Home Politik Politik Identitas Ditabuh Diperbatasan Negara Jelang 2024

Politik Identitas Ditabuh Diperbatasan Negara Jelang 2024

Pekanbaru,Gatra.com - Politik identitas kesukuan kembali menghangat di Bumi Lancang Kuning, Provinsi Riau.  Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, mendeklarasikan dirinya maju sebagai calon Gubernur Riau 2024, Sabtu (29/1). Pada momen tersebut Adil mengumumkan terbentuknya Tim Songo Banyu Milih, yang mayoritas beranggotakan Suku Jawa. 
 
Dalam panggung orasinya yang disitat dari media lokal Goriau, Adil secara khusus menargetkan suara dari etnis Jawa yang menurutnya secara persentase mencapai 41 persen dari total 6,8 juta penduduk Provinsi Riau. Dia pun menggiring tim pemenanganya untuk mengingat capaian politik Suku Jawa di era Orde Baru.  "Orang Jawa sudah rindu dengan pemimpin Jawa, 25 tahun lalu sejak kepemimpinan Pak Soeripto," ungkapnya. 
 
Untuk diketahui, Soeripto merupakan Gubernur Riau periode 1988-1998. Dia merupakan Gubernur Riau terakhir yang berakar dari militer, sekaligus simbol penguat "politik keamanan" ala orde baru di Bumi Lancang Kuning. Setahun setelah ditinggal Soeripto, pada 1999 Gerakan Riau Merdeka muncul sebagai protes terhadap politik keamanan yang tidak mensejahterahkan Riau. 
 
Pasca Soeripto, tak ada lagi orang Jawa yang mampu merengkuh kursi Riau I. Praktis sejak dimulainya otonomi daerah, kursi Gubernur Riau menjadi tempat bagi etnis Melayu. Kendati begitu, sejumlah politisi dari kalangan Jawa tetap mencoba peruntungan di setiap hajatan pemilihan Gubernur Riau, umumnya sebagai wakil gubernur. 
 
Pada ajang pilkada 2018 yang lalu, Bupati Rokan Hilir Suyatno menjadi representasi Suku Jawa sebagai Calon Wakil Gubernur Riau. Namun Suyatno gagal meraih kemenangan. 
 
Kepada Gatra.com, pengamat politik Rony Basista menilai perangkulan suara dari kelompok kesukuan bukan hal yang aneh dalam kontestasi politik. Hanya saja jika haluan politik tersebut ditujukan untuk mengistimewakan kelompok tertentu maka itu merupakan kemunduran. 
 
"Tentu kemunduran bagi kita karena mereka akan menggunakan sentimen kesukuan untuk menunjukkan perbedaannya dengan kelompok-kelompok lain, menjadikan seolah kelompok ini yang harus diutamakan dari yang lain. Namun jika hanya merupakan usaha untuk merangkul dan meraih suara suatu kelompok maka tidak ada yang keliru," jelas kandidat doktor di Victoria University Wellington, itu Selasa (8/2). 
 
Lebih lanjut Rony mengatakan, salah satu indikator upaya perangkulan terhadap kelompok tertentu,dapat dilihat melalui pemberian gelar adat kepada politisi, yang tujuannya meraih simpati dari kelompok adat tersebut. 
 
Pendekatan ini  dilakukan oleh Bupati Kabupaten Kampar, Catur Sugeng Susanto, pada Februari 2020. Saat itu Catur resmi memikul gelar Datuok Rajo Batuah setelah dikukuhkan sebagai bagian dari Suku Domo. 
 
Disinggung mengenai dampak menguatnya politik identitas terhadap stabilitas kawasan Selat Malaka yang bersisian dengan Riau, Rony yakin stabilitas kawasan tersebut tidak terganggu. 
 
"Terlepas dari identitas apa yang berlaku. Kalau ditarik ke Riau, mau identitas apapun tidak ada pengaruhnya karena stabilitas tidak dijamin oleh latar belakang kepala daerah melainkan sistem politik. Sistem kita sejauh ini mampu menciptakan stabilitas pemerintahan," bebernya. 
 
Namun, Rony membenarkan stabilitas Selat Malaka kian penting seiring menguatnya pengaruh ekonomi China, dan peran selat tersebut yang vital bagi jalur dagang Negeri Tirai Bambu. Belakangan, upaya membendung pengaruh ekonomi China telah memicu terbentuknya aliansi AUKUS (Australia-Inggris-Amerika Serikat). 
 
Etnonasionalisme di Selat Malaka
 
Memisahkan Riau dengan Semenanjung Malaya, sejarah Selat Malaka diwarnai rekam jejak etnonasionalisme yang sengit. Bumi Lancang Kuning dikelilingi oleh negara yang didirikan dengan politik identitas yang kental. 
 
Berjarak lebih kurang 160 kilometer dari Kota Dumai Provinsi Riau, ibukota Malaysia Kuala Lumpur mengisi sejarahnya dengan politik identitas yang kuat; Ketuanan Melayu. Sedangkan Singapura di ujung Semenanjung Malaya, merekam jejak perlawanan etnis China terhadap etnis Melayu. 
 
"Itu sebabnya isu primordial baiknya dihindari dalam hajatan politik di Riau," terang pengamat komunikasi politik Universitas Muhammadiyah Riau, Aidil Haris kepada Gatra.com.
 
Menurut Aidil Haris selain beresiko terhadap kemajemukan Provinsi Riau, isu primordial juga memiliki kecendrungan melemah dalam menggaet pemilih. 
 
"Belakangan ini ada kecendrungan isu primordial tidak lagi nendang.Sekalipun pemilih berbasis etnis bisa di kalkulasikan, hasil akhir cendrung cair atau tidak terpolarisasi begitu dalam berdasarkan kantong-kantong etnis,"urainya.
 
Adapun Muhammad Adil setelah mendeklarasikan diri maju sebagai bakal calon gubernur Riau, menyatakan mundur dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pengunduran diri tersebut ditenggarai sikap PKB yang membulatkan tekad untuk mengusung Ketua DPW PKB Riau,  Abdul Wahid, sebagai kontestan pilkada 2024 mendatang. 
 
Adil sendiri dirumorkan tengah mengincar PDI Perjuangan sebagai perahu politik, partai yang punya basis pemilih cukup besar dikalangan penduduk transmigran, yang sebagian besar berasal dari Jawa. 
 
Sementara itu Sekretaris DPW PKB Riau, Ade Agus Hartanto, menilai sikap Muhammad Adil yang mengutarakan diri sebagai kandidat bakal calon Gubernur Riau untuk 2024 terkesan ambisius. 
 
"Mestinya suguhkan dulu capaian di Kepulauan Meranti, daripada sekedar mempertontonkan sikap ambisius ke publik," tukasnya. 

Adapun Muhammad Adil memenangkan Pilkada Kabupaten Kepulauan Meranti tahun 2020 bersama Asmar. Keduanya dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati pada 26 Februari 2021. Bupati dan Wakil Bupati ini diusung oleh PKB dan PDI Perjuangan. 

 

 
392