Home Internasional Menilik Sejarah Singkat Status Terorisme Taliban di PBB

Menilik Sejarah Singkat Status Terorisme Taliban di PBB

Jakarta, Gatra.com – Hingga hari ini, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih belum memasukkan Taliban ke dalam daftar organisasi terorisnya. Hanya Kanada, Kazakhstan, Kirgistan, Rusia, Tajikistan, dan Uni Emirat Arab (UEA) yang melabeli mereka sebagai kelompok teroris.

Akan tetapi, apabila ditilik dari sudut pandang sejarah, situasinya sedikit lebih kompleks. Pada tahun 1999, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1276 yang menyatakan bahwa Osama Bin Laden dan siapa pun yang berafiliasi dengannya, termasuk Taliban, merupakan seorang atau kelompok teroris.

Buntut dari resolusi tersebut adalah sanksi internasional bagi individu atau entitas yang terafiliasi dengan Osama, Al-Qaeda, dan/atau Taliban di mana pun kelompok-kelompok ini berada. Sanksi tersebut meliputi pembekuan aset, larangan perjalanan, hingga embargo persenjataan.

Akan tetapi, label teroris tersebut tak lagi tersemat pada Taliban dua belas tahun kemudian. Pada tahun 2011, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 1988 yang tak lagi secara eksplisit menyebut bahwa Taliban adalah kelompok teroris.

Hal itu bukan tanpa sebab. Jalan itu diambil oleh PBB dengan tujuan agar negara-negara lain bisa ikut terlibat dalam perundingan perdamaian di Afghansitan. Pasalnya, apabila label teroris masih tersemat pada kelompok militan tersebut, upaya perdamaian dinilai sulit terwujud.

Sebagai catatan, di tahun yang sama, Indonesia secara langsung terlibat dalam upaya perdamaian itu. Upaya itu dilakukan oleh salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU). Tujuannya adalah untuk memediasi dan mengenalkan ajaran Islam yang moderat.

“Pada tahun 2011, kita undang semua faksi Afghanistan ke Indonesia. Persiapan kita sudah sangat jauh. Kita perkenalkan pengalaman Indonesia dalam masa transisi kemerdekaan,” ungkap Wasekjen PBNU, Abdul Mun’im, seperti dilansir oleh laman resmi NU beberapa hari lalu.

“Kita juga mengajarkan pembuatan konstitusi. Kita mengutus KH. Saifuddin Amsir menjelaskan Pancasila dan syariat. Mahkamah Agung selalu melibatkan fatwa ulama. Ternyata, Indonesia dengan Pancasila, tetapi syariat Islam berlaku juga. Kita juga jelaskan UUD 1945. Kita harapkan [Indonesia] bisa menjadi inspirasi mereka. Dengan prinsip asas musyawarah, syariat Islam tetap berjalan. Banyak ulama NU dikirim ke sana,” jelas Abdul.

Sejak saat itulah, Taliban tak lagi digolongkan sebagai kelompok teroris. Walau demikian, hingga saat ini banyak pihak yang tetap mengasosiasikan Taliban dengan kelompok-kelompok teroris lain seperti ISIS, Boko Haram, dan terutama Al-Qaeda.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad), Dina Yulianti Sulaeman, menyatakan bahwa Taliban berbeda dengan kelompok teroris lain, seperti Al-Qaeda, yang sudah secara resmi terdaftar sebagai kelompok teroris oleh Dewan Keamanan PBB.

“Mereka [Taliban dan Al-Qaeda] memiliki dasar ideologi yang sama, dan punya kepentingan yang sama, yaitu melawan AS. Tapi tujuan organisasi mereka berbeda. Taliban fokus di Afghanistan, sementara Al Qaida melakukan aksi terorisme di berbagai penjuru dunia,” ujar Dina kepada Gatra.com beberapa hari lalu.

“Mereka [Taliban] berperang melawan pendudukan AS, dan selama masa itu memang mereka diketahui melakukan aksi-aksi kekerasan kepada orang-orang yang bersekutu dengan AS,” imbuh Dina.

Walau tak secara resmi dilabeli teroris oleh PBB, kekhawatiran mengenai gerakan terorisme masih tetap saja menghantui dunia global, tak terkecuali publik Indonesia, terutama setelah peristiwa pengambilalihan kekuasaan dari tangan pemerintahan AS di Afghanistan baru-baru ini.

