Home Hukum Kerugian Negara Perkara AMU Harus Nyata dan Pasti

Kerugian Negara Perkara AMU Harus Nyata dan Pasti

Jakarta, Gatra.com – Tim kuasa hukum terdakwa Direktur Operasional Ritel PT Askrindo Anton Fadjar Alogo Siregar, menghadirkan dua orang saksi ahli dalam sidang perkara dugaan korupsi Pengelolaan Keuangan PT Askrindo Mitra Utama (PT AMU) Tahun Anggaran 2016-2020.

Zecky Alatas, salah satu kuasa hukum terdakwa Anton Siregar di Jakarta, Senin (1/8), menyampaikan, pihaknya menghadirkan ahli hukum administrasi negara, Dian Simatupang, dan ahli hukum pidana Chairul Huda? pada persiangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Zecky menyampaikan, Dian awalnya menjelaskan soal penyertaan modal negara berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2005, yakni merupakan pengalihan kepemilikan yang sebelumnya milik negara menjadi milik badan hukum yang menerimanya.

Menurut dia, kekayaan atau keuangan tersebut selanjutnya dikelola oleh badan hukum yang menerimanya. Pengelolaannya sesuai mekanisme badan hukum tersebut serta tidak lagi tunduk pada mekanisme kekayaan negara pada umumnya dan mekanisme APBN.

Selain itu, lanjut Zecky, Dian juga menyampaikan sesuai Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Menteri BUMN Nomor 4 Tahun 2020 bahwa anak usaha BUMN merupakan perseroan terbatas milik BUMN. Keuangan anak perusahaan BUMN bukan keuangan negara.

Pasalnya, modal BUMN berasal dari negara yang dicatat dalam APBN. Setelah itu diterbitkan PP tentang penyertaan modal yang dicatat dalam kas BUMN. “Jadi, keputusan [PMN] bukan dari pemerintah, tapi dari BUMN tersebut,” ujarnya.

Sedangkan kalau anak usaha BUMN mengalami kerugian, lanjut dia, itu tidak dapat dikategorikan kerugian keuangan negara. Pasalnya, sumber uangnya bukan kas negara.

Jikapun aparat penegak hukum menyatakan merugikan keuangan negara, maka harus dapat membuktikannya dari laba rugi yang tercatat di BUMN karena kerugian keuangan negara itu harus nyata dan pasti.

Menurutnya, hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara, yakni kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik hukum pidana, hukum administrasi dan hukum perdata dan atau kelalaian.

Dengan demikian, kata dia, tidak bisa setiap kerugian negara itu pasti menjadi perbuatan hukum pidana. Atas penjelasan itu, Zecky memintanya untuk mempertajam maksud nyata dan pasti dalam kerugian negara.

Dian menjelaskan, nyata artinya terjadi kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang dibuktikan melalui laporan keuangan atau hasil penelusuran kas atau neraca laba rugi atau standar bukti otentik lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan pasti, yakni jumlahnya harus jelas dan dapat dihitung. Artinya, jumlah itu bukan suatu dugaan, indikasi, potensi bahkan imajinasi. “Harus benar-benar dapat dihitung berdasarkan nilai buku,” ujarnya.

Jika terjadi kekurangan akibat salah wewenang, prosedur, dan pelaksanaan, itu merupakan kerugian keuangan negara dalam bentuk administari. Ini dapat dilakukan pengembalian dalam waktu 10 hari.

Menurutnya, dalam keuangan negara ada tuntutan kerugian negara, sedangkan di perusahaan terdapat standar operasional prosedur (SOP) tersendiri untuk pengembaliannya.

Sedangkan Chairul Huda, kata Zecky, pada intinya menyampaikan bahwa aparat hukum harus dapat membuktikan delik perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian negara yang didakwakan.

Dalam perkara ini, Anton didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Huda, perbuatan melawan hukum dan kerugian negara tidak dapat dipisahkan.

Sebelumnya, JPU Kejari Jakpus mendakwa mantan Direktur Pemasaran PT Askrindo Mitra Utama (PT AMU), Wahyu Wisambada, dan Direktur Operasional Ritel PT Askrindo sekaligus Komisaris PT AMU,Anton Fadjar Alogo Siregar, melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan PT AMU Tahun Anggaran 2016–2020.

Adapun inti surat dakwaan JPU Kejari Jakpus sebagaimana dilansirSIPP PN Jakpus bahwa Wahyu Wisambada bersama-sama Anton Fadjar Alogo Siregar selaku Direktur Operasional Ritel PT Askrindo periode Oktober 2017–Maret 2021, Direktur Sumber Daya Manusia dan Umum PT Askrindo periode tahun 2016–2020 Firman Berahima, Dirut PT AMU periode 2012 sampai dengan 2018 I Nyoman Sulendra, Direktur Utama PT AMU periode Juni 2019–April 2021 Frederick CV Tassyam, Dirut PT AMU periode Juni 2018–Desember 2018 Dwikora Harjo, telah merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

Atas perbuatan tersebut JPU Kejari Jakpus mendakwa Anton Fadjar Alogo Siregar dan Wahyu Wisambada melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

2931