Home Internasional Taliban Tangkap dan Pukuli Jurnalis Afghanistan saat Meliput Demo

Taliban Tangkap dan Pukuli Jurnalis Afghanistan saat Meliput Demo

Kabul, Gatra.com – Kelompok Taliban dilaporkan telah menganiaya para jurnalis saat meliput unjuk rasa di Ibu Kota Kabul, Afghanistan pada Rabu (8/9). Penganiayaan dilakukan saat Taliban menahan para jurnalis di sel tahanan.

Akibatnya, jurnalis tersebut mengalami luka-luka hingga harus mendapat perawatan. Kejadian ini sekaligus menimbulkan pertanyaan atas komitmen Taliban terkait kebebasan media.

Gambar yang beredar di beberapa media menunjukkan parahnya penganiayaan jurnalis yang dilakukan Taliban. “Mereka dipukuli begitu parah, hingga tidak bisa berjalan. Mereka dipukul dengan senjata, ditendang, dicambuk dengan kabel, dan ditampar,” kata jurnalis surat kabar Etilaatroz, Aber Shaygan dilansir Aljazeera Jumat (10/9).

Dua jurnalis surat kabar Etilaatroz, Taqi Daryabi dan Nematullah Naqdi, ditahan oleh Taliban saat meliput unjuk rasa perempuan di Kabul pada Rabu pagi. Sementara dua jurnalis surat kabar lainnya, Aber Shaygan dan Lutfali Sultani, bergegas ke kantor polisi bersama dengan editor surat kabar, Kadhim Karimi, untuk menanyakan keberadaan rekan-rekan mereka.

Namun, saat keduanya sampai di kantor polisi, kata mereka, para pejuang Taliban mendorong dan menampar mereka serta menyita semua barang milik mereka, termasuk telepon genggam (HP).

Menurut kesaksian Shaygan, saat mereka memperkenalkan diri sebagai jurnalis, Taliban memperlakukan mereka dengan hina. “Karimi baru saja menyelesaikan hukumannya, ketika salah satu Taliban menamparnya dan menyuruhnya pergi,” ungkapnya.

Ketiganya dibawa ke sel tahanan kecil dengan 15 orang di dalamnya, dua di antaranya adalah wartawan Reuters dan Anadolu Agency Turki, kata Shaygan.

Selama ditahan, ketiganya mendapat laporan kekerasan yang dialami jurnalis Daryabi (22) dan Naqdi (28) yang ditahan di kamar terpisah. “Kami bisa mendengar jeritan dan tangisan mereka melalui dinding,” kata teman satu sel mereka. "Rekan satu sel bahkan mendengar suara wanita menangis karena kesakitan," tuturnya.

Kekerasan itu sangat brutal sehingga Naqdi dan Daryabi kehilangan kesadaran akibat rasa sakit. Ketiganya menunjukkan bukti fisik yang jelas tentang pencambukan dan pemukulan dengan kabel yang dialami Naqdi dan Daryabi. Punggung bawah, kaki bagian atas, dan wajah Daryabi dipenuhi dengan luka merah tua. Lengan kiri, punggung atas, kaki bagian atas, dan wajah Naqdi juga dipenuhi bekas merah.

Taliban tidak hanya menganiaya para jurnalis. Shaygan mengatakan, seorang pengunjuk rasa laki-laki dijebloskan ke dalam sel Taliban, pengunjuk rasa itu terlihat jelas telah dilecehkan. “Dia hampir tidak bisa berjalan, salah satu teman satu selnya harus bangun dan membantunya masuk,” ujar Shaygan.

Meskipun kelima pria itu dibebaskan setelah beberapa jam ditahan, Shaygan mengatakan bahwa mereka diberi peringatan keras dari seorang pejabat Taliban sebelum pergi: “Apa yang dilakukan para pengunjuk rasa ini adalah ilegal, yakni meliput hal-hal seperti itu. Anda semua melanggar hukum. Kami akan membiarkan Anda pergi kali ini, tetapi lain kali Anda tidak akan dilepaskan dengan mudah.”

Sebelum penangkapan tersebut, protes tidak dilarang. Tetapi dalam beberapa jam, Taliban mengeluarkan dekrit yang mengatakan protes apa pun, bersama dengan slogan-slogan mereka, harus disetujui 24 jam sebelumnya oleh Kementerian Kehakiman. Klaim ilegalitas oleh Taliban menurut Shaygan dan rekan-rekannya bertentangan dengan pernyataan Taliban sendiri, soal kebebasan pers di “Imarah Islam” mereka.

Pada konferensi pers 17 Agustus, Juru Bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengatakan: “Media swasta dapat terus bebas dan independen. Mereka bisa melanjutkan aktivitasnya. Kenetralan media sangat penting. Mereka dapat mengkritik pekerjaan kami sehingga kami dapat meningkatkannya.”

Mujahid membuat klaim serupa pada pertemuan dengan wartawan yang bekerja untuk media asing akhir bulan lalu. Saat itu, Mujahid mendorong wartawan untuk transparan dan melaporkan realitas kehidupan di Afghanistan yang dikelola Taliban.

Namun, hal itu seolah berbanding terbalik dengan realitas di Afghanistan. Dalam pekan berikutnya, media sosial Afghanistan penuh dengan video dan gambar yang menunjukkan kelompok itu berusaha mencegah wartawan melakukan pekerjaan mereka. Taliban dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap jurnalis. Tuduhan ini berkisar dari penggunaan intimidasi, kekerasan fisik, perusakan, penyitaan properti, dan penahanan pekerja media.

Amnesty International mengecam laporan kekerasan dan intimidasi terhadap pers. “Jurnalis juga harus diizinkan untuk melaporkan protes tanpa takut akan kekerasan… Komunitas internasional harus menggunakan semua pengaruh untuk menuntut agar hak-hak dasar ini dilindungi,” kata kelompok hak asasi itu sebagai reaksi atas dugaan kekerasan Taliban terhadap para jurnalis.

Shaygan telah bekerja dengan Etilaatroz, yang terkenal dengan laporan investigasinya, selama empat tahun. Dia mengatakan, beberapa pekan terakhir Taliban menunjukkan mereka memiliki "dua wajah." Pertama saat Taliban menunjukkan proyek kepemimpinan ke dunia luar, dan kedua yang dihadapi rakyat Afghanistan setiap hari di jalanan.

“Di TV dan konferensi pers, para pemimpin mereka sangat sopan dan berbicara tentang kebebasan, tetapi para pejuang mereka di jalanan bertindak sesuka mereka,” Shaygan mengatakan bahwa kontras itulah yang membuat pelaporan di Afghanistan yang dikelola Taliban begitu sulit, “Anda tidak pernah tahu seperti apa suasana hati mereka nantinya.”

“Mereka tidak ingin kita beroperasi secara bebas, mereka hanya ingin media menyebarkan propaganda mereka ke dunia,” kata Shaygan.

Meskipun media tetap diizinkan beroperasi sejak Taliban mengambil alih negara itu, para jurnalis mengatakan pekerjaan mereka menjadi semakin sulit selama tiga minggu terakhir.

Taliban belum menempatkan pembatasan langsung pada media, tetapi jurnalis yang berbicara kepada Al Jazeera kompak mengatakan, mereka takut akan hari-hari mendatang, terutama sekarang Taliban telah menunjuk kabinet sementara mereka.

137