Home Ekonomi Pantang Tumbang Menentang Tambang

Pantang Tumbang Menentang Tambang

Selama 15 tahun, para petani lahan pasir pesisir Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus melawan rencana tambang pasir besi di lahan garapannya, namun perlawanan itu tak kunjung berhasil. Beragam regulasi baru justru menyulitkan upaya mereka mempertahankan lahan bertaninya. Tulisan ini merupakan bagian kelima dari lima tulisan hasil peliputan Gatra bersama Tim Kolaborasi Liputan Agraria pada Maret – Juli 2021.


Kulonprogo, Gatra.com - Pada malam terakhir di bulan Maret 2021 itu, rumah Marwoto, warga Dusun III, Kalurahan Pleret, Kapanewon Panjatan, Kabupaten Kulonprogo, ramai oleh tamu bersarung dan berbaju koko. Widodo dan Suparno, petani yang juga aktivis PPLP KP, menyambut tamu di mulut halaman rumah Marwoto.

Para tamu yang kebanyakan pria paruh baya dari desa tetangga itu duduk meriung beratap tenda yang sedari siang dibentangkan. Di sekeliling mereka, spanduk-spanduk dengan narasi menentang dan menolak tambang pasir besi terpajang.

Malam itu mereka berdoa bersama, mendoakan PT Jogja Magasa Iron (JMI) batal melanjutkan rencananya menambang pasir pesisir Kulonprogo yang selama ini menghidupi para petani itu. Usai doa bersama, Ketua PPLP-KP, Supriyadi, menegaskan lagi komitmennya bersama para petani pesisir Kulonprogo. “PPLP-KP tetap komit sampai kapan pun, menentang tambang pasir besi,” tegas Supriyadi malam itu.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli, yang turut hadir dalam doa bersama di rumah Marwoto ikut bicara. Yogi menyebut pandemi Covid-19 membuktikan pentingnya peran petani sebagai penghasil pangan dalam kondisi krusial.

“Apakah pandemi ini bisa makan bahan tambang, apakah bisa makan besi? Kan mboten (tidak), toh. Kalau krisis, yang dibutuhkan pertama kali apa selain kesehatan? Kebutuhan atas pangan,” kata Yogi.

Baca juga:

Pertarungan Ruang Hidup di Permata Jawa

Bagi pengacara yang kerap memakai topi flat cap itu, ada tiga pelajaran penting yang diambil dari perjuangan PPLP KP selama 15 tahun. Yaitu konsistensi dalam menjaga alam, merawat lingkungan, dan menghargai hasil bumi yang diproduksi oleh alam dan petani.

“Harapannya, sama seperti bapak-ibu semuanya, tambangnya harus pergi dari sini, dan panjenengan harus kompak, harus solid, harus saling menyemangati. Selama tambang belum pergi dari sini, bapak ibu ampun kesel (jangan capai), ampun capek, untuk terus berjuang sampai benar-benar tambangnya pergi dari sini, sampai perusahaan tambang itu enggak ada lagi di sini. Jangan pernah lelah, jangan pernah takut, sepanjang panjenengan melakukan hal yang benar,” tegas Yogi memungkasi hajatan yang berakhir pada pukul 22.12 WIB itu.

Serba tak pasti

Setelah 15 tahun berjuang, Supriyadi dan para petani lahan pasir lainnya belum juga menemukan titik terang dan kepastian bahwa PT JMI batal menambang lahan mereka. Bahkan ketika sejumlah proyek nasional dibangun di pesisir Kulonprogo—termasuk proyek Bandara Yogyakarta International Airport (YIA)— kabar bahwa PT JMI akan melanjutkan rencana tambang tetap santer terdengar.

Wakil Bupati Kulonprogo, Fajar Gegana, juga mengaku tak tahu apakah PT JMI nantinya benar-benar menambang pasir pesisir Kulonprogo atau batal. “Kontrak karya ini betul-betul mau dijalankan, apa hanya semacam prototype project yang notabenenya tidak selesai-selesai? Kami melihat ternyata mengolah pasir besi ini tidak semudah mengolah biji besi,” tutur Fajar saat ditemui, medio April lalu.

