Home Kesehatan Negara Kaya Borong Vaksin, Negara Miskin Harus Ngantri

Negara Kaya Borong Vaksin, Negara Miskin Harus Ngantri

Jakarta, Gatra.com – Peneliti Third World Network, Lutfiyah Hanim, mengungkapkan rahasia di balik ketidakmerataan akses vaksinasi di seluruh dunia yang menyebabkan penyuntikan vaksinasi tersendat di beberapa negara, terutama negara miskin dan berkembang, termasuk di Indonesia.

Menurut Lutfiyah, hal ini disebabkan oleh negara-negara kaya yang memborong vaksin dengan jumlah yang sebetulnya jauh lebih banyak dari yang mereka butuhkan.

“Yang dilakukan oleh negara-negara kaya pada tahun lalu adalah membeli vaksin dalam jumlah yang jauh di atas kebutuhan mereka. Mereka kaya, kan? Ini membuat negara lain yang tidak punya uang, ya minggir dulu,” ujar Lutfiyah dalam sebuah webinar yang digelar Kamis, (19/8/2021).

Dalam pemaparannya, Lutfiyah memberikan contoh. Kanada, misalnya, memesan 362 juta dosis vaksin. Dengan jumlah tersebut, maka setiap penerima vaksin di Kanada akan mendapatkan 9,6 dosis per orang. "Ini berlebihan," katanya.

Contoh-contoh yang sama terjadi di negara-negara maju lainnya. Amerika memesan 1,2 miliar dosis atau setara dengan 3,7 dosis per orang. Kemudian disusul oleh Uni Eropa yang memesan 1,6 miliar dosis (3,2 dosis per orang) dan Inggris yang memesan 367 juta dosis (5,5 dosis per orang).

Sementara di negara miskin dan/atau berkembang, kenyataan berkata sebaliknya. Sebagai contoh, Uni Afrika memesan 270 juta dosis vaksin. Itu setara dengan 0,2 dosis per orang.

Indonesia tak kalah mengkhawatirkan. Menurut data per 29 Januari 2021 lalu ini, pemerintah RI telah memesan sebanyak 190 juta dosis vaksin merek Sinovac. Itu setara dengan 0,7 dosis per orang.

Pembelian vaksin oleh negara-negara kaya tersebut dilakukan dengan skema pembelian bilateral. Pembelian bilateral adalah sebuah skema pembelian vaksin di mana pemerintah suatu negara membeli langsung dari perusahaan vaksin yang memproduksinya.

“Nah yang nggak punya uang nggak terpikirkan bagaimana caranya,” ujar Lutfiyah.

“Ini menjadikan negara-negara lain juga, ketika mau membeli, itu harus ngantri. Jadi memenuhi pesanan-pesanaan mereka lebih dulu dan yang lainnya harus ngantri,” imbuh Lutfiyah.

Lutfiyah kemudian menyebut bahwa faktor lain yang cukup berkontribusi pada ketidakmerataan akses vaksin adalah bahwa negara-negara maju ini memang membiayai penelitian perusahaan-perusahaan farmasi pembuat vaksin dengan menggunakan dana publik.

Dengan demikian, Lutfiyah memandang bahwa pemborongan vaksin oleh negara-negara kaya bisa lebih sedikit dipahami. Pasalnya, mereka memang membiayai dana penelitiannya sejak awal.

 

116