Home Nasional MRP: Pemekaran Papua Setidaknya Melihat Empat Indikator

MRP: Pemekaran Papua Setidaknya Melihat Empat Indikator

Jakarta, Gatra.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong rencana pemekaran tiga provinsi baru di Papua. Dorongan tersebut diwujudkan dengan terbitnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Pemekaran Papua yang disahkan sebagai RUU inisiatif DPR pada 12 April 2022. Tiga RUU yang bakal digodok di Senayan tersebut, di antaranya RUU tentang Provinsi Papua Selatan (Ha Anim), RUU tentang Provinsi Papua Tengah (Meepago), dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah (Lapago).

Majelis Rakyat Papua (MRP) menyayangkan munculnya gagasan pemekaran wilayah, lantaran UU Otonomi Khusus (Otsus) yang mengatur pemekaran wilayah sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Diketahui, MRP mengugat 7 pasal dalam UU Otsus yang dinilai melanggar hak konstitusional Orang Asli Papua (OAP). Pasal yang digugat antara lain, Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76, dan Pasal 77.

Ketua Tim Kerja MRP untuk Advokasi UU Otsus Papua, Benny Sweny, mengatakan, pihaknya akan menunggu keputusan sidang uji materi UU Otsus di MK. Meski demikian, ia menyatakan gagasan pemekaran telah menimbulkan polemik serius di Bumi Cenderawasih. “Masyarakat Papua sendiri ada yang pro terhadap pemekaran, ada yang kontra terhadap pemekaran. Tapi, mayoritas masyarakat Papua menolak pemekaran karena sesungguhnya pemekaran harus datang dari masyarakat Papua sendiri, sesuai amanat UU Otsus di Pasal 76 ayat 1,” ujar Benny kepada Gatra.com, Rabu (25/5).

Ia menyebut, keberadaan UU Otsus yang baru menimbulkan tafsir yang berbeda dalam konteks pemekaran. Di satu sisi, pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP, namun di sisi lain pemerintah dan DPR juga memiki kewenangan yang sama di dalam melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi Daerah Otonom Baru (DOB) dengan sejumlah alasan dan pertimbangan.

“Dalam UU 2/2021 (UU Otsus), pemerintah menambah ayat ke dua di mana pemerintah dan DPR RI punya kewenangan melakukan pemekaran. Saya pikir, pasal ini menjadi ambigu karena ada dua pendekatan dalam pemekaran. Kenapa harus menambahkan ayat 2, karena kalau bicara pemekaran secara umum sudah diatur dalam UU 23/2014 (UU Pemda), lalu tidak ada yang khusus [di Papua],” kata Benny.

Menurutnya dalam UU 23/2014, aturan pemekaran di luar Provinsi Papua dilakukan oleh pemerintah pusat. Sedangkan, UU Otsus mengamanahkan agar pemekaran di Papua dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP yang selama ini menjadi karekteristik atau kekhususan dari Provinsi Papua.

Benny menjelaskan, ada empat indikator atau kriteria suatu daerah bisa dimekarkan. Pertama, kesatuan sosial budaya. Apakah provinsi baru dengan kabupaten/kota di dalamnya sudah menunjukkan karekteristik sosial budaya yang sama. Kedua, kesiapan sumber daya manusia OAP. “Apakah di kabupaten-kabupaten yang terletak di Papua Selatan misalnya, ada SDM OAP-nya atau tidak, lalu berapa rasio jumlahnya dengan orang non Papua,” tuturnya.

Ketiga, kemampuan ekonomi. Apakah wilayah tersebut memiliki potensi ekonomi atau PAD yang cukup untuk membiayai provinsi yang baru. Keempat, perkembangan atau dinamika di masa yang akan datang. “Karena itu, MRP yang terdiri dari wakil adat, wakil perempuan, dan wakil agama dari lima wilayah adat itu akan kembali melakukan asesmen dan memastikan sebagai feasibility study bahwa provinsi itu layak-tidak dimekarkan. Kalau enggak, mungkin 10 atau 20 tahun mendatang,” Benny menjelaskan.

Ia menyebut, MRP hanya menyampaikan sudut pandang yang jujur dari masyarakat asli Papua. “MRP secara institusional tidak dalam posisi menolak atau menerima DOB, tapi kita ingin agar sesuai dengan konstitusi. Supaya proses pemekaran atau DOB kembali kepada rakyat Papua melalui MRP dan DPRP,” pungkasnya.

900