Home Ekonomi Polemik Pasal Siluman Pemulus Rencana Penambangan

Polemik Pasal Siluman Pemulus Rencana Penambangan

Selama 15 tahun, para petani lahan pasir pesisir Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus melawan rencana tambang pasir besi di lahan garapannya, namun perlawanan itu tak kunjung berhasil. Beragam regulasi baru justru menyulitkan upaya mereka mempertahankan lahan bertaninya. Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari lima tulisan hasil peliputan Gatra.com bersama Tim Kolaborasi Liputan Agraria pada Maret – Juli 2021.


Kulonprogo, Gatra.com - Pasca-terbitnya Kontrak Karya PT Jogja Magasa Iron (JMI) pada 4 November 2008, aktivitas PT JMI pun semakin terlihat di pesisir Kulonprogo. Pada 2009, PT JMI mulai melakukan sosialisasi rencana penambangan pasir besi pesisir Kulonprogo, dan mulai menyusun dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Sumarni, warga Dukuh Karangwuni, Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, masih mengingat bagaimana suasana sosialisasi dan penyusunan AMDAL pada 2009 itu. Ia menyebut, saat itu tak semua warga diundang untuk mengikusi sosialisasi itu.

“Memang enggak semua warga diundang. Di situ istilahnya mengeluarkan unek-unek. Disampaikan semua. Saya datang,” kata Sumarni saat ditemui di rumahnya, Selasa (25/5/2021) lalu.

Sumarni juga mengingat bagaimana rencana penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo membelah masyarakat dalam kubu pro dan kontra tambang. Pro-kontra tambang pasir besi menyebabkan perpecahan antar saudara. “Ibaratnya dulu, orang tua, kakak-adik saling tidak menyapa,” kata Sumarni.

Sebagian besar warga Desa Karangwuni terutama Padukuhan Karangwuni menerima penambangan. Sebaliknya, warga Desa Garongan, Pleret, Bugel, Karangsewu dan desa lainnya, menolak tambang.

Baca juga:

Pertarungan Ruang Hidup di Permata Jawa

Para petani yang tergabung dalam PPLP KP mencoba segala peluang demi menuntut pembatalan Kontrak Karya PT JMI. Peraturan Daerah DIY Nomor 5 Tahun 1992 jo. Peraturan Daerah DIY Nomor 10 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DIY tidak mengatur rencana tambang pasir besi di pesisir Kulonprogo adalah RTRW yang berlaku saat Kontrak Karya PT JMI.

Pasal Pasal 37 A ayat (1) Peraturan Daerah DIY Nomor 10 Tahun 2005 justru mengatur bahwa pengembangan kawasan pesisir di Kabupaten Gunungkidul, Bantul, maupun Kulonprogo harus menjaga fungsi wilayah pesisir dan laut agar tetap lestari, menjaga dan mempertahankan batas teritorial dan kekayaan sumberdaya laut yang ada di dalamnya, serta mengembangkan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut untuk kesejahteraan masyarakat.

Akan tetapi, RTRW DIY lantas diganti Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang RTRW DIY 2009-2029. RTRW yang baru itu justru mengakomodasi penggunaan lahan Kulonprogo untuk bandara dan penambangan.

Alokasi lahan pesisir Kulonprogo untuk bandara telah terwujud dengan berdirinya Yogyakarta International Airport. Sementara alokasi lahan untuk pertambangan diatur di Pasal 58 dan Pasal 60 ayat (2) huruf b angka 2, yang menyebutkan sejumlah kecamatan di Gunungkidul dan Kulonprogo dialokasikan untuk kegiatan pertambangan.

Melalui kedua pasal dalam RTRW yang baru itu, diatur bahwa kawasan pertambangan di DIY terletak di dua kabupaten. Yakni di Kabupaten Gunungkidul disebutkan Kecamatan Panggang dan Ponjong merupakan pertambangan batu kapur dan Kecamatan Semin sebagai kawasan pertambangan kaolin. Di Kabupaten Kulonprogo, kawasan pesisir pantai selatan di Kecamatan Wates, Panjatan, dan Galur disebutkan untuk pertambangan pasir besi.

Kontroversi pasal siluman

Mantan anggota DPRD Nazarudin (GATRA/Arif Koes)

Perubahan RTRW itu akhirnya menjadi kontroversi, karena sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY yang membahas rancangannya menyatakan Pasal 58 dan Pasal 60 sebagai “pasal siluman” yang ditambahkan belakangan.

Ketua Pansus Perubahan RTRW di DPRD DIY saat itu, Nazarudin meyakini, tak satupun pasal dalam Raperda RTRW yang disetujui DPRD memuat pasal tentang kegiatan pertambangan.

Nazarudin merasa yakin lantaran pengaturan tentang penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo sudah diusulkan eksekutif, dan usulan itu ditolak para

anggota DPRD Provinsi DIY periode 2004 – 2009. “Saya istilahkan kejahatan legislasi. Karena, perda yang diundangkan ke lembaran daerah berbeda dengan yang di Panitia Khusus, sehingga memunculkan ‘pasal siluman’,” ujar eks politisi PAN yang kini aktif di Partai Ummat tersebut.

