Home Hukum Saksi Ahli: SK Kinag Produk Hukum Kepemilikan Tanah

Saksi Ahli: SK Kinag Produk Hukum Kepemilikan Tanah

Jakarta, Gatra.com – Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H., menyampaikan bahwa dari prospektif hukum administrasi negara, SK Kinag merupakan dasar argumentasi hubungan hukum dengan tanah.

Menurutnya, SK Kinag merupakan produk yang legal yang diterbitkan oleh Kementerian Agraria. SK tersbut berisi tentang penegasan atas hak pemilik tanah yang berasal dari tanah hak eigendom (landreform).

“Dengan demikian SK Kinag adalah bentuk pengakuan hak atas tanah bagi penerima redistribusi kebijakan landreform tanah oleh negara,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima pada Minggu (9/1).

SK Kinag, lanjut Fahri Bachmid, merupakan produk hukum yang diterbitkan dengan pijakan yuridis di atasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.

“UU No.1 Tahun1985 tersebut menegaskan pengaturan kembali mengenai hak atas tanah partikelir yang dahulunya bersumber dari hak eigendom berikut dengan hak pertuanannya,” ujar dia.

Pengaturan tersebut, tandas Fahri Bachmid, tentu dapat dimaknai sebagai bentuk perlindungan hukum Negara kepada warganya dalam konteks pemilik atau tuan atas suatu tanah bekas eigendom. Salah satu bentuk perwujudan perlindungan itu adalah melalui kewenangan kelembagaan dan wewenang pejabat Kementerian Agraria berupa penerbitan SK Kinag sebagai penegasan pengakuan penguasaan atas tanah.

“Bagi warga negara yang memperoleh SK Kinag tentu mempunyai derajat serta nilai hukum yang sama seperti sertifikat sebagai bentuk pengakuan hak atas tanah,” tandasnya.

Fahri Bachmid mengatakan, keterangan tersebut disampaikan ketika memberikan pendapat sebagai saksi ahli perkara sengketa Tata Usaha Negara (TUN) terkait sertifikat tanah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Jawa Barat, pada pekan ini.

Ia mengungkapkan, perkara tersebut dengan Nomor: 101/G/2021/PTUN.BDG yang diajukan oleh prinsipal Ida Farida melawan Kepala Kantor Pertanahan Kota Depok. Adapun objek sengketa dalam perkara ini, adalah BPN Kota Depok menerbitkan beberapa SHGB atas tanah yang berlokasi di Sawangan, Depok.

Ida Farida mengajukan gugatan karena tanah tersebut merupakan hak miliknya berdasarkan SK-Kinag, tetapi BPN Kota Depok mengeluarkan SHGB atas nama suatu perusahaan.

“Majelis hakim telah memeriksa serta mengali keterangan yang telah saya sampaikan di bawah sumpah pada persidangan [PTUN Bandung] yang terbuka untuk umum,” ungkapnya.

Fahri Bachmid lebih lanjut menyampaikan, dalam persidangan tersebut juga menjelaskan bahwa majelis hakim berwenang membatalkan SHGB yang diterbitkan BPN Kota Depok jika terbukti tidak sesuai ketentuan.

Menurutnya, hal tersebut merujuk pada norma Pasal 66 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 66 tersebut menjelaskan tentang pembatalan keputusan yang terdapat cacat, seperti, wewenang, prosedur, dan subtansi. Kalau terjadi pembatalan maka harus dibuat keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum pembatalan dan memperhatikan AUPB.

“Keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan; atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau atas putusan Pengadilan,” ujarnya.

Fahri Bachmid memandang ada persoalan serius dan permasalahan yuridis yang cukup mendasar di balik penerbitan SHGB oleh BPN Kota Depok tersebut. Sebab, senyatanya dengan Penerbitan SHGB itu telah merugikan pada pihak tertentu, dalam hal ini adalah penggugat.

Secara ideal, semestinya pihak BPN Depok dapat mempedomani UU RI No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dengan menerapkan prinsip kecermatan, kehati-hatian, serta ketidakberpihakan sebagaimana ditegaskan dalam prinsip asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sepanjang pengunaan kebijakan penerbitan SHGB, yang tentunya mempunyai implikasi hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

8938