Home Ekonomi Dalih Sejarah demi Kuasai Tanah

Dalih Sejarah demi Kuasai Tanah

Selama 15 tahun, para petani lahan pasir pesisir Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus melawan rencana tambang pasir besi di lahan garapannya, namun perlawanan itu tak kunjung berhasil. Beragam regulasi baru justru menyulitkan upaya mereka mempertahankan lahan bertaninya. Tulisan ini merupakan bagian keempat dari lima tulisan hasil peliputan Gatra bersama Tim Kolaborasi Liputan Agraria pada Maret – Juli 2021.


Kulonprogo, Gatra.com - Patok-patok batu itu tertumpuk di pelataran Balai Desa Karangwuni, Kabupaten Kulonprogo, Daerah IStimewa Yogyakarta (DIY), akhir Mei lalu. Tapal batu itu layaknya paku raksasa sepanjang satu meter. Setiap tapal batu itu bakal ditanam ke dalam tanah, hingga menyisakan bagian atasnya yang tertera ukiran abjad: PAG.

PAG kependekan dari Paku Alam Ground. Istilah itu mengacu pada bidang tanah yang diklaim sebagai milik Kadipaten Pakualaman, satu dari dua swapraja di DIY. Kadipaten Pakualaman secara turun-temurun dan dipimpin oleh Adipati bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam—yang berdasarkan UU Nomor 13 Tahun tentang Keistimewaan DIY, merupakan Wakil Gubernur DIY, secara turun temurun pula.

Kadipaten Pakualaman adalah salah satu dari dua swapraja di wilayah DIY, dan setiap patok hijau yang ditancapkan ke tanah adalah simbol klaim Paku Alam atas sebidang tanah. Klaim itu didasarkan sejarah penguasaan tanah Kadipaten Pakualaman pada masa penjajahan, dan kini didalilkan lagi sebagai dasar kepemilikan tanah di Kulon Progo, kabupaten di DIY yang berjuluk Permata dari Tanah Jawa.

Di sejumlah desa lain di Kulonprogo, tapal bercap PAG itu bisa ditemukan di berbagai lokasi seperti balai desa, areal pertanian, sekolah, bahkan kuburan. Paniradya Keistimewaan DIY, lembaga urusan keistimewaan DIY di Pemda DIY, mengonfirmasi bahwa PAG tersebar di 4 kecamatan di Kulonprogo, yakni di Wates, Temon, Galur, dan Panjatan.

Penelusuruan Tim Kolaborasi Liputan Agraria ke sejumlah desa menemukan, pemerintah desa—UU Keistimewaan DIY menyebutnya sebagai kalurahan—telah mendata PAG. Patok-patok pun ditemukan di lahan fasilitas umum di desa-desa itu. Di Desa Bugel contohnya, tercatat ada 15-18 bidang PAG. Adapun di Pleret, tercatat 17 bidang PAG, termasuk 10 bidang yang telah didaftarkan sejak 2018.

Ada warga seperti Sumarni, yang mengakui klaim Pakualaman atas sejumlah bidang tanah di desanya. Warga Padukuhan Karangwuni itu menuturkan ia dan warga setempat secara turun temurun tahu dan mengakui bahwa sejumlah lahan di Karangwuni adalah PAG, atau tanah yang sejak zaman penjajahan dimiliki Kadipaten Pakualaman.

Selaku perangkat kalurahan, Sumarni membantu pendataan bidang tanah PAG di desanya. Ia menjelaskan patok bakal ditancapkan di bidang-bidang tanah yang diklaim sebagai PAG, seperti di lahan makam, SD, balai desa, dan areal pertanian di pesisir. Selain di fasilitas umum, klaim PAG mencakup area dari tepi laut hingga ke utara sejauh 800 meter.

“Pas pendataan PAG, kami buat kesepakatan mau pakai peta desa atau kesepakatan. Warga minta dari peta desa,” ujarnya.

Tim Kolaborasi Peliputan Agraria menemukan lebih banyak patok PAG di utara Jalan Daendels. Kalaupun patok PAG ditemukan di sisi selatan jalan, itu pun berada di sekitaran Jalan Daendels, seperti di SDN Pleret Timur.

