Home Kesehatan Langka! Dokter Ungkap Pasien yang Tunjukkan Gejala Rabies Dua Tahun Setelah Gigitan

Langka! Dokter Ungkap Pasien yang Tunjukkan Gejala Rabies Dua Tahun Setelah Gigitan

Jakarta, Gatra.com – Rabies masih menjadi momok menakutkan dalam dunia menular. Ia merupakan salah satu penyakit tua dalam sejarah manusia yang masih ada hingga kini. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyebut bahwa pelaku utama penyebaran virus rabies adalah hewan anjing. Angkanya mencapai 95%.

Dalam penularannya dari hewan terduga rabies ke manusia, rentang waktunya bervariasi. Ada yang baru beberapa pekan terinfeksi lalu menunjukkan gejala tertular. Namun, ada juga yang lebih lama dari itu.

Anggota Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI, DR Dr. Novie Homenta Rampengan SpA(K), mengatakan bahwa dirinya pernah mendapatkan laporan seorang manusia yang baru menunjukkan gejala rabies setelah dua tahun terkena gigitan anjing.

“Ada laporan yang paling lama rabies itu menular sampai dua tahun setelah gigitan. Jadi gigitannya di daerah kaki, orangnya tidak sadar. Kaki itu kan jauh dari otak. Jadi perlu waktu dia untuk menyebar lewat pembuluh darah, persyarafan, sehingga baru dua tahun baru timbul gejala,” kata Novie dalam konferensi pers virtual IDAI pada Sabtu (17/6).

Sejatinya, terdapat sejumlah cara untuk meminimalisir atau melakukan pertolongan pertama agar gejala rabies pada orang tidak memburuk. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Imran Pambudi mengatakan, pertolongan pertamanya adalah pasien harus segera dilarikan ke fasilitas kesehatan terdekat.

“Jadi kalau ditaya apa yang pertama dilakukan, yaitu harus sesegera mungkin begitu digigit itu harus ke faskes untuk dilakukan cuci luka,” ujar Imran dalam konferensi pers virtual terkait "Update Situasi Rabies di Indonesia" pada awal Juni lalu.

Lebih lanjut, Imran menjelaskan bahwa sejatinya tingkat keparahan penyakit seseorang yang terkena rabies bisa diukur dari letak gigitannya. Apabila letaknya makin dekat dengan syaraf, maka kondisinya otomatis jauh lebih buruk, karena virusnya akan menjalar lebih cepat ke pusat syaraf.

Imran menyebut, sebagian besar kasus kematian akibat rabies disebabkan oleh keterlambatan pasien dibawa ke fasilitas kesehatan (faskes). Ia mengatakan banyak pasien menganggap sepele gejala-gejala yang mereka rasakan.

“Mereka itu merasa ini hanya gigitan kecil. Enggak sampai berdarah. Kemudian mereka bilang, ‘anjingnya juga anjing tetangga saya kok. Sering main sama saya kok sehingga mereka itu datang [ke faskes] sudah pada kondisi di atas satu bulan setelah digigit,” ujar Imran.

“Artinya, kalau sudah satu bulan, otomatis kita enggak tahu lagi hewannya seperti apa. Dan, rata-rata mereka baru panik dibawa ke faskes, anjing yang mengigit itu mati. mereka kemudian baru membawa ke sana,” imbuh Imran.

Secara umum, kondisi rabies di Indonesia saat ini dikhawatirkan meningkat kembali usai pandemi Covid-19. Angka kasus rabies sempat menurun pada 2020-2021 karena selama pandemi, orang-orang lebih sering berada di rumah dan mengurangi kegiatan di luar ruangan. Otomatis kontak antara manusia dan hewan diduga penyebar rabies menjadi menurun.

Namun, usai pandemi, angka tersebut dikhawatirkan meningkat lagi. Pada 2022, angka kasus rabies meningkat pesat, bahkan menjadi yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Kemenkes mencatat terjadi 104.229 gigitan hewan rabies dan sebanyak 102 orang meninggal dunia di tahun lalu. Hanya 74.888 yang mendapat vaksin rabies.

Sementara pada tahun ini, dari data hingga April 2023, Kemenkes mencatat sudah ada 31.113 kasus gigitan rabies dan 11 orang telah meninggal dunia. Baru sejumlah 23.211 yang mendapatkan vaksin rabies. Bali masih menjadi provinsi dengan jumlah kasus terbanyak seauh ini, yakni mencapai 14.827, disusul Nusa Tenggara Timur (3.437) dan Sulsel (2.338).

Di sisi lain, hanya ada delapan provinsi yang bebas rabies, yaitu Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Papua, dan Papua Barat.

69