Home Lingkungan Tahun 2021 Konflik SDA di Riau Menurun

Tahun 2021 Konflik SDA di Riau Menurun

Pekanbaru,Gatra.com- Konflik sumber daya alam (SDA) di Provinsi Riau mengalami penurunan pada tahun 2021. Demikian hasil hasil riset lembaga Scale Up, NGO yang mengkhususkan diri mengamati konflik SDA di Riau. 
 
Berdasarkan catatan Scale up, jumlah konflik di Riau pada tahun 2021 sebanyak 20 konflik. Angka tersebut berkurang dari 31 konflik pada tahun 2020 dan 55 konflik pada tahun 2019.
 
Kepada Gatra.com, koordinator Scale Up, Rawa el Almady, mengungkapkan penurunan tersebut turut dipengaruhi pandemi COVID-19. Menurutnya COVID-19 ikut menghambat media dan LSM turun ke masyarakat yang sedang berkonflik. 
 
"Menguji kebenaran pengaruh covid 19 ini, akan terlihat pada tahun-tahun  setelah virus tersebut berakhir. Jika jumlah eskalasi konflik tetap tinggi, bahkan bertambah tinggi ini berarti penurunan jumlah konflik disebabkan pengaruh covid 19," bebernya kepada Gatra.com, melalui pesan tertulis di Pekanbaru,Senin (21/2). 
 
Selain faktor COVID-19, berkurangnya ekspos konflik juga dipicu oleh minimnya akses masyarakat untuk mengutarakan konflik yang mereka alami. 
 
Kendala akses tersebut, jelas Tawa, juga dipengaruhi oleh jarak yang jauh, belum melek teknologi informasi, tidak bisa berinteraksi ke media dan LSM yang tepat. 
 
Meski mengalami penurunan,ditinjau dari sektor sumber konflik, sektor perkebunan kelapa sawit tetap mendominasi. Konflik sektor ini mencapai 50 persen dari total 20 konflik SDA yang terjadi di Riau pada tahun 2021. Konflik dari sektor hutan tanaman industri (HTI) berada diurutan kedua (35 %), disusul konflik dari ranah migas 15 %.
 
"Kecenderungan konflik tetap sama sejak tahun 2002 hingga tahun 2021 bahwa sawit merupakan penyumbang utama konflik di Riau, hanya di tahun 2016 konflik HTI mengalahkan konflik sawit. Sejak tahun 2018, perbandingan konflik sawit dengan HTI sangat 
menyolok. Tahun 2018, konflik sawit 26 kasus HTI 3 kasus, tahun 2019 konflik Sawit 39 kasus HTI 9 kasus , tahun 2020 konflik sawit 27 kasus HTI 4 kasus,"urai Rawa. 
 
Adapun pemicu konflik di tahun 2021 lebih dominan disebabkan oleh penyerobotan lahan yang mencapai 14 kasus. Sedangkan tumpang tindih lahan sebanyak 2 kasus, penolakan pendirian perusahaan dan pemutusan hubungan kerja masing-masing sebanyak 1 kasus. 
 
Diketahui,pada tahun 2020 penyebab konflik dipicu oleh penyerobotan lahan, ganti rugi, kredit koperasi primer untuk anggota (KPPA) , tumpang tindih lahan dan pengingkaran atas 
kesepakatan. 
 
"Penyerobotan bisa terjadi ketika pemerintah daerah belum memaksimalkan upaya perlindungan hak-hak atas rakyat, bahkan bisa jadi oknum pejabat  ikut terlibat. Pembentukan Satgas Penerbitan 1,2 juta hektar kebun sawit ilegal tahun 2019 belum menyentuh langsung dengan penanganan konflik,"imbuhnya.
 
Sebagai informasi, tahun 2021 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tampil sebagai aktor penting dengan terlibat penyelesaian hingga 7 kasus konflik, diikuti dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kabupaten dengan 4 Kasus, sementara pemerintah Provinsi melalui DLHK
hanya terlibat 1 kasus saja.
 
 Sementara pada tahun 2020, pihak yang paling besar terlibat dalam penyelesaian konflik adalah Pemerintahan Kabupaten/Kota dan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten.
 
Adapun korporasi yang terlibat konflik diantaranya: PTPN V, PT RAPP, PT AA, PT NWR, hingga PT Chevron. 
671