Diprotes Warga

Di lapangan, tak semua warga mengakui klaim PAG. Di Pleret, tanah yang tengah dalam proses pendaftaran PAG ternyata telah mengantongi status kepemilikan oleh warga.

Penolakan antara lain terjadi saat Pemerintah Kalurahan Pleret mendata bidang tanah seluas 1.000 meter persegi sebagai PAG, lantas memasang patok PAG di sana. Ternyata, tanah 1.000 meter persegi tersebut bagian dari bidang tanah bersertifikat Hak Milik (SHM) seluas 2.000 meter.

SHM itu dimiliki keluarga Gubernur Jawa Tengah periode 1983-1993, almarhum Muhammad Ismail, yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional pada 2002. Di tanah itu bahkan telah didirikan sebuah joglo untuk aktivitas warga.

“Ahli waris putranya Pak Ismail, melihat patok (PAG). Akhirnya disampaikan kalau (tanah yang dipatok) sudah SHM. Karena diprotes akhir 2020 lalu, kami mengajukan pembatalan pendaftaran PAG, tapi belum ada respons,” kata Jagabaya—sebutan untuk jabatan Kepala Seksi Pemerintahan desa di DIY—Desa Pleret, Eko Prasetyo, saat dijumpai di balai desa tersebut, April lalu, sambil menunjukkan peta desa dengan bidang-bidang PAG.

Pemerintah Kalurahan Pleret mengajukan pembatalan pendaftaran penyertifikatan tanah untuk PAG. Namun permohonan pembatalan itu belum juga dijawab Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kulonprogo.

Eko dan perangkat Pemerintah Kalurahan Pleret juga menghindari pendataan di kawasan pesisir, karena kebanyakan bidang tanah di sana sudah menjadi lahan pertanian para petani Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Lahan berpasir hitam yang dulunya dianggap ‘gurun’ tandus dan gersang itu sudah terlanjur menjelma jadi kebun hortikultura dan tambak yang dikelola warga.

Kalurahan Pleret belum memproses pendaftaran PAG di sana demi menghindari konfrontasi dengan petani lahan pasir, khususnya para aktivis PPLP KP. “Untuk (tanah PA bagian) selatan, lahan pasir. Kebetulan warga kami ada paguyuban (PPLP). Ketika membicarakan tanah PA, responsnya sangat kurang,” tutur Eko.

Hal serupa juga terjadi di Kalurahan Bugel, Panjatan, Kulonprogo. Jabagaya Kalurahan Bugel, Tri Sujoko, memilih berhati-hati melakukan pendaftaran dan penyertifikatan PAG di desanya. Ia berkaca dari pengalaman Pemerintah Kalurahan Pleret yang ditentang warganya. “Masih dipertimbangkan. Desa Pleret saja mendaftarkan kuburan (tanah PA) jadi ramai,” tuturnya.

Sujoko menyebut, status tanah sebagai PAG sebenarnya tercatat dengan jelas di dokumen lama seperti peta desa. “Itu sudah ada datanya. Kelihatan kok tanah PA itu,” kata Sujoko sembari membentangkan peta desa di atas meja kerjanya.

Saktinya UU Keistimewaan

Konflik lahan antara petani PPLP KP dengan PT JMI memang memasuki babak baru sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU Keistimewaan DIY). Undang-undang baru itu menjadi dasar lahirnya Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) Yogyakarta tentang tanah Kasultanan dan Kadipaten, yang kini dijadikan dasar pendataan dan pemasangan patok PAG maupun SG di DIY.

Klaim Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman atas tanah-tanah berstatus SG dan PAG didasarkan hukum yang berlaku pada masa Hindia Belanda. Kala itu, melalui Rijksblaad Kasultanan Nomor 16 tahun 1918 dan Rijksblad Pakualaman Nomor 18 tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda mengakui keberadaan SG dan PAG sebagai tanah milik dua swapraja yang ada di tengah Pulau Jawa, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

Pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Nomor 16 tahun 1918 menyatakan “Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagunganne Kraton ingsun Ngayogyakarta". Rijksblad Pakualaman Nomor 18 tahun 1918 pun punya isi yang serupa.

