Home Hukum Korupsi Masjid Sriwijaya dan Gas, Alex Noerdin Dituntut 20 Tahun Penjara dan Ganti US$3,2 Juta

Korupsi Masjid Sriwijaya dan Gas, Alex Noerdin Dituntut 20 Tahun Penjara dan Ganti US$3,2 Juta

Palembang, Gatra.com – Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel) menuntut mantan Gubernur Sumsel, terdakwa Alex Noerdin, dihukum 20 tahun penjara dalam perkara dugaan korupsi pembangunan Masjid Sriwijaya dan pembelian gas bumi oleh BUMD Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel tahun 20102019.

Tim JPU menyampaikan tuntutan terhadap terdakwa Alex Noerdin tersebut dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Klas 1 A Khusus Palembang, Sumsel, Rabu (25/5).

JPU Kejagung menuntut Alex Noerdin dihukum 20 tahun penjara karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dalam dakwaan primer dan subsider dalam dua perkara dugaan korupsi tersebut.

Selain itu, JPU Kejagung juga menuntut terdakwa dengan pidana tambahan, yakni membayar uang pengganti sejumlah US$3,2 juta dalam perkara PDPDE serta Rp4,8 miliar dalam perkara Masjid Sriwijaya.

“Dengan ketentuan jika 1 bulan usai vonis inkracht tidak dibayar maka asetnya akan disita, dan jika harta benda terdakwa yang disita tidak mencukupi uang pengganti kerugian negara tersebut, maka diganti dengan pidana 10 tahun penjara,” kata JPU.

Atas tuntutan JPU tersebut, Alex Noerdin mengatakan, pihaknya akan menyampaikan nota pembelaan atau pledoi pada sidang selanjutnya.

“Saya tidak menyangka kejam tuntutan jaksa tuntutan maksimal 20 tahun. Terima kasih Pak Jaksa. Kepada Majelis Hakim, mohon kami meminta waktu untuk mempersiapkan pembelaan,” kata Alex Noerdin menanggapi tuntutan JPU.

Setelah mendapat jawaban dari terdakwa Alex Noerdin dan tim kuasa hukumnya, Ketua Majelis Hakim, Yoserizal, menyatakan sidang akan dilanjutkan kembali pada pekan depan dengan agenda pembelaan dari terdakwa dan tim kuasa hukumnya.

“Sidang kami tutup dan akan kami buka kembali pada Kamis, 2 Juni 2022 mendatang dangan agenda pembelaan,” katanya.

Sebelumnya, JPU menyebutkan terdapat beberapa hal yang patut diduga sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan terdakwa Alex Noerdin, mantan Direktur PT Dika Karya Lintas Nusa (DKLN) merangkap Direktur Utama (Dirut) PDPDE Sumsel, Muddai Madang; mantan Dirut PDPDE dan Dirut PDPDE Gas, Caca Ica Saleh S; dan mantan Direktur PT Dika Karya Lintas Nusantara (DKLN) merangkap Direktur PT PDPDE Gas, serta mantan Dirut PDPDE Sumsel, A Yaniarsyah Hasan.

Perbuatan mereka itu dimulai saat Pemerintah Provinsi Sumsel memperoleh alokasi untuk membeli gas bumi bagian negara dari PT Pertamina, Talisman Ltd. Pasific Oil and Gas Ltd., dan Jambi Merang (JOB Jambi Merang) sebesar 15 MMSCFD berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengelola Minyak Dan Gas (BP MIGAS) atas permintaan Gubernur Sumsel pada tahun 2010.

Bahwa berdasarkan keputusan Kepala BP Migas tersebut yang ditunjuk sebagai pembeli gas bumi bagian negara ini adalah BUMD Provinsi Sumsel, yaitu PDPDE Sumsel.

Akan tetapi, dengan dalih PDPDE Sumsel tidak mempunyai pengalaman teknis dan dana, maka PDPDE Sumsel bekerja sama dengan investor swasta. PT Dika Karya Lintas Nusa (PT DKLN) kemudian membentuk perusahaan patungan PT PDPDE Gas yang komposisi kepemilikan sahamnya 15% untuk PDPDE Sumsel dan 85% untuk PT DKLN.

Akibat dari penyimpangan tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara yang menurut perhitungan ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI sejumlah US$ 30.194.452.79.

Besaran kerugian negara tersebut berasal dari hasil penerimaan penjualan gas dikurangi biaya operasional selama kurun waktu 2010–2019, yang seharusnya diterima oleh PDPDE Sumsel sejumlah US$ 63.750,00 dan Rp2.131.250.000,00 yang merupakan setoran modal yang tidak seharusnya dibayarkan oleh PDPDE Sumsel.

Dalam perkara tersebut, JPU mendakwa para terdakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tidak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Subsidairnya, Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara untuk kronologi perkara dugaan korupsi Masjid Sriwijaya yang menyeret Alex Noerdin, awalnya Pemprov Sumsel menyalurkan dana hibah kepada Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang untuk pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang sebanyak dua kali, yakni pada 2015 dan 2017.

Pada penyaluran pertama, dananya menggunakan APBD 2015 sebesar Rp50 miliar dan penyaluram kedua menggunakan APBD 2017 sebesar Rp80 miliar. Setelah diusut, penganggaran dana hibah tersebut tidak sesuai prosedur perundang-undangan.

Selain itu, Kejati Sumsel juga menemukan fakta Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya tersebut tidak beralamat di Palembang, melainkan di Jakarta.

Kejanggalan lainnya adalah terkait lahan pembangunan masjid yang awalnya dinyatakan Pemprov Sumsel sebagai aset milik Pemprov, tetapi ternyata sebagian adalah milik masyarakat. Puncaknya, pembangunan Masjid Sriwijaya Palembang tersebut tidak kunjung rampung.

378