Home Nasional Alih Kendali Kudeta 1 Oktober 1965, Aidit, Soekarno, Akhirnya Soeharto, Mendapat Wahyu Cakraningrat

Alih Kendali Kudeta 1 Oktober 1965, Aidit, Soekarno, Akhirnya Soeharto, Mendapat Wahyu Cakraningrat

Jakarta, Gatra.com- Victor M. Fic menggambarkan kudeta 1 Oktober 1965 meniru babak wayang kulit yang dia beri lakon Kolomongso (pada suatu ketika). Fic memulai cerita dengan adegan ketika Presiden Soekarno berpindah dari Pusat Komando Halim ke rumah Komodor Susanto. Soekarno mengundang makan siang panglima empat angkatan dan Wakil Perdana Menteri (Waperdam).

Soekarno memerintahkan Komisaris Polisi Sumirat memanggil Men/Pangal Laksamana Madya RE Martadinata, Men/Pangak Inspektur Jenderal Polisi Sutjipto Judodihardjo, Jaksa Agung Brigjen Sutardjo, dan Mayjen Umar Wirahadikhusumah, komandan Garnisun Jakarta. Pesawat Kepresidenan dikirim ke Medan untuk menjemput Waperdam I Dr. Subandrio.

Waperdam II, Dr. Johannes Leimena tiba pukul 12.00 dengan helikopter kepresidenan Sikorsky. RE Martadinata tiba pukul 13.00 dengan helikopter. Sutjipto Judodihardjo tiba pukul 13.00 dengan helikopter. Jenderal Umar menolak hadir dengan alasan harus seizin Soeharto. Subandrio yang tengah bersama Njoto di Sumatera juga absen.

Soekarno meninggalkan Pusat Komando Halim bersama Omar Dhani, Brigjen Sabur dan lain-lain, pukul 11.30. Di rumah Susanto, Presiden Soekarno menunjukkan kelasnya. Benar-benar presiden yang ideal. Presiden melakukan manuver dari kamar ke kamar untuk berkonsultasi. Omar Dhani dipanggil beberapa kali. Suasana mengharu biru karena merupakan bauran dari beberapa anggota Kabinet Dwikora yang baru saja dibubarkan Letkol Untung.

Setelah berdiskusi dengan mpaiawai dan memainkan tempo, Presiden memerintahkan Omar Dhani memanggil Brigjen Supardjo untuk jembatan negosiasi dengan Aidit. Presiden berkali-kali memanggil Brigjen Soepardjo untuk menjadi kurir negosiasi dengan Aidit. Pardjo harus mondar-mandir dari rumah Susanto ke CENKO II, temapat otak kudeta Aidit dan kawan-kawan bermarkas. Jarak kedua rumah hanya beberapa ratus meter.

Presiden menerima Dewan Revolusi dengan menyodorkan para menterinya untuk masuk di dalamnya. Bahkan dia menyodokkan posisinya dalam Dewan Revolusi. Presiden Soekarno di atas angin.

Brigjen Supardjo kembali ke CENKO II membawa pesan dari presiden untuk Aidit, pukul 13.00. Namun, Aidit tetap kukuh dengan pilihan, jalan tanpa Soekarno! Meskipun dia merevisi susunan Dewan Revolusi dengan memasukkan beberapa anggota Kabinet Dwikora, dia tidak memasukkan Soekarno! Sebuah langkah yang fatal dan blunder. Otokritik Brigjen Soepardjo mengatakan bukannya merangkul Soekarno dengan mengakui sebagai Kepala Negara dan kemudian memensiunkannya, Aidit memilih melibasnya sekaligus.

Aidit meniru Mao yang tidak ingin presiden menghalangi demokrasi rakyat yang tengah diusungnya. Maka ketika mengumumkan Dekrit No. 1, Dewan Revolusi pukul 14.00, ditegaskan kembali bahwa kabinet Dwikora telah dibubarkan dan Dewan Revolusi memegang kekuasaan tertinggi negara. Disusul dengan Keputusan No. 1 Dewan Revolusi yang diteken Letkol Untung, diumumkan pada pukul 15.00, dimana nama Soekarno tidak tercantum. Aidit terang-terangan mendepak Soekarno sebagai Kepala Negara.

Soekarno ngamuk mendengar pengumuman Keputusan No. 1 Dewan Revolusi. Soekarno memanggil Soepardjo yang datang pukul 15.30. Terjadi pembicaraan empat mata yang sangat pribadi. Isinya diduga memerintahkan Supardjo menghentikan semua kegiatan G30S. Presiden kemudian memberikan perintah harian. Soekarno menegaskan, dia dalam keadaan sehat wal 'afiat. Tetap memegang Pimpinan Negara dan Revolusi. Bahwa Pimpinan Angkatan Darat sementara berada langsung di tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI. Menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamudro menjalankan tugas sehari-hari di Angkatan Darat.

Mulai pukul 16.00, kendali bukan lagi di tangan Aidit. Soekarno menegaskan dia pemilik kekuasaan tertinggi, bukan Dewan Revolusi. Presiden di atas angin, Wahyu Cakraningrat kembali bersemayam. Dia presiden pun mulai banyak tersenyum.

Masalah belum selesai, penunjukkan Pranoto Reksosamudro menjadikan Soekarno harus berhadapan dengan Soeharto. Karena Soeharto telah mengutus Kolonel Tjokropranolo untuk melapor pada presideb bahwa dirinya sementara memegang komando Angkatan Darat atas perintah Menko Hankam/KASAB Jenderal Nasution. Tjokropranolo menyampaikan itu di hadapan presiden dan kabinet-kabinetnya. Presiden mengatakan, tunggu dulu, sambil mengisyaratkan dia telah menunjuk Pranoto Reksosamudro.

Dengan demikian Soeharto terpaksa dalam posisi berhadap-hadapan dengan Soekarno dan kawan-kawan. Karena selain Soekarno, di belakang Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker AD ada Aidit dan Supardjo. Namun mengingat penunjukkan Pranoto tanpa konsultasi dengan Menko Hankam/KASAB Jenderal Nasution yang masih hidup, maka secara hukum kabur.

Bambang Widjarnarko, ajudan presiden Soekarno, memberitahu Soeharto tentang penunjukkan Pranoto dan memerintahkan Pranoto melapor saat itu juga. "Di mana Bapak sekarang?" tanya Soeharto. Ketika dijawab di Halim, Soeharto tegas mengatakan Pranoto tidak bisa datang. "Untuk sementara saya memegang pimpinan Angkatan Darat, dan itu sebabnya semua instruksi harus lewat saya. Bambang usahakan agar Bapak meninggalkan Halim," katanya.

Soeharto kemudian mengirim pesan ke Brigjen Sabur yang bersama presiden di rumah Susanto untuk membawa Presiden segera keluar dari Halim dan memindahkannya ke Bogor. Soeharto menegaskan pihaknya kan segera mengobrak-abrik pasukan Untung.

Sekitar pukul 20.00, Widjanarko melaporkan ke Presiden pesan dari Soeharto. Widjanarko juga melapor di tengah perjalanan ke Halim, dia melihat pasukan berbadge kuning yang meblokir jalan-jalan dan bergerak ke Halim. Beberapa wilayah di Halim sudah diduduki pasukan serupa. Widjanarko tidak tahu itu pasukan Supardjo yang ditarik mundur dari Istana ke Halim untuk melindungi Presiden.

Pukul 20.00, Aidit Cs menyimpulkan G30S telah gagal. Aidit pun kabur ke Jogjakarta. Soekarno keluar dari Halim menuju Istana Bogor. Supardjo dalam perlindungan Soekarno dari para pengejarnya, tinggal di paviliun di Istana Bogor.

Maka sejak pukul 20.00, terjadi alih kendali dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto. Wahyu Cakraningrat oncat dan bersemayam pada Jenderal Soeharto. Selama 32 tahun.

1601