Home Lingkungan Banjir Kendeng, Masyarakat Surati Jokowi Tagih Tanggung Jawab KLHS

Banjir Kendeng, Masyarakat Surati Jokowi Tagih Tanggung Jawab KLHS

Jakarta, Gatra.com – ‎Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) melayangkan surat kepada Kantor Staf Presiden (KSP) soal banjir bandang yang melanda wilayah Pati. Surat tersebut juga untