Home Ekonomi Respons Kemnaker Sikapi Polemik Tenaga Outsourcing di Perppu Cipta Kerja

Respons Kemnaker Sikapi Polemik Tenaga Outsourcing di Perppu Cipta Kerja

Jakarta, Gatra.com - Sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja masih santer diperdebatkan. Salah satunya, Pasal 64 yang diubah dari UU Cipta Kerja terkait pengaturan penggunaan tenaga alih daya atau outsourcing.

Pengusaha mendesak pemerintah agar aturan penggunaan tenaga outsourcing kembali pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja di mana tidak ada pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Di sisi lain, kalangan buruh ingin outsourcing dibatasi pada lima pekerjaan tertentu seperti dalam aturan UU Nomor 13 tahun 2003.

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri mengatakan bahwa aturan alih daya tidak akan dikembalikan pada UU Nomor 13 Tahun 2003, maupun UU Cipta Kerja (UUCK). 

Baca Juga: Menaker: Perpu Ciptaker Lindungi Pekerja dalam Menghadapi Dinamika Ketenagakerjaan

Ihwal ketentuan outsourcing, Putri menyebut akan dilakukan melalui revisi PP Nomor 35 Tahun 2021.

Diketahui, aturan tersebut termaktub dalam ayat (2) pasal 64 Perppu Cipta Kerja menyebutkan pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan (alih daya) sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Kemudian pada ayat (3) pasal 64 tertulis bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

"PP Nomor 35 tahun 2021 itu kan turunan UUCK. Nah itu ada membahas outsourcing itu akan kami ubah. Jadi kami dalam proses merevisi PP 35 tersebut," ujar Putri dalam konferensi pers sosialisasi Perppu Cipta Kerja secara virtual, Jumat (6/1).

Pemerintah menyebut, perubahan pasal 64 dalam Perppu Cipta Kerja telah mengakomodir kepentingan pekerja. Musababnya, tidak adanya batasan outsourcing pada UU Cipta Kerja, kata Putri, berpotensi membuat pengusaha hanya terus menggunakan tenaga outsourcing di semua jenis pekerjaan dalam proses produksi, alih-alih menetapkan pekerja sebagai pegawai tetap.

"Dalam Perppu ini kami sudah mulai batasi. Nanti aturan lebih lanjut ada dalam revisi PP 35," ucapnya.

Baca Juga: Penyusunan UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan Libatkan Partisipasi Publik

Putri menjelaskan, pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan tenaga outsourcing penting untuk memberikan peluang yang luas bagi pekerja untuk bisa menjadi pekerja tetap (PKWTT). Jaminan status pekerja tetap dinilai dapat memberikan ketenangan bekerja sehingga meningkatkan produktivitas usaha.

Di sisi lain, menurut pemerintah pembatasan pelaksanaan pekerjaan oleh alih daya, juga tidak akan mengurangi upaya perusahaan untuk tetap mengembangkan usahanya.

"Jadi saya mau menggarisbawahi bahwa isu mengenai alih daya yang katanya akan dibuka seluas-luasnya, itu tidak juga benar. Nanti kami tetap akan atur dalam revisi PP 35," imbuhnya.

Baca Juga: Tandatangani Kerjasama, Kemnaker Buka Peluang Pemagangan di Korea

Sebelumnya, anggota Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Susanto Haryono, mengaku bahwa penggunaan tenaga outsourcing oleh pengusaha bukan semata-mata untuk mencari pekerja murah. Mereka mengklaim penggunaan tenaga outsourcing untuk mencari pekerja terampil.

"Ini pesan utama, karena yang kita hadapi saat ini mencari pekerja terampil, yang buat perusahaan tetap bisa berkelanjutan dan tetap efisien dalam menjalankannya," ujar Susanto dalam konferensi pers Apindo, Selasa (3/1).

Menurutnya, pembatasan terkait tenaga alih daya di era revolusi industri 4.0 sudah tidak relevan. Susanto menyebut saat ini banyak pekerjaan baru semakin tumbuh berkembang dan kebutuhan akan pekerja terampil semakin meningkat. 

Apindo menilai bahwa bisnis outsourcing justru berperan penting dalam membuka lahan pekerjaan baru, khususnya di tengah terjadinya perubahan kebutuhan keterampilan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0.

Bahkan, ia menyebut berdasarkan data Future of Jobs Reports 2018, menunjukkan bahwa 65% perusahaan memilih meng-outsource fungsi atau pekerjaannya kepada perusahaan lain di tengah terjadinya shifting skill needs.

"Kami usul kalau ada pembatasan jangan sampai itu kontraproduktif terhadap semangat dari kita, yang siap masuki era revolusi industri 4.0," ujarnya.

214