Anggota DPRD DIY saat itu, Arief Noor Hartanto, alias Inung, melayangkan protes munculnya pasal itu ke Pemda DIY dan Pemda DIY telah menjawabnya. “Saat itu masa peralihan antara dua periode DPRD [hasil Pemilu 2004 dan Pemilu 2009], sehingga surat itu tak direspons hingga melewati batas waktu surat itu. Saya tidak tahu inisiatif keputusan perubahan RTRW itu dari Pemda DIY atau pemerintah pusat,” ujar dia saat dikonfirmasi Maret lalu.

Sadar bahwa RTRW baru itu bisa memuluskan rencana tambang PT JMI, PPLP KP melawan dengan mengajukan hak uji materiil Perda RTRW DIY ke Mahkamah Agung. Gugatan ditolak MA dengan alasan pengajuan hak uji materiil melewati batas waktu.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, Energi dan Sumber Daya Mineral DIY kala itu, Rani Sjamsinarsi, menyatakan perubahan tata ruang itu sudah sesuai aturan. Perubahan peruntukan suatu lahan itu sesuai kebutuhan pembangunan. “(Tudingan pasal siluman) Itu karena tak memahami saja, lalu digoreng sampai gosong,” kata Rani, kini Ketua Tim Pelaksana Percepatan Pembangunan Prioritas DIY, medio Juni, saat memaparkan perkembangan sejumlah proyek nasional di DIY.

Bagi Rani, perubahan RTRW DIY itu mengikuti rencana pemerintah pusat. Pembangunan NYIA misalnya, merupakan rencana induk Kementerian Perhubungan, sehingga daerah harus bikin aturan baru guna mengakomodasi kebutuhan itu.

“Perda RTRW itu enggak bisa bikin sendiri. Daerah bikin sendiri? Ya, enggak bisa. Ada yang namanya pencadangan dalam aturan RRTW lama yang bisa diakomodasi dalam pembuatan RTRW baru. Termasuk izin tambang (PT JMI) di sana, ya, sudah sesuai. Makanya saat kami dipanggil ke MA, kami jelaskan, ya, tidak masalah," ucapnya.

Belakangan, RTRW DIY pun diikuti dengan pengundangan Perda Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW Kulonprogo Tahun 2012-2032. Di pasal 48 secara eksplisit disebutkan kawasan pertambangan mineral logam pasir besi meliputi Desa Jangkaran, Desa Sindutan, Desa Palihan, dan Desa Glagah (Kecamatan Temon), Desa Karangwuni (Kecamatan Wates), Desa Garongan, Desa Pleret, dan Desa Bugel (Kecamatan Panjatan), Desa Karangsewu, Desa Banaran, Desa Nomporejo, dan Desa Kranggan (Kecamatan Galur).

Perda RTRW 2010 tersebut kemudian diganti dengan Perda RTRW Nomor 5 Tahun 2019 tentang RTRW Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2019-2039. Di beleid terbaru itu, alokasi kawasan pertambangan mineral logam di Kabupaten Kulonprogo disebutkan di pasal 66 ayat 2 huruf a, yang meliputi Kecamatan Samigaluh, Kecamatan Kalibawang, Kecamatan Girimulyo, Kecamatan Nanggulan, Kecamatan Pengasih, Kecamatan Wates, Kecamatan Kokap, Kecamatan Temon, Kecamatan Panjatan dan Kecamatan Galur, dengan luas 3.444,06 hektare.

Di lokasi, warga juga semakin sering berkonflik dengan pihak PT JMI, yang sejak 2010 semakin banyak beraktivitas di kawasan pesisir Kulonprogo. Tukijo, petani asal Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, masih mengingat pahitnya menjadi pesakitan di Pengadilan Negeri Wates. Pada Agustus 2011, Tukijo divonis bersalah menyekap tujuh pekerja PT JMI yang melanggar larangan melintasi Desa Karangsewu. Penyekapan karyawan PT JMI terjadi pada 8 April 2011 dan Tukijo dihukum penjara 3 tahun gara-gara kasus itu.

Baca juga:

Pesisir Makmur yang Digangsir Tambang

Selepas keluar dari Lembaga Permasyarakatan Wirogunan pada Oktober 2013, suami Suratinem itu tak lantas jeri melawan rencana tambang pasir besi. Ia dan para petani yang tergabung dalam PPLP KP merasa tak punya pilihan selain melawan, lantaran rencana tambang itu bakal membuatnya kehilangan lahan pasir yang menghidupinya.

Nasib paling sulit dialami mereka yang memilih bersikap berbeda dari kebanyakan tetangganya. Pro-kontra tambang pasir besi yang terjadi di tengah warga bahkan berdampak pada kehidupan anak-anak mereka. “Kalau anak saya ikut main, teman-temannya pada pergi,” kenang petani PPLP KP dari Desa Karangwuni, Suparno, yang sampai kini tetap menolak tambang pasir besi.


Tulisan ini hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Arif Koes Hernawan (Gatra), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), dan Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).