Home Kesehatan Keluarga Korban Kasus Gagal Ginjal Anak Ajukan Class Action

Keluarga Korban Kasus Gagal Ginjal Anak Ajukan Class Action

Jakarta, Gatra.com - Sejumlah 195 anak meninggal dunia akibat kasus gagal ginjal akut hingga awal November 2022. Cemaran zat beracun etilen glikol (EG) dan dietilen Glikol (DEG) dalam obat sirup diduga kuat menjadi penyebab kasus ini. Salah seorang ibu korban, Safitri, mengungkapkan kekecewaan atas penanganan kasus gagal ginjal akut oleh pemerintah.

"Saya menyayangkan kenapa tidak ada awareness. Ada kasus baru, belum diketahui penyebabnya, tapi setidaknya pasien anak punya satu benang merah sama, yaitu demam dan tidak bisa buang air kecil. Harusnya sudah seperti sign, (pola) sama, kenapa tidak ada awareness dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) untuk para orang tua. Kita sama sekali clueless," katanya dalam acara Media Briefing Korban Gagal Ginjal Akut Menggugat (Class Action) di Jakarta, Jumat (18/11).

Safitri mengatakan bahwa bagaimana mungkin bisa ada zat pencemar berlebihan dalam obat. Obat yang harusnya menyembuhkan penyakit, justru malah membawa racun ke dalam tubuh anak.

"Gimana kalau suatu saat diharuskan mengonsumsi obat, tapi distrust. Tidak semua penyakit bisa (sembuh) pakai jamu, alternatif. Perlu diingat racunnya diminumkan ibunya masing-masing, gimana kami sembuh dari hal itu? Ini adalah sesuatu yang akan kami bawa seumur hidup," katanya.

Hal ini membawanya dan 11 keluarga korban lain untuk memberi tuntutan class action kepada pihak terkait. Sikap ini diambil untuk menuntut tanggung jawab dari seluruh pihak yang membuat sistem pengawasan tidak berjalan dengan semestinya.

Safitri menyebutkan bahwa kelalaian pengawasan ini merupakan hal yang harus dibenahi ke depannya. Pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah memiliki kebijakan dan sistem yang menjamin proses pembuatan obat di industri farmasi. Sistem pengamanan terhadap masuknya zat berbahaya dalam industri farmasi juga telah dilakukan sedemikian rupa. Seharusnya, sistem ini mampu mencegah terjadinya kasus. Namun kelalaian dalam sistem pengawasan menjadikan obat berbahaya justru beredar di masyarakat dan menjadikan anak-anak sebagai korbannya.

Safitri menilai bahwa permintaan pertanggung jawaban terhadap pihak terkait mungkin tidak akan berjalan mulus. Namun, ia akan tetap mengusahakannya agar perbaikan sistem dilakukan dan penjaminan keamanan obat atau makanan konsumsi bisa benar-benar terjaga

"Tuntutan mungkin terdengar utopis, tapi kami usahakan karena ada ratusan nyawa anak yang masih berkelanjutan. Kalau ada zat pencemar berlebihan, kok bisa lalai dalam pengawasan? Senyawa yang melebihi ambang batas ini adalah pertanyaan besar, kenapa bisa ada dan kenapa bisa luput sehingga lulus izin edar?" ucapnya.

BPOM sebagai satu satunya pengawas obat dan makanan dinilai gagal dalam menjalankan tugasnya karena tidak mengenali dari awal potensi tercemarnya dan potensi pemalsuan bahan obat sirup (propiler glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol) dengan zat beracun EG dan DEG. Kegagalan BPOM dalam menjalankan tugasnya untuk mencegah masuknya zat berbahaya yang digunakan secara berlebihan dan tidak sesuai standar mengakibatkan meninggalnya manusia.

Selain itu, ia juga menilai bahwa BPOM telah gagal dalam menjalankan tugasnya dalam memastikan industri farmasi di Indonesia melaksanakan pedoman cara pembuatan obat yang baik. Tercemarnya obat sirup dengan zat berbahaya EG dan DEG dengan kandungan yang sangat tinggi membuktikan bahwa sistem pengawasan industri farmasi sangatlah rapuh.

"Ini sudah menjadi derita orang tua korban, menyalahkan diri sendiri, kenapa kasih obat itu? Apapun risikonya, saya pribadi dan sebagian orang tua pasien berharap ada perubahan. Karena yang kita hadapi adalah lembaga yang abai tapi merasa sudah mengerjakan tugasnya. Kemana lagi kami harus minta keadilan kalau semua saling pingpong satu dengan lainnya? Bukan tidak mungkin suatu hari nanti akan terjadi hal serupa," paparnya.

Safitri menuntut perbaikan sistem pengawasan obat secara meyeluruh dilakukan dengan seluruh pihak terkait. Bila tidak dibenahi, bukan tidak mungkin peristiwa yang sama terjadi lagi. Maka, diperlukan perubahan yang menyeluruh demi terjadinya evaluasi dan mencegah hal yang sama terulang kembali.

 

159