Kedua rijksblad itu menyatakan bahwa semua bidang tanah yang belum/tidak bersertifikat hak Eigendom atau hak milik menjadi milik Kasultanan Ngayogyakarta atau Kadipaten Pakualaman. Aturan itu diperkuat dengan Rijksblad Kasultanan Nomor 23 tahun 1925 dan Rijksblad Pakualaman Nomor 25 Tahun 1925.

Peneliti agraria Kus Antoro menyatakan, penggunaan Rijksblad sebagai dasar untuk mengatur pertanahan di DIY bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Diktum IV UU itu menyebutkan, hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya UU tersebut, dihapus dan beralih kepada negara. Alhasil, SG dan PAG semestinya dihapus dan menjadi tanah milik negara.

Pada 9 Mei 1984, Presiden RI saat itu, Soeharto menetapkan Keputusan Presiden RI (Keppres) Nomor 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY, diisusul Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984 soal pemberlakuan sepenuhnya UU Pokok Agraria di DIY.

Paku Alam VIII selaku Wakil Gubernur DIY pada 22 September 1984 telah menandatangani Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU Nomor 5 Tahun 1960 di DIY. Perda yang diundangkan pada 24 September 1984 itu, menegaskan hapusnya seluruh klaim Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman atas tanah berstatus SG dan PAG di DIY.

Penjelasan Pasal 3 Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1984 bahkan merinci perundang-undangan daerah yang dinyatakan tidak berlaku. Di antaranya, Rijksblad Kasultanan Nomor 16 tahun 1918, Rijkasblad Paku Alaman Nomor 18 Tahun 1918, Rijksblad Kasultanan Nomor 11 tahun 1928 jo Nomor 2 Tahun 1931, Rijkasblad Paku Alaman Nomor 13 Tahun 1928 jo Nomor 1 Tahun 1931, Rijksblad Kasultanan Nomor 23 Tahun 1925, dan Rijkasblad Pakualaman Nomor 25 Tahun 1925.

“Jadi, sudah terang bahwa semua klaim yang didasarkan kepada Rijksblaad Kasultanan atau Rijksblad Pakualaman sudah tidak berlaku. Aturan itu sudah dinyatakan tidak berlaku sejak 1984,” ujar Kus.

Akan tetapi, UU Keistimewaan seperti mesin pembalik waktu. UU Keistimewaan menyatakan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum Warisan Budaya yang berwenang mengatur lima hal di DIY, yakni kelembagaan, pertanahan, tata ruang, kebudayaan, dan pengisian jabatan.

“UU Keistimewaan menjadi alasan utama perubahan struktur penguasaan tanah di DIY. Aturan Rijksblad yang telah dihapus diwariskan semangatnya dan kembali dipakai sebagai landasan untuk mengklaim tanah-tanah swapraja yang dulunya sudah menjadi tanah Negara,” tutur Kus Antoro.

Kasultanan Ngayogyakarta mendata semua tanah SG di DIY. Begitu pula dengan Kadipaten Pakualaman, yang kembali mendata PAG mereka yang sebagian besar ada di wilayah Kabupaten Kulonprogo. Dokumen yang diperoleh Tim Kolaborasi Liputan Agraria dari Dinas Pertanahan Kulonprogo merinci PAG yang terdaftar sejak 2017. Proses reklaim tanah SG dan PAG itu bahkan diongkosi dengan anggaran Dana Keistimewaan, yang tak lain adalah anggaran publik bersumber pajak warga negara.

Klaim PAG itu antara lain di Karangwuni ada 6 bidang dengan luas 167.820 meter persegi dan di Karangsewu 40 bidang seluas 34.355 meter persegi. Di Pleret 12 bidang dan Bugel 1 bidang, meski belum terdata luasannya. Dari daftar ini, sedikitnya 59 bidang dan lebih dari 200 ribu meter persegi atau 20 hektar PAG telah terdaftar.