Fajar mengakui lahan yang masuk konsesi kontrak karya PT JMI merupakan lahan pertanian produktif untuk masyarakat. Lahan pesisir bisa untuk bertani, membuat tambak, juga wisata. Akan tetapi, Pemerintah Kabupaten Kulonprogo tak bisa membangun infrastruktur pendukung kegiatan warga di pesisir itu gara-gara status area itu sebagai lahan Kontak Karya PT JMI. “Kami mau menganggarkan (APBD) di situ. Secara pertanggungjawaban, kita enggak berani karena (lahan) ini masuk dalam kontrak karya,” ujar Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kulonprogo ini.

Baca juga:

Pesisir Makmur yang Digangsir Tambang

Repotnya, para pihak yang terafiliasi dengan PT JMI juga tak punya informasi yang pasti soal rencana tambang itu. Saat ditemui di sebuah acara buka puasa di Prambanan, Rabu (5/4), Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Mangkubumi menyatakan telah keluar dari kepengurusan PT JMI.

Dia pun mengaku tidak mengetahui perkembangan perusahaan tambang pasir besi itu. Padahal, GKR Mangkubumi adalah salah satu pemegang saham PT Jogja Magasa Mining (JMM), dan perusahaan itu adalah pemegang saham PT JMI.

“Mbuh, ora ngerti. Aku enggak tahu. Aku enggak mengikuti. Dan aku sudah dua tahun gak ke situ (PT JMI). Wes metu (sudah keluar dari PT JMI) tahun yang lalu,” kata putri sulung Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, itu.

Dia pun menjawab sambil tertawa, ihwal alasannya keluar dari PT JMI. “Ora maju-maju, aku mundur,” katanya.

Presiden Direktur PT JMI, Bobi Sandi, pun tak bersedia diwawancarai dengan alasan kesibukan. “Saya lagi sibuk sekali. Posisi saya juga di Jakarta terus WFH karena kondisi Covid,” kata Bobi melalui Whatsapp pada Senin (14/6).

Bobi juga tidak memberikan jawaban tegas ihwal rencana operasional PT JMI akan dimulai pada 2022. “Kita lihat saja nanti,” tulis Bobi.

Mantan Ketua Komisi Penilai Amdal Kulonprogo, Budi Wibowo mengungkapkan, bahwa pada 2018 Kementerian ESDM sudah mengeluarkan izin operasional PT JMI hingga 30 tahun. “Sekarang PT JMI review Amdal, (menyusun) DED (Detail Engineering Design),” tutur Budi, medio Juni lalu.

Mantan Sekda Kulonprogo ini mengaku mengetahui perkembangan PT JMI dari Bobi Sandi. “Saya komunikasi dengan Pak Bobi Sandi,” katanya.

Menurut Budi, rencananya tahun depan PT JMI akan beroperasi. “Mulai 2022 beroperasi. Artinya tahun ini (transmisi alat), insfrastruktur sudah ada, tapi ada persoalan, cerobong. Kita akan memantaunya,” imbuh Budi.

Dikepung proyek strategis

Dari waktu ke waktu, penataan ruang di pesisir Kulonprogo sejatinya semakin tumpang tindih. Meskipun setelah Kontrak Karya JMI terbit pada 2008 sudah ada Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) baru yang mengakomodir rencana penambangan PT JMI, pesisir Kulonprogo nyatanya justru menjadi lokasi sejumlah proyek strategis nasional.

Pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) di Kapanewon Wates misalnya, jelas-jelas bertabrakan dengan rencana penambangan pasir besi di Kulonprogo. Lokasi tempat pembangunan pabrik peleburan PT JMI akhirnya harus bergeser 3 kilometer gara-gara cerobong asap peleburan itu bisa membahayakan penerbangan di kawasan YIA.

Luasan bidang tanah pabrik yang telah dibebaskan PT JMI untuk menjadi area pabrik adalah 168 hektare. Namun luasan itu semakin menyusut karena sebagian bidangnya menjadi daerah sempadan bandara.

“Selain mengalah karena pembangunan YIA, kami juga mengalah karena ada Pelabuhan Tanjung Adikarta,” tutur staf Community Development PT JMI, Karwa Aziz Purwanto, saat ditemui, medio April 2021.

Baca juga:

Polemik Pasal Siluman Pemulus Rencana Penambangan

Di area konsesi tambang PT JMI juga tengah berlangsung proyek Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS). Dirintis sejak 2004, proyek JJLS melintang di selatan Jawa di lima provinsi dari Banten hingga Jawa Timur, termasuk 116 kilometer di DIY. Di DIY, JJLS terentang 23,15 kilometer di Kulonprogo, 16,58 kilometer di Bantul, dan 76,34 kilometer di Gunungkidul.

Ketua Tim Pelaksana Percepatan Pembangunan Program Prioritas DIY, Rani Syamsinarsi, menyatakan tak ada kendala berarti dalam proyek JJLS di DIY. Kini perkembangannya mencapai 70 persen. Hingga medio Juni, jalur sepanjang total 116 kilometer itu lahannya telah bebas seluruhnya untuk 2 lajur, sedangkan untuk 4 lajur 74 kilometer. "Tahun ini, pengadaan lahan untuk segmen Garongan - Congot di Kulonprogo hampir 30 ribu meter persegi," kata Rani saat ditemui, Senin, 16 Juni 2021.

Konstruksi fisik telah terbangun hingga 63,8 kilometer. Untuk tahun anggaran 2021, Pemda DIY membangun 4 jalan dan sebuah jembatan yang jadi bagian JJLS. Nilai totalnya mencapai Rp257 miliar.

Eka Prasetya, selaku Jagabaya (Kasie Pemerintahan Desa) Pleret menyebutkan, total bidang tanah yang tergusur JJLS di tahun 2020 ada 110 bidang. Adapun data terbaru atau tahap kedua tahun 2021 sebanyak 29 bidang.

Sedangkan di Desa Bugel, bidang tanah yang terkena JJLS kebanyakan tanah kas desa serta satu bidang tanah warga. Tanah kas desa itu, kata Jagabaya Bugel, Tri Sujoko, berupa satu bidang berupa sawah dengan luas 4 hektare. Ganti rugi atas tanah itu sudah diterima pihak desa. “Sudah kami terima sekitar Rp60 miliar,” kata Tri.

Di luar urusan JJLS, ada deretan proyek strategis nasional lain di pesisir Kulonprogo, seperti pengembangan Pelabuhan Tanjung Adikarto, proyek pengendalian banjir kawasan Bandara YIA, juga pembangunan ruas jalan tol Solo-Jogja-Kulonprogo dan Jalan Temon - Borobudur.

Sengketa baru

Pengadaan tanah bagi proyek JJLS di pesisir Kulonprogo menjadi sengketa baru di sana. Lagi-lagi, sengketa itu melibatkan para petani, termasuk Koordinator Lapangan PPLP-KP Widodo. Ia menolak besaran nilai ganti rugi dari JJLS atas tanah dan bangunan rumah permanen yang ditempati bersama keluarganya.

Rumah itu tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal. Bangunan paling depan persis di tepi Jalan Daendels dijadikan tempat usaha kelontong yang dikelola istrinya. Sedangkan teras rumah jadi tempat usaha adik kandungnya, pengepul hasil pertanian warga, khususnya petani lahan pasir. Ada timbangan duduk besar, karung-karung goni berisi cabai merah, kacang panjang, dan jenis sayuran lain di sana.

Menurut Widodo, nilai ganti rugi yang diberikan atas tanah dan bangunan rumah yang ia tempati--dengan sertifikat masih atas nama ayahnya, Sumarjo--tidak sepadan dengan dampak kerugian yang dirasakan keluarganya. Selain itu, Widodo turut mempersoalkan transparansi proses ganti rugi yang dilakukan tim appraisal JJLS.

Widodo memperlihatkan dua lembar kertas berkop: Nilai Penggantian Wajar Pengadaan Lahan Untuk Jalur Lintas Selatan Ruas Jalan Garongan-Congot, Kecamatan Panjatan, Kecamatan Wates Dan Kecamatan Temon Kabupaten Kulonprogo. Meski objek yang diganti rugi sama dan hanya selisih satu meter persegi, nilai ganti rugi keduanya berbeda, bahkan amat jomplang.

Di kertas itu dijelaskan tujuh rincian objek dan nilai ganti rugi. Namun, di lembar milik Sumarjo (ayah Widodo), hanya diisi empat rincian. Di kertas nilai ganti rugi milik Sumarjo, dinyatakan luas tanah terkena JJLS 55 meter persegi, dengan rincian: indikasi nilai pasar tanah Rp117.095.000; total nilai pasar Rp117.095.000; total nilai non fisik Rp10.688.000; dan nilai penggantian wajar Rp127.783.000.

Perhitungan itu jauh berbeda dari nilai ganti rugi milik tetangga Widodo. Luas objek yang diganti rugi JJLS seluas 56 meter persegi. Rinciannya, indikasi nilai pasar tanah Rp118.608.000; nilai pasar bangunan Rp643.727.000; nilai pasar sarana pelengkap lainnya Rp7.800.000; nilai pasar tanaman Rp89.000; total nilai pasar Rp770.224.000; total nilai non-fisik Rp170.665.000; nilai penggantian wajar Rp940.889.000.

Kejanggalan ini tak dapat diterima Widodo. Melalui kuasa hukumnya dari LBH Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, ia mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Wates pada 1 April 2021. “Pak Sumarjo ini cuma dapat 127 juta. Itu gak masuk akal. Padahal jelas-jelas ada bangunan (rumah), punya usaha pelelangan hasil bumi sama toko kelontong,” tutur Julian di PN Wates, sebelum sidang perdana digelar, Selasa (13/4).

Menurut Julian, nilai solatium atau keterikatan manusia dan tanahnya tak dihitung dalam ganti rugi proyek JJLS ini. Padahal Sumarjo telah tinggal lebih dari 30 tahun di situ bersama anak-anaknya, bercocok tanam, hingga memiliki usaha jual hasil bumi.

“Nilai keterikatan belum muncul. Tanaman dan bangunan juga penurunan nilai usaha tak dihitung. Ini enggak masuk akal. Jadi kami ajukan ganti rugi Rp3,8 miliar di gugatan,” katanya.

Baca juga: 

Dalih Sejarah demi Kuasai Tanah

Widodo tak sendiri. Gugatan soal ganti rugi JJLS juga dilayangkan Dwi Windu Pancayati. Berdasarkan data SIPP PN Wates, para pihak tergugat, yakni tergugat I Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral DIY, tergugat II Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional DIY, dan tergugat III Kantor Jasa Penilai Publik Muttaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan Rekan, Cq Kantor Jasa Penilai Publik Muttaqin Bambang Purwanto Rozak Uswatun dan Rekan Kantor Cabang Yogyakarta.

Umumnya, resistensi warga Kulonprogo, termasuk petani PPLP KP, terhadap pembebasan lahan untuk proyek JJLS lebih rendah ketimbang resistensi mereka terhadap rencana tambang PT JMI. Bagi mereka, JJLS akan menjadi jalan yang diakses masyarakat umum, sementara JMI tambang milik perusahaan swasta. Akan tetapi, para warga juga tak rela jika ganti rugi dalam pembebasan lahan JJLS tidak transparan dan timpang.

Ketua RT di Dusun III, Desa Pleret, Musodik mencontohkan, nilai ganti rugi tanah perkarangan di lingkungannya, termasuk lahan milik keluarganya seluas 1.000 meter persegi, terkena JJLS, sama dengan harga lahan tanah sawah. Tak ada penjelasan yang diterima warga soal itu. “Warga diundang ke balai desa. Tahu-tahu dikasih harga (total ganti rugi) sekian. Cuman (di) kertas kliwiran (selembar),” kata Musodik.

Apa yang dialami Musodik diamini Dukuh Karangwuni, Sumarni. “Kami kan diundang, datang, terus dikasih nominal. Kalau mau protes di waktu itu. Setelah itu, enggak bisa,” kata Sumarni.

Sumarni mengakui dan mengalami perbedaan nilai ganti rugi tanah dari JJLS. “Itu beda-beda. Antara utara dan selatan (Jalan Daendels), enggak sama. Misal punya saya, beda-beda. Kemarin enggak dijelasin sama tim appraisal,” tuturnya.

Salah satu penerima ganti rugi JJLS, Marwoto, warga Dusun III, Desa Pleret, Kecamatan Panjatan, mendapatkan nilai ganti rugi di luar ekspektasinya. Lahan seluas 454 meter persegi dengan 20 pohon kelapa yang terletak di selatan tikungan S Jalan Daendels, Pleret, mendapat ganti rugi senilai Rp 967.537.000.

Dia mengambil pelajaran sebagai warga terdampak ketika membahas ganti rugi dengan pelaksana proyek JJLS. “Harusnya kompak. Sebelum ada pertemuan (dengan tim pengadaan tanah), harusnya kami mengadakan pertemuan, menerima atau tidak menerima harga segitu,” ucap Marwoto.

Julian menyatakan, proses pengadaan tanah dan ganti rugi untuk JJLS berjalan tak demokratis. Warga sekadar dikumpulkan untuk penetapan ganti rugi dan keberatan harus diajukan dalam rentang 14 hari setelah itu. Jika tak ada keberatan, warga dianggap menerima besaran ganti rugi.

