Home Hukum Pakar Hukum Nilai Penerbitan SHGB Ini Maladministrasi

Pakar Hukum Nilai Penerbitan SHGB Ini Maladministrasi

Jakarta, Gatra.com – Pakar hukum tata negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr. Fahri Bachmid, S.H.,M.H., berpendapat bahwa terjadi maladministrasi dalam perbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atas tanah seluas sekitar 250 hektare di Sawangan, Depok, Jawa Barat (Jabar).

Fahri dalam keterangan tertulis yang diterima pada Minggu (30/1), menyampaikan, SHGB yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Depok atas tanah seluas sekitar itu kepada PT PSG, berpotensi maladministrasi karena melanggar Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), yaitu Asas Kecermatan (zorgvuldigheids beginsel) sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum dan lebih khusus melanggar hak hak subjektif warga negara (subjek hukum).

Fahri mengungkapkan, pandangan tersebut disampaikan sebagai ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang dihadirkan oleh pemohon atau penggugat Ida Farida melawan kepala Kantor Pertanahan Kota Depok dalam persidangan perkara Nomor : 101/G/2021/PTUN.BDG di PTUN Bandung.

“Yang menjadi objek sengketa adalah Keputusan BPN Kota Depok yang menerbitkan beberapa SHGB atas tanah yang berlokasi di Sawangan,” katanya.

Menurut Fahri, pada hakikatnya objek tanah tersebut secara legal-yuridis adalah hak milik Ida Farida berdasarkan SK-Kinag, tetapi BPN Kota Depok mengeluarkan SHGB atas nama suatu perusahaan.

Pada prinsipnya, lanjut dia, secara hukum permasalahan pertanahan ini timbul akibat dari alasan mendasar, yaitu pelaksanaan fungsi kelembagaan atau pejabat pada BPN Depok Kota yang tidak teliti dan cermat pada aspek telaah riwayat hubungan hukum tanah hingga pada penerbitan alas hak atas tanah.

Menurutnya, produk penerbitan SHGB oleh BPN Depok adalah keliru dari aspek prosedur hingga subtansi karena proses penerbitan sertifikat a quo bidang tanah dimaksud sedang menjadi objek perkara gugatan hak kepemilikan atau sengketa perdata di Pengadilan Negeri Depok dengan Registrasi Perkara No.127/Pdt.G/2017/PN.Dpk.

Perkara tersebut, menurut Fahri, hingga saat ini belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht). Dengan kata lain, objek lahan itu masih berada pada status sengketa.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, telah diredistribusikan kepada para petani penggarap melalui sebuah kebijakan untuk memberikan hak kepemilikan kepada petani, yaitu berupa Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria (SK.KINAG).

“Demikian halnya Ny Ida Farida selaku pemilik lahan seluas kurang lebih 250 ha berdasarkan Surat Keputusan Kantor Inspeksi Agraria Provinsi Jawa Barat (SK KINAG) No. 205 D/VIII-54 tanggal 31 Desember 1964,” ujarnya.

Kemudian, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria (SK KINAG) No. 11/VIII-54/62 tanggal 11 Juni 1963 dan Surat Keputusan Kantor Inspeksi Agraria (SK KINAG) No. 44A/III/Insp/C-54/64 tanggal 14 September 1964, diperoleh atas dasar Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Garapan tanggal 17 Maret 2007.

Kepemilikan lahan dengan dasar SK KINAG tesebut, kata Fahri, masih terdaftar/tercatat pada arsip Kantor wilayah BPN Provinsi Jawa Barat (Jabar) sebagaimana korespondensi terkahir berupa Surat dari Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jabar No. 410-707-2005 tanggal 10-05-2005.

Dengan demikian, Fahri berpendapat bahwa BPN Depok telah keliru serta berpotensi melakukan maladministrasi dengan menerbitkan SHGB atas nama PT PSG di atas lahan/objek milik Ida Farida.

“BPN Depok telah lalai dan tidak mencermati dokumen kepemilikan serta aspek yuridis hubungan hukum kepemilikan tanah,” ujarnya.

Penerbitan SHGB yang dilakukan BPN Depok kepada perusahaan itu melanggar hak kepemilikan lahan berdasarkan SK Kinag sehingga konsekuensi yuridisnya SHBG dimaksud tidak sah dan dapat dibatalkan karena mengandung kekeliruan dari aspek formil maupun meteriil.

Seluruh SHGB No. 1970; SHGB No. 1971; SHGB No. 1972; SHGB No. 1973; SHGB No. 1976; SHGB No. 2051; SHGB No. 2052; SHGB No. 2053/Sawangan yang diterbitkan BPN Depok? adalah produk hukum yang tidak sah dan dapat dibatalkan.

“Demikian demikian, segala bentuk perbuatan hukum (tindakan peralihan hak atau penjaminan) atas SHGB tersebut menjadi tidak sah dan cacat hukum,” katanya.

Menurutnya, kisruh hukum ini timbul akibat tindakan BPN Depok yang cenderung tidak prosedural sehingga berkonsekuensi bergulirnya sengket tata usaha negara yang perkaranya tengah diperiksa PTUN Bandung.

“Ida Farida sebagai penggugat mengajukan gugatan dengan pokok tuntutan agar PTUN Bandung membatalkan sejumlah SHGB tersebut karena terbukti tidak sah dan terdapat kekeliruan dari aspek formil maupun meteriil,” katanya.

Meski demikian, Fahri menyampaikan, PTUN tentunya harus memutus perkara tersebut secara adil dan imparsial berdasarkan hukum dan keadilan. Terkait pandangan tersebut, Gatra.com masih berupaya mengofirmasi pihak terkait.

463