Koentjoro Tri Hatmono, staf Kawedanan Keprajan Puro Pakualaman yang mengurusi PAG meyakini, lahan-lahan untuk sarana umum di desa-desa Kulonprogo adalah PAG. “Tidak mungkin kami tidak memiliki tanah. Apa tanah kuburan dan jalan itu wakaf dari masyarakat?” ucapnya, yakin.

Koentjoro menjelaskan, pendataan PAG melibatkan Kawedanan Keprajan Puro Pakualaman, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang (Dispertaru) DIY, dan Badan Pertanahan Nasional. Urutannya, pihak desa diminta mengisi formulir pendataan PAG dari Dispentaru sesuai peta desa.

Formulir itu lalu diajukan ke Dispertaru, Pakualaman, hingga BPN yang akan diverifikasi oleh petugas ukur hingga dipasang patok atau tanda batas. Pernyataan pemasangan patok di sejumlah desa diteken lurah dan Koentjoro. “Kami diikutsertakan (saat pengukuran) selaku pemilik tanah, soalnya kami juga belum tahu tanah tersebut,” kata dia saat ditemui, akhir April lalu.

Baca juga: 

Polemik Pasal Siluman Pemulus Rencana Penambangan

Setelah pendataan dan pematokan tanah dilakukan, BPN akan menerbitkan Sertifikat Hak Milik atau SHM PAG. Jika sertifikat itu terbit, warga yang menempati bidang tanah itu harus mengurus Surat Kekancingan, semacam surat izin Kadipaten Pakualaman kepada warga untuk menggunakan bidang tanah itu, dengan membayar biaya sewa tanah kepada Pakualaman.

Koentjoro menyatakan, penerbitan SHM PAG tidak serta merta membuat warga pengguna tanah itu angkat kaki. “[Tanah yang terbit sertifikatnya] tetap boleh dikerjakan [warga], tapi administrasinya harus diajukan. Selama ini liar semua,” ujarnya.

Klaim PAG atas tanah itu mengalirkan banyak uang kepada Kadipaten Pakualaman, misalnya dalam ganti rugi tanah proyek Yogyakarta International Airport (YIA). Dari total 587 hektar tanah yang dibebaskan untuk proyek itu, 163 hektar di antaranya diklaim sebagai PAG, kendati selama ini sebagian besar digarap petani. Walhasil, Kadipaten Pakualaman menerima Rp701 miliar dari total Rp4,1 triliun ganti rugi dari pemerintah.

Pihak Puro Pakualaman, KRT Projo Anggono mengungkapkan, soal ganti rugi bandara, warga sudah mendapat uang tali asih. “Kalau (ganti rugi) tanah tetap ke PA, dan kita tetap kasih tali asih ke petani. Ya semua (tanahnya) di ladang petani,” kata Projo, April lalu.

Pengageng Urusan Pambudayan Pura Pakualaman, KPH Kusumoparastho menuturkan, ganti rugi yang diterima Kadipaten Pakualaman dari bandara semakin memperbaiki perekonomian Puro Pakualaman. “Sudah membaik, sudah rada klimis karena (ganti rugi dari) bandara ne payu (laku). Kan (lahan) terpaksa dijual,” ujar Parastho.

Baca juga: 

Danais DIY Rp340 M Diklaim Bantu Atasi Covid, Bina Jamu Gendong Rp1,7 M

Tidak heran jika Pakualaman terus melanjutkan pendataan dan pemasangan patok PAG. Koentjoro menyatakan, pendataan PAG mengikuti program pemerintah dan Pemerintah DIY. “Ikuti prosedur yang ada. Kalau mentok, tinggal [Sultan atau Adipati] selaku Gubernur atau Wakil Gubernur minta, bisa tidak dinas menyelesaikan. Kami juga tidak imingi atau beri janji untuk mau didata. Selama ini kan mereka sudah mengerjakan dan dapat hasil dari PAG,” tutur Koentjoro.

Kepentingan PT JMI?

