Home Politik Partai PRIMA Duga Ada Kepentingan Istana di Balik Wacana Penundaan Pemilu

Partai PRIMA Duga Ada Kepentingan Istana di Balik Wacana Penundaan Pemilu

Jakarta, Gatra.com – Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Agus Jabo Priyono, menduga adanya kepentingan istana di balik wacana penundaan Pemilu 2024 yang muncul lagi ke ruang publik belakangan ini.

“Wacana penundaan Pemilu 2024 ini sebenarnya adalah rencana istana yang didukung oleh pengusaha. Selanjutnya, partai politik berperan untuk memuluskan rencana itu agar bisa berjalan mulus,” ujar Agus dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/3/).

Sebelumnya, Agus kerap menyampaikan bahwa wacana itu merupakan pertemuan tiga kepentingan besar di republik ini, yaitu partai politik koalisi pemerintah, istana, dan oligarki.

Seperti diketahui, kepentingan dan keterlibatan istana dalam bergulirnya wacana penundaan Pemilu 2024 itu juga sudah diakui oleh politisi dari partai politik yang mulai merapat ke arus kekuasaan, meski sebelumnya partai ini berada pada jalur oposisi.

Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, mengaku diundang oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, dalam sebuah pertemuan pada pertengahan Februari 2022 lalu. Ia mengaku diminta Luhut untuk menyampaikan kepada publik bahwa dirinya mendukung wacana penundaan Pemilu. Luhut pun diklaim sudah mendapat persetujuan dari Presiden Jokowi.

“Jika benar demikian, tentu ada hal besar yang sedang dipertaruhkan oleh penguasa sampai harus menunda Pemilu yang sudah jelas-jelas menabrak konstitusi UUD 1945,” ujarnya.

Agus menambahkan bahwa ambisi dan kepentingan segelintir elit yang menguasai sumber daya ekonomi maupun politik tersebut harus mendapatkan perlawanan yang luas dari masyarakat. Jika tidak, katanya, maka wacana penundaan Pemilu ini akan dilegalkan melalui instrumen negara.

Agus menilai bahwa legalisasi atau konstitusionalisasi penundaan Pemilu tidak mengada-ada. Ia mencatat kelompok oligarki memiliki pengalaman sebelumnya yang berhasil mengesahkan UU Minerba dan Omnibus Law meski mendapatkan perlawanan dari pelbagai elemen masyarakat.

“Jika fakta politiknya demikian, masyarakat dipaksa setuju dengan apa yang mereka putuskan. Ini sungguh ironis, di tengah sulitnya kehidupan rakyat akibat pandemi, ditambah dengan naiknya harga kebutuhan pokok, polemik JHT, BPJS, dan kewajiban administratif yang menjadi beban masyarakat, demokrasi hanya menjadi alat oligarki,” kata Agus.

Demokrasi yang dikuasai oligarki, kata Agus, hanya akan makin menjauhkan masyarakat dari keadilan dan kesejahteraan. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa tata ulang sistem ekonomi dan politik menjadi kebutuhan mendesak.

“Sistem politik harus membuka seluas-luasnya partisipasi politik rakyat dengan cara mempermudah pendirian partai politik dan kepesertaannya dalam pemilu, penghapusan parlementary threshold, maupun presidential threshold,” ujar Agus.

“Mereka yang kuat harus dibatasi dan mereka yang lemah harus dilindungi dan dikembang. Untuk itu, negara bertugas membuat aturan dalam bentuk regulasi dan instrumen pendukungnya. Dengan begitu, cita-cita Indonesia adil makmur akan terwujud. Demokrasi harus betul-betul menjadi sistem yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” tandas Agus.

285