“Musyawarah tak demokratis. Kesannya hanya formalitas. Warga seharusnya diberi tahu detail ganti rugi hingga dampak proyek JJLS tersebut,” katanya.

Di sidang perdana, pihak tergugat, yakni BPN dan Dinas PUP-ESDM DIY, tak hadir setelah sidang sempat diskors lebih dari dua jam untuk menanti kehadiran mereka.

Berharap tambang batal

Ada cerita berulang dalam proses pembebasan lahan JJLS. Mirip pembebasan lahan untuk proyek pembangunan Bandara YIA, Kadipaten Pakualaman menjadi penerima ganti rugi terbesar dalam pembebasan lahan JJLS.

Di Desa Karangwuni, tanah yang diklaim sebagai PAG dan selama ini digunakan untuk Kantor Kalurahan dan SD Negeri Karangwuni turut terkena JJLS. Menurut Penjabat Lurah Karangwuni, Dwi Purwanta, ganti rugi atas tanah kantor lurah dan SD diterima Pakualaman, sedangkan ganti rugi atas kedua bangunan diterima pihak desa dan sekolah. “Perwakilan Pakualaman yang menerima langsung (ganti rugi) saat pemberian secara simbolis (buku rekening), bulan Maret,” kata Dwi Purwanta.

Dukuh Karangwuni, Sumarni, menambahkan, nilai ganti rugi tanah PAG lebih tinggi dari nilai ganti rugi bangunan yang diterima oleh desa. “Bangunan (kantor desa) Rp1 miliar berapa, lupa. Lebih tinggi (nilai ganti rugi) tanah,” ungkap Sumarni.

Jika pendataan dan pematokan PAG bisa dikebut, pundi-pundi Kadipaten Pakualaman bakal bertambah karena pembebasan lahan untuk proyek JJLS belum selesai. “Masih ada yang berproses (untuk) kebutuhan empat lajur dari ujung timur dan ujung barat di Kulonprogo,” kata Staf Bina Marga Dinas PUPR DIY M. Yunus Albar saat dikonfirmasi di kantornya, Kamis, 8 April lalu.

Yang pasti, tumpang tindih antara konsesi kontrak karya PT JMI dan proyek JJLS menunjukkan kacaunya penataan dan pemanfaatan ruang di pesisir Kulonprogo. Risikonya pun bermacam-macam, dari sekadar kerugian uang negara sampai sengketa tanurial yang memicu konflik horisontal maupun vertikal.

Peneliti Greenpeace, Syahrul Fitra menyebut, kelindan proyek di pesisir Kulonprogo itu, baik PT JMI maupun JJLS, berdampak buruk bagi warga dan petani. “Kedudukan hukum kontrak karya itu mengikat secara hukum melebihi apapun. Karena KK itu hubungan privat, dianggap sebagai ‘UU’ kedua belah pihak,” tuturnya.

Karena itu, kontrak karya ditentang dan kontrak karya untuk PT JMI menjadi yang terakhir. “Kontrak karya itu menjanjikan publics goods (kepentingan umum) ke pihak privat dan negara tidak bisa mengendalikan,” ujarnya.

Ia pun mempertanyakan kontrak karya PT JMI di kawasan yang jadi proyek nasional JJLS karena bakal ada ganti rugi dari pemerintah jika proyek berubah. “Jadi memang proyek yang disengaja untuk dapat duit negara. Karena rencana jalan itu sudah ada,” ujarnya.

Sebagian kecil warga bahkan berharap proyek strategis nasional seperti JJLS akan mampu membatalkan kontrak karya PT JMI. Apalagi ada deretan proyek strategis nasional lainnya di kawasan pesisir Kulonprogo.

Namun Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X yakin proyek PT JMI berlanjut. “Kalau positif, dalam arti memenuhi standarnya, ya mesti (pabriknya) dibangun,” kata dia, awal Maret lalu.

Menanggapi pernyataan Gubernur DIY, Widodo mengatakan PPLP-KP tetap bakal menolak pendirian pabrik tersebut, termasuk dengan cara jalanan. “Kalau (Gubernur) ke sini, kami akan sambut dengan apa yang kami punya,” tuturnya. “Pokoknya proyek PT JMI gagal atau batal.”


Tulisan ini hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Arif Koes Hernawan (Gatra), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), dan Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).