Apalagi, laporan PBB pada Juni 2021 lalu mengatakan bahwa sebetulnya Taliban dan Al-Qaeda masih terkait erat satu sama lain. “Taliban dan Al-Qaeda masih tetap bersekutu erat dan sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda terpecah,” ujar laporan tersebut.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa saat ini Al-Qaeda menghuni 15 provinsi di Afghanistan, yaitu Badakhshan, Faryab, Ghazni, Kabul, Kapisa, Kunar, Kunduz, Laghman, Nangarhar, Nuristan, Panjsher, Parwan, Takhar, Uruzgan and Zabul. Kelompok ini dipimpin oleh Jabhat al-Nasr di bawah pimpinan Sheikh Mahmood.

Dengan demikian, maka bisa dipahami bahwa potensi terorisme transnasional atau global masih tetap diwaspadai oleh banyak pihak. Di level global, utusan AS, Zalmay Khalilzad, langsung mengultimatum Taliban beberapa hari setelah Afghanistan mengambil alih Kabul.

Zalmay mengungkapkan bahwa gerak-gerik Taliban yang mengerikan, termasuk apabila melukai warga yang hendak keluar dari Kabul, akan dibayar dengan kutukan internasional. Ia juga menegaskan bahwa dunia global akan melabeli mereka sebagai “sampah masyarakat global”, seperti dilansir oleh Associated Press.

Dinamika yang terjadi di Indonesia—sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia—tak kalah hangat. Pengamat Timur Tengah dari National University of Singapore, Noor Huda, menyatakan bahwa kemenangan Taliban di Afghanistan bisa dijadikan sebagai “mood booster” atau penyemangat bagi kelompok radikal di Indonesia untuk menggulingkan pemerintahan yang ada.

“Sebetulnya yang sedang dikhawatirkan dengan kemenangan Taliban ini ada upaya sistematis, digunakan sebagai moral booster, penyemangat. Tidak hanya penyemangat, tapi kemudian membangkitkan mimpi-mimpi lama untuk merusak apa yang digenggam oleh kaki Garuda itu, kebhinekaan. Ini yang dikhawatirkan,” ujar Noor.

“Jadi yang dikhawatirkan oleh seluruh aparat hari ini itu adalah transfer of knowledge, transfer of network, dan transfer of imagination. Mereka itu membayangkan global ummah. ‘Aku ini nggak hanya orang Indonesia. Aku ini bagian dari sebuah umat yang besar,’” imbuh Noor.

Sementara itu, pengamat politik Indonesia yang lain, Kapitra Ampera, mengungkapkan bahwa dalam menyikapi kemenangan Taliban atas pendudukan Amerika Serikat di Asghanistan, publik Indonesia terbagi menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama adalah yang menafsirkan kemenangan tersebut sebagai dukungan moral bagi kelompok radikal di Indonesia untuk merebut pemerintahan yang sah. Kelompok kedua adalah membentur-benturkan antara pemerintah yang ada dengan umat Islam. “Ini dua kelompok yang harus kita waspadai. Sama jahatnya,” tegas Kapitra.

Untuk saat ini, Taliban memang tak secara resmi tergolong sebagai organisasi teroris di Dewan Keamanan PBB. Apa yang terjadi setelah ini tentu bergantung pada dinamika yang berlangsung di Afghanistan. Publik global patut menunggu apa yang akan terjadi pada 31 Agustus 2021 mendatang, hari tenggat yang ditentukan kepada AS untuk menarik keluar semua pasukan militer dan warganya dari Afghanistan.

Dina menilai bahwa sejarah baru belum akan segera terlihat. Menurutnya, publik dunia masih harus bersabar menunggu ke mana jejak histori ini akan bermuara. Pasalnya, Taliban menyatakan bahwa tidak akan ada pemerintahan baru sebelum AS sepenuhnya angkat kaki dari Afghanistan.

“Karena itu penting sekali dunia internasional membantu terbentuknya pemerintahan yang stabil di Afghanistan supaya kepercayaan rakyat kembali dan mereka mau kembali tinggal di negeri mereka sendiri, dan tidak membebani negara lain,” ujar Dina.

3516