Home Gaya Hidup Tikai Zaman, Perang Pemikiran Eksistensi di Tanah Peradaban

Tikai Zaman, Perang Pemikiran Eksistensi di Tanah Peradaban

Padang, Gatra.com - Dalam perjalanan waktu, kita selalu dihantam oleh cepatnya perkembangan zaman. Memaksa diri untuk selalu bisa beradaptasi dengan perubahan. Terutama dengan kecanggihan teknologi, dan menjamurnya budaya Asing yang masuk tanpa harus mengetuk.
 
Tapi, apakah semuanya harus berubah sesuai zamannya? Termasuk pada budaya bernilai mahal yang telah dijaga leluhur sejak lama? Pertanyaan-pertanyaan itu digambarkan dalam perang pemikiran "Tikai Zaman", sebuah pertunjukkan teater yang disutradarai oleh Ikhsan Haryanto pada Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Sumatra Barat Tahun 2021.
 
Pertunjukkan di Taman Budaya Sumbar, pada Jumat (1/10) malam itu, membawa diri penonton menerawang lebih dalam pada makna sebuah kemajuan zaman. Ada yang bersorak sorai, namun di lain sisi ada yang gagap tak tahu jalan. Mundur mustahil, diam tergilas, atau tercebur sekalian mandi dalam segala perubahan 
 
Diawali dengan visual leluhur kesukuan bangsa masa lampau. Mulai dari Arab, India, Cina, Nias, Mentawai, dan Minang. Keenamnya sejak lama berbaur dan hingga saat ini memang hidup rukun serta damai di lingkungan Provinsi Sumbar. Bahkan, keturunan selain Minangkabau ini tetap eksis dengan kebudayaannya.
 
Kemudian berlanjut dengan sekelompok anak muda, yang belajar tari kreasi tradisi Minangkabau. Lengkap dengan pakaian adat lebih sopan. Perempuan memakai tikuluak, dan penari laki-laki gagah dengan deta di kepalanya. Lima orang anak muda terlihat gagah dan anggun serta menari dengan lincah diiringi musik Minang.
 
Sekejap berubah sejak kelima penari itu masuk dunia anak muda kekinian. "Tikai Zaman" benar-benar ingin menggambarkan perangai anak muda yang akrab disebut milenial. Misalnya, ongkrong di kafe, main handphone, dan jarinya sibuk menikmat permainan yang ada di gadget, yang kini menjadi candu di ujung jadi.
 
Lalu, Casandra Dwi Lovend sebagai pemeran utama, mulai berpikir kritis dengan mengajak kelima penari itu mulai menerobos zaman. Menghidupkan kembali tari tradisi menjadi lebih baru dan segar dengan segala modernisasi, tanpa ingin menghilangkan esensial. Kendati awalnya ada yang tak sepakat, pada akhirnya mereka tercebur dalam perubahan.
 
"Gerakan yang dilatih tadi terlalu kaku. Padahal, kita bisa mengeksplorasinya, mengembangkannya, menjadi gerakan yang lebih baru dan lebih segar," tutur Casandra dalam dialognya.
 
Maka, disinilah pertikaian itu dimulai. Tarian mereka suguhkan tidak lagi kaku. Sekilas sebagai orang awam tentang tarian, gerakannya ada yang berbau Asing. Seperti gerakan balet, dansa, atau sebutan tarian Asing lainnya. Istilahnya, gemulai tubuh mereka bisa dibilang campuran kreasi, tradisi, dan modernisasi. 
 
Mereka menari dengan lincah. Tentu tidak dengan pakaian Minang-nya. Perempuan tak lagi memakai takuluak. Lelaki pun juga tak memakai deta. Minang-nya kian mulai ditanggalkan dari tubuh. Casandra dengan asyiknya menyanyi, menyerukan zaman yang kian berubah. Teknologi makin canggih, semuanya bisa didapatkan dengan mudah.
 
Lalu, perubahan yang mereka elukan ditentang oleh Wanda Rahmad Putra, selaku orang tua yang paham dengan adat. Sebab telah makan asam-garam lebih dulu. Alam menjadi guru. Belajar dari kebiasaan leluhur. Maka tak salah kiranya, ia juga ikut mempertanyakan nama dan nilai pada gerakan yang disebut lebih segar dalam nadi anak muda yang bergelora itu.
 
Ia tidak menampik, generasi muda mengalir darah segar dengan semangat bergelora. Namun, justru banyak generasi muda masa kini terlalu latah mengikuti zaman tanpa filter, tanpa pilah-pilih, tanpa saringan. Alias ditelan mentah-mentah. Tentu ini sangat dikhawatirkan akan "menanggalkan" budaya ke-Minang-annya, yang selama ini dijaga.
 
Konflik, pertikaian, dan perang opini terus berlanjut dengan egonya masing-masing. Wanda, generasi tua merasa lebih beradat, lebih paham, dan lebih hebat. Sebab merasa lebih dulu berkubang zaman, menelan waktu, mencecap asam di gunung, dan garam di lautan. Jadi segala yang akan dilakukan generasi muda, dikhawatirkan merusak pondasi yang sudah ada.
 
"Jadi mana hasilnya kemajuan peradaban yang kalian hasilkan itu? Kalian tidak lebih dari merusak tradisi lama yang sudah ada!" tegas Wanda menantang pemikiran generasi muda itu.
 
Sementara, Casandra, sebagai generasi muda pantang mengalah. Segala yang berbau peninggalan terdahulu, dinilai terlalu kaku, ketinggalan zaman, dan tidak cocok di zaman kekinian. Ia jadi nekat mendobrak budaya peradaban masa lampau. Ia ingin segalanya kebaruan, lebih segar, dan bisa dinikmati sesuai zaman. Kendati tetap berpijak pada esensi kebudayaan lama.
 
"Kalau pemikiran bapak benar, bukan kemajuan zaman, teknologi, dan kebudayaan, akan berdampak kepada siapapun, tanpa pandang generasi, pak. Generasi tua bukan malah membiarkan, mencuci tangah, menyalahkan generasi kami," sergah Casandra.
 
Konflik demi konflik bertikai tanpa bisa disebut selesai. Antara yang terasing, dengan mereka yang mampu bersaing. Semuanya bahkan saling menyalahkan satu sama lainnya. Generasi muda menyebut generasi tua sudah terlalu membiarkan "penyimpangan" selama ini. Sebaliknya, generasi tua tegas menuduh semua kerusakan peradaban akibat ulah generasi muda terlalu lancang.
 
Pada akhirnya, semuanya memilih jalannya masing-masing. Casandra tetap teguh dengan tarian ragam modernisasi teman milenialnya. Kendati ditentang dan masih dinilai dangkal, namun generasi muda tetap akan terus berproses. Ia semakin yakin semua kedalaman akan bisa diraih seiring berjalannya waktu. Sebaliknya, peradaban generasi tua ada yang tetap kuat mengakar.
 
"Tikai Zamai" disajikan dengan apik. Mampu mencabik-cabik dan mencambuk batin serta pikiran penonton. Sebab, tanpa bisa dielak, semuanya akan berubah, dan yang tetap ialah perubahan itu sendiri. Benar adanya, kecepatan kemajuan seolah telah melipat ruang. Memengaruhi bahkan menghilangkan batas kenyataan, sosial, dan kebudayaan.
 
Jika boleh disebut, "Tikai Zaman" ialah perang pemikiran dan eksistensi pada zaman kemajuan. Generasi muda selalu berusaha berubah sesuai zamannya. Tujuannya tidak lain, agar mampu beradaptasi dalam segala persaingan global. Lalu, generasi tua yang khawatir tergerusnya budaya peradaban, justru juga karena gagap, dan sudah tak mampu mengambil perank, kecuali mengingatkan batasan-batasan.
 
"Era digital yang telah lahir sebuah generasi yang bernama millenial, dan generasi Z dengan segala karakteristiknya. Seperti ingin serba instan, berpikir pragmatis, kurang sopan-santun, dan permisif terhadap kultur barat," sebut Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah mengingatkan dalam sambutannya malam itu.
 
Tahun 60-an misalnya, musik atau lagu Minang lawas dengan nada mendayu-dayu, lemah gemulai, dan liriknya banyak berisi ratapan (maratok). Misalnya, dinyanyikan almarhum Tiar Ramon, Zalmon, Elly Kasim, dan sebagainya. Kemudian mulai 20-an, meskipun dengan lirik lagu yang sama, tapi dinyanyikan oleh artis-artis muda Minang. 
 
Sebut saja, Ratu Sikumbang, Kintani, Rayola, Elsa Pitaloka, Vanny Vabiola, Ovhi Firsty, Ipank, David Iztambul, dan puluhan artis lainnya. Mereka membawakannya dengan khas anak muda kekinian, dan yang lebih segar di telinga. Akkhirnya mereka sukses, disukai generasi muda tanah air, bahkan mampu menciptakan lagu sendiri.
 
Jadi, memang tidak bisa ditampik, seiring perjalanan waktu, semuanya berlalu begitu cepat. Begitulah zaman, mengalir dan begulir. Kita mesti siap dengan adanya perkembangan pesat teknologi bagaikan cendawan di musim hujan ini. Tumbuh subur. Mau tidak mau, kita harus tercebur. Jika tidak kita akan terkubur. Kendati begitu, tentu ada batas yang harus kita jaga. Kejujuran, dan alasan kita dihidupkan. Jika tidak, budaya kita ialah kebohongan menuju kematian.
 
Untuk diketahui, PKD Sumbar ini berlangsung sejak 1-5 Oktober 2021 lalu. Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar, Gemala Ranti menyampaikan, kegiatan ini sebagai upaya menghidupkan kembali budaya-budaya yang ada di Ranah Minangkabau. Sekaligus juga dalam rangka "Merawat Ingatan" yang sudah 8 tahun PKD Sumbar ini vakum digelar.
376