Home Ekonomi Kolaborasi Dorong Efisiensi Teknologi Tenaga Surya demi Capai Target NZE 2060

Kolaborasi Dorong Efisiensi Teknologi Tenaga Surya demi Capai Target NZE 2060

Jakarta, Gatra.com – Ratusan panel surya tersusun rapi di atap satu gedung berwarna putih. Bangunan itu merupakan bagian dari pabrik PT Kebon Agung di Kabupaten Malang, Jawa Timur (Jatim). Pabrik gula berkapasitas terbesar di Pulau Jawa tersebut memang berkomitmen untuk mendukung perluasan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di lokasi kerja unit produksinya Pabrik Gula (PG) Kebon Agung.

Beberapa waktu lalu, PG Kebon Agung memanfaatkan ampas tebu untuk Pembangkit Listrik Tenaga Biomass (PLTBm) yang dikonversi menjadi energi listrik berkapasitas 12,5 Mwp. Terbaru, mereka meningkatkan penggunaan EBT menjadi sebesar 95% melalui instalasi sistem PLTS berkapasitas 1 MWp yang berperan menjadi salah satu bauran energi terbarukan sebesar 3% dari total kebutuhan energi listrik PG Kebon Agung.

Baca Juga: Masih Mendominasi Bauran Energi Nasional, CERI Sebut BLU Batu Bara Penting

“Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan di PG Kebon Agung merupakan bagian dari penerapan visi PT Kebon Agung, yaitu menjalankan aktivitas bisnis berwawasan lingkungan,” ucap Direktur Utama PT Kebon Agung, Didid Taurisianto pada pertengahan September silam.

SUN Energy dipercaya menjadi pengembang sistem PLTS Atap di PG Kebon Agung ini.

“Secara umum, kami berharap PLTS ini dapat menjadi referensi bagi industri gula lainnya, agar dapat memulai langkah hijau dengan memanfaatkan energi terbarukan. Secara khusus, kami juga mengharapkan portofolio ini dapat mengajak para pelaku industri lain di Malang untuk memanfaatkan energi surya yang mampu meningkatkan optimasi biaya operasional,” ungkap Chief of Sales SUN Energy, Oky Gunawan.

Baca Juga: Perpres Percepatan EBT, Pemerintah Bidik Tiga Jenis Investasi

Tenaga surya boleh jadi merupakan salah satu sumber energi yang telah cukup lama disuarakan pemerintah dan dikenal masyarakat. Pemanfaatan energi surya dengan menggunakan teknologi solar photovoltaic (PV) atau sel surya makin marak dalam satu dekade terakhir.

Pada awal 2022, Kementerian ESDM menerbitkan aturan baru penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap, yakni Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap.

“Dengan ketentuan ini, pelanggan atau pengguna PLTS atap bisa mengekspor atau menjual 100% produksi listriknya ke PLN. Ekspor listrik tersebut pada gilirannya akan digunakan dalam perhitungan energi listrik pelanggan pengguna PLTS atap dan bisa mengurangi tagihan listrik pelanggan,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana

Penggunaan fotovoltaik (teknologi pengubahan energi dari sinar matahari menjadi energi listrik secara langsung) yang dipasang di atas atap maupun di bawah tanah memang makin meningkat secara global, termasuk di Indonesia. Terlebih, potensi energi matahari di Indonesia berkisar 4,8 kWh per meter persegi hari.

Sistem pembangkit listrik tenaga surya ada dua, yakni on grid (terhubung jala pakai modul surya dan inverter) dan off grid (tak terhubung jala).

Teknologi yang ada saat ini bukannya tidak memungkinkan penggunaan energi surya secara utuh atau menggunakan mekanisme off-grid. Sayang, tingginya harga baterai untuk menyimpan daya menjadi kendala utama. Karena itu, menurut sejumlah pebisnis PLTS, sistem on-grid masih menjadi pilihan utama dengan tujuan dapat mengurangi sebagian pemakaian PLN.

Baca Juga: Dubes Norwegia: Potensi EBT Indonesia Besar, Namun Tak Didukung Aturan

PLTS di Indonesia rata-rata bekerja selama empat jam per hari, tepatnya dari pukul 10.00 pagi hingga pukul 02.00 siang. Itu pun dalam asumsi matahari bersinar cerah. Akibat ketiadaan baterai untuk menyimpan dan mencadangkan daya, sistem on-grid sangat dibutuhkan untuk penggunaan 24 jam.

Data dari Kementerian Perindustrian menyebutkan kalau potensi bahan baku untuk baterai ini sesungguhnya cukup besar. Indonesia punya banyak pegunungan yang kaya batu silika. Sayangnya, industri dalam negeri untuk mengembangkan baterai tersebut masih belum berkembang. Padahal, poin penting PLTS adalah baterai. Fakta di lapangan menunjukkan banyak PLTS yang dibangun lantas tak bisa dipakai dalam jangka waktu lama karena baterainya keburu rusak.

Senada dengan itu, studi kelayakan Balai Besar Teknologi Konversi Energi-Badan Riset Inovasi Nasional (B2TKE-BRIN) menyebut Indonesia sangat layak bangun industri panel surya karena sinar matahari stabil dan kaya daerah pegunungan sumber pasir silika sebagai bahan dasar lempengan untuk pembangkit ini.

Namun, pasir silika sebagai bahan baku utama industri ini masih diperdagangkan mentah. Padahal, pasir silika biasa laku US$30 per ton dan melonjak menjadi US$60 per kilogram jika diolah menjadi solar sel.

Baca Juga: Mengejar Target Energi Bersih, Analis Sarankan Ini ke Pemerintah

“Pengembangan energi terbarukan tentu tidak lepas dari teknologi terbarukan yang digunakan, Apabila kita melihat dari sisi harga, energi terbarukan yang semakin murah harganya di antaranya adalah surya dan angin, meskipun saat ini mengalami kenaikan karena naiknya harga material,” ungkap Deden dalam jawaban tertulis kepada Gatra.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 1.740 MW dengan kenaikan rata-rata sebesar 4,3% per tahun. Capaian penambahan kapasitas PLT EBT pada 2021 adalah sebesar 679,2 MW, dimana PLTS mencapai 31,8 MW. Untuk itu, total kapasitas terpasang PLT EBT pada akhir 2021 adalah sebesar 11.531 MW dan realisasi per Mei 2022 sebesar 11.597 MW.

Semua capaian ini jelas tujuan utamanya dalam memenuhi target Bebas Emisi Karbon pada tahun 2060 mendatang.

Pada sisi menggenjot pengembangan EBTKE dengan target sebesar 23% di 2025, tentu memerlukan dorongan dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya BRIN selaku organisasi riset nasional.

“Penguasaan teknologi energi terbarukan menjadi kunci penting dalam pengembangan EBT di Indonesia. Diharapkan para peneliti dan periset sosial dapat memberikan dukungan berupa desain transisi energi yang dapat menciptakan masyarakat adil dan makmur yang mengedepankan peningkatan produktivitas dan nilai tambah,” harap Deden.

167