Koordinator Lapangan PPLP KP, Widodo menjelaskan, kerasnya penolakan para petani lahan pasir terhadap pendataan dan pemasangan patok PAG di Kulonprogo. Bagi Widodo dan para petani, sejak awal klaim PAG itu merupakan kepentingan PT JMI untuk mengosongkan area yang ditera dalam Kontrak Karya perusahaan itu.

Logika para aktivis PPLP KP sederhana saja. Dari 2.977 hektar area yang ditera Kontrak Karya PT JMI sebagai wilayah tambang pasir besi, luasan 1.263 hektar diklaim sebagai PAG. Para petani itu juga tahu, di balik PT JMI itu, ada PT Jogja Magasa Mining (JMM) yang sahamnya dikuasai bangsawan Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Baca juga:

Pertarungan Ruang Hidup di Permata Jawa

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan 210 dari total 300 lembar saham PT JMI dikuasai Indo Mine Ltd, sebuah perusahaan tambang asal Australia yang mayoritas sahamnya dimiliki Rajawali Group. Sejumlah 90 lembar saham lain dari PT JMI, setara 30 persen, dimiliki oleh PT JMM.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saat diakses Maret lalu, merinci siapa saja pemegang saham PT JMM yang jumlahnya mencapai 300 lembar. Sejumlah 90 dari total 300 lembar saham PT JMM dikuasai oleh PT Mitra Westindo Utama. Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Mangkubumi, menguasai 75 lembar saham PT JMM. Adik Pakualam X, BRMH Hario Seno, juga menguasai 75 lembar saham PT JMM. Sejumlah 50 lembar saham PT JMM lainnya dimiliki oleh kemenakan Sri Sultan HB X, RM Sumyandharto. Sisanya, 10 lembar saham PT JMM, dimilik oleh Imam Syafii, seorang pengusaha asal Yogyakarta.

Desa-desa yang warganya menolak rencana tambang PT JMI cenderung resisten menolak upaya pendataan dan pemasangan patok PAG. Sebaliknya, di desa yang warganya relatif setuju dengan rencana tambang PT JMI, pendataan dan pemasangan patok PAG berjalan mulus.

Proses sertifikasi PAG di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, misalnya. Warga Karangwuni, Sumarni menuturkan, pendaftaran PAG di Desa Karangwuni sudah dimulai sejak 2016 lewat program sertifikasi tanah dari Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Kulonprogo. “Seperti makam, sudah disertifikatkan dari tahun 2016. Makam-makam di sini sudah diajukan sertifikat, itu tanah PAG,” kata Sumarni yang ditemui di rumahnya, Mei lalu.

Sebaliknya, di berbagai desa yang menjadi basis PPLP, warga keras melawan pendataan dan pemasangan patok PAG. Suparno, warga Karangwuni, menjadi satu dari segelintir orang di desa itu yang menolak berdirinya perusahaan tambang. Keluarganya pun sempat mendapat perlakuan tak menyenangkan karena penolakan tersebut.

Baca juga: 

Pesisir Makmur yang Digangsir Tambang

Dia sempat dipanggil Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 2016 saat Pakualaman menggugat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Panggilan dilayangkan lantaran ia keberatan lahan garapannya dipagari oleh PT JMI. Apalagi, lahan yang digarapnya turun temurun selama 20-an tahun diklaim milik Pakualaman.

Ketika klaim PAG disusul dengan pemancangan patok-patok, warga melawan dengan mencopot patok PAG, seperti terjadi di makam Somolah, Dusun Siliran, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, pada pertengahan 2019. “Dulu di makam ada 4 patok. Sekarang sudah hilang dicopot warga,” kata Eko Prihandono (30), petani setempat, sambil menunjukkan titik bekas patok di sudut makam itu.

Aksi serupa juga muncul di Desa Pleret, Kecamatan Panjatan. Marwoto (55), warga setempat, menunjuk sisa 2 patok PAG di makam desa dari 4 patok yang semula ditanam. “Ditolak masyarakat, dicopot, lalu diganti cor-coran dan pipa paralon,” tuturnya.


Tulisan ini hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Arif Koes Hernawan (Gatra), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), dan Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).

2429