Home Nasional Partai Buruh Minta Pemerintah Kaji Perpu Cipta Kerja Terkait Upah Minimum

Partai Buruh Minta Pemerintah Kaji Perpu Cipta Kerja Terkait Upah Minimum

Jakarta, Gatra.com - Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Cipta Kerja resmi dikeluarkan oleh pemerintah pada Jumat (30/12) lalu. 

Ketua Partai Buruh, Iqbal Said, menjelaskan pasal terkait upah minimum menjadi yang ditolak oleh buruh.

"Setelah mempelajari dan mengkaji salinan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 yang beredar di media sosial, dan kami sudah menyandingkan dengan UU Cipta Kerja serta UU Nomor 13 Tahun 2003, kami menyatakan tidak setuju dengan isinya," ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Minggu (1/1).

Baca Juga: Partai Buruh: Terima Format Perpu Cipta Kerja, tapi Tolak Isinya

Ia menerangkan bahwa terkait dengan pasal tentang upah minimum, terdapat istilah "dapat ditetapkan oleh Gubernur" di dalam Perpu. 

Menurutnya, itu sama dengan yang ada dalam UU Cipta Kerja. Bahasa hukum “dapat”, berarti bisa ada bisa tidak, tergantung Gubernur. 

Ia menyebutkan bahwa usulan buruh adalah, diksi "dapat" dihilangkan sehingga bunyinya menjadi "Gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota".

Hal lain di dalam UU Cipta Kerja, upah minimum ditentukan berdasarkan "kenaikannya inflansi atau pertumbuhan ekonomi". Menggunakan bahasa “atau”, berarti dipilih salah satunya. Padahal, di aturan sebelumnya yakni UU Nomor 13 Tahun 2003, penetapan upah minimum didasarkan pada survei kebutuhan hidup layak. Pada aturan turunan lainnya yakni PP Nomor 78 Tahun 2015, menggunakan "inflansi dan pertumbuhan ekonomi".

Sementara di dalam Perpu, "berdasarkan variabel inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu". 

Baca Juga: Perppu Cipta Kerja Diapresiasi Ekonom Namun Dikritik Pakar Hukum

Iqbal menyebutkan bahwa poin ini yang ditolak buruh. Sebab, dalam hukum ketenagakerjaan, tidak pernah dikenal indeks tertentu dalam menentukan upah minimum.

“Kami menduga indeks tertentu seperti di dalam Permenaker 18/2022, menggunakan indeks 0,1 sampai 0,3. Partai buruh menginginkan tidak perlu indeks tertentu,” kata Iqbal.

Masih terkait upah minimum, ia mengatakan bahwa formula penghitungan yang tidak pasti menjadi ancaman bagi buruh. Ini bisa membawa kesewenang-wenangan yang tidak diharapkan terjadi.

“Dalam pasal lain yang kami tolak di Perpu adalah adanya Pasal 88F yang berbunyi, dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). Buruh berpendapat, ini seperti memberikan mandat kosong kepada pemerintah. Sehingga bisa seenaknya mengubah-ubah aturan,” lanjutnya.

Permasalahan lain terkait dengan pengupahan, Iqbal menerangkan bahwa Perpu juga menegaskan hilangnya upah minimum sektoral. Ia meminta pemerintah mengkaji kembali pasal-pasal ini.

347