Home Hukum Mantan Kepala UPT Tanah Dishut DKI Tersangka Mafia Tanah Cipayung

Mantan Kepala UPT Tanah Dishut DKI Tersangka Mafia Tanah Cipayung

Jakarta, Gatra.com – Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menetapkan mantan Kepala UPT Tanah Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi DKI Jakarta, HH, sebagai tersangka kasus mafia tanah Cipayung, Jakarta Timur (Jatim).

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati DKI Jakarta, Ashari Syam, menyampaikan, kepala UPT Tanah Dishut DKI Jakarta tahun 2018 tersebut ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan atas Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Nomor : TAP-60/M.1/Fd.1/06/2022 tanggal 17 Juni 2022.

“Pada hari Jumat, tanggal 17 Juni 2022, penyidik Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta kembali menetapkan tersangka dalam kasus Mafia Tanah Cipayung,” katanya.

Ashari menjelaskan, pada tahun 2018, tersangka HH yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala UPT Tanah Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta, melaksanakan pembebasan lahan di RT 008 RW 03, Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.

“Pembebasan lahan tersebut dilaksanakan tanpa adanya Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah, Peta Informasi Rencana Kota dari Dinas Tata Kota, Permohonan Informasi Asset kepada Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD), dan tanpa adanya persetujuan Gubernur Provinsi DKI Jakarta,” ujarnya.

Selain itu, tersangka HH juga memberikan Resume Penilaian Properti (Resume Hasil Apraisal) terhadap 9 bidang tanah di Kelurahan Setu dari KJPP kepada tersangka LD, selaku Notaris sebelum hari pelaksanaan musyawarah/negosiasi harga dengan warga pemilik lahan.

Akibatnya, lanjut Ashari, data tersebut dipergunakan oleh tersangka LD untuk melakukan pengaturan harga terhadap 8 pemilik atas 9 bidang tanah di Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Jaktim.

“Pemilik lahan hanya menerima uang ganti rugi pembebasan lahan sebesar Rp1.600.000 per meter sedangkan harga yang dibayarkan Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta kepada pemilik lahan rata-rata sebesar Rp2.700.000 per meter,” katanya.

Atas ulah tersebut, Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta harus membayar sebesar Rp46.499.550.000 (Rp46,4 miliar). Sedangkan total uang yang diterima oleh pemilik lahan hanya sebesar Rp28.729.340.317 (Rp28,7 miliar). Uang hasil pembebasan lahan yang dinikmati tersangka LD dan para pihak sebesar Rp17.770.209.683,- (Rp17,7 miliar).

Bahwa proses pembebasan lahan di Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Jatim diduga telah menyalahi ketentuan Pasal 45 dan Pasal 55 Peraturan Gubernur Nomor 82 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terkait rencana pengadaan.

Atas perbuatan tersebut, Kejati HH disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3, Pasal 11, Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU. RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sebelumnya, Kejati DKI Jakarta menetapkan 2 orang tersangka, yakni LD, oknum notaris dan MTT selaku pihak swasta dalam kasus dugaan korupsi mafia tanah di Cipayung, Jakarta Timur (Jaktim), yang dilakukan Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Pemprov DKI.

Penyidik menetapkan mereka sebagai tersangka pada Senin, 13 Maret 2022. Mereka ditetapkan sebagai tersangka karena perannya ikut serta membantu pengadaan tanah di Cipayung, Jaktim.

Kejati DKI menetapkan mereka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor : TAP-58/M.1/Fd.1/06/2022 tanggal 13 Juni 2022 dan Surat Penetapan Tersangka Nomor : TAP-59/M.1/Fd.1/06/2022 tanggal 13 Juni 2022.

Kasus dugaan tindak pidana korupsi mafia tanah ini berawal pada 2018, Dinas Pertamanan dan Kehutanan Provinsi DKI Jakarta melakukan pembebasan lahan di Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Jaktim, terhadap 8 pemilik lahan.

“Pembebasan lahan guna kepentingan pengembangan RTH [Ruang Terbuka Hijau] DKI Jakarta,” kata Ashari.

Dalam pelaksanaan pembebasan lahan di RT 008 RW 03, Kelurahan Setu, Cipayung, lanjut dia, tidak ada dokumen perencanaan pengadaan tanah dan peta informasi Rencana Kota dari Dinas Tata Kota.

“Serta tidak ada permohonan informasi Asset kepada Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD) dan tidak ada persetujuan Gubernur Provinsi DKI Jakarta,” katanya Ashari.

Bahkan, dalam proses pembebasan lahan tersebut, adanya kerja sama antara tersangka LD dengan MTT dan pihak lainnya yang belum ditetapkan sebagai tersangka. Sehingga lahan di Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, dapat dibebaskan oleh Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta.

“Tersangka LD bersama-sama dengan pihak lainnya telah melakukan pengaturan dan atau pengaturan harga terhadap 8 pemilik atas sembilan bidang tanah di Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur,” ujarnya.

Atas perbuatan tersebut, Kejati DKI Jakarta menyangka LD melanggar Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3, Pasal 5 Ayat (1), Pasal 13 Jo. Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Sedangkan MT disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3, Pasal 11, Pasal 12 huruf b Jo. Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

344