keterbatasannya dalam memberikan bantuan sosial kepada segenap anggota masyarakat, karena mustahil lockdown bisa dilakukan tanpa dibarengi dengan sistem jaringan pengaman sosial yang komprehensif bagi segenap masyarakat yang terdampak. Persoalan bantuan sosial yang mulai kedodoran pun terlihat pada saat PPKM Darurat,” tambah Farouk.

Terkait persoalan birokrasi, Farouk menuturkan bahwa BPK juga telah memberikan catatan merah terkait anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dan menyimpulkan bahwa efektivitas, transparansi, akuntabilitas dan kepatuhan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dalam kondisi darurat pandemi Covid-19 tidak sepenuhnya tercapai. Proses anggaran yang birokratis dan cukup panjang mulai dari Pemerintah Pusat sampai ke rumah tangga atau target sasaran. Harus melalui banyak tahapan. Sehingga membuka ruang terjadinya penyelewengan.

Persoalan birokrasi Indonesia, jelas Farouk, sebenarnya satu persoalan struktural penting yang tidak kunjung teratasi. Isu terkait reformasi birokrasi telah didengungkan selama beberapa waktu di Indonesia, tetapi implementasinya belum benar-benar terealisasi. Posisi Indonesia di dalam rangking Ease of Doing Business dari Bank Dunia (2020) yang dalam banyak hal merefleksikan efektivitas dan efisiensi dari birokrasi adalah masih di level 73 yang secara relatif masih rendah.

“Ranking Indonesia selama tiga tahun terakhir ini relatif stagnan dan masih di bawah negara-negara tetangganya di ASEAN seperti Singapura (2), Malaysia (12), Thailand (21), Brunei (66), dan bahkan Vietnam (70),” urai Farouk.

Alumnus New York University ini juga memaparkan bahwa Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia (2015) dalam salah satu laporannya meletakkan isu birokrasi dan korupsi sebagai bagian hambatan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia.

ADB menurut Farouk menyatakan bahwa terdapat sebuah kebutuhan yang urgent terhadap simplifikasi regulasi karena biaya-biaya tambahan yang rezim regulasi bebankan terhadap bisnis. ADB di sini juga menyalahkan birokrasi yang bertele-tele di sektor pemerintahan sebagai salah satu faktor yang berkontribusi terhadap korupsi.

“Kultur birokrasi yang korup yang tidak kunjung berubah bahkan di saat pandemi Covid sekali pun, dari berbagai kasus korupsi yang mengemuka, yang paling fenomenal adakah korupsi dana bantuan sosial yang dilakukan oleh Juliari Batubara eks Menteri Sosial, pimpinan dari sebuah kementerian yang justru sangat bertanggung jawab untuk membantu rakyat banyak yang terdampak Covid-19.” tuturnya.

“Parahnya, penyidik kasus tersebut (Andre Dedi Nainggolan dan Praswad Nugraha) justru terkena proses pembersihan atas nama Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dilakukan di KPK, tidak cukup sampai di situ baru-baru ini Praswad Nugraha juga mendapat sanksi dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK terkait pelanggaran kode etik dalam penyidikan kasus bansos tersebut. Selain itu Presiden selaku pimpinan tertinggi negara justru tidak bisa berbuat apa-apa terhadap aksi pelumpuhan KPK ini, yang sangat counter-productive terhadap upaya pemberantasan korupsi di Republik ini,” sambung Farouk.

Sebagai penutup, Farouk menjelaskan bahwa pembangunan bukanlah sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga di antaranya bagaimana kita bisa membangun sistem kesehatan yang berkualitas, birokrasi yang bersih dan efisien, serta sistem pengaman sosial yang baik.

“Ledakan dari pandemi Covid-19 ini menunjukkan bahwa kita mempunyai persoalan-persoalan struktural yang tidak kunjung teratasi dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain, akibatnya kita bisa lihat sendiri, bagaimana jika hal-hal tersebut tidak tertangani dengan baik, dan kita menghadapi situasi extraordinary seperti sekarang ini, dampaknya menjadi begitu mahal mulai dari korban jiwa, sakit, sampai dampak ekonomi,” pungkas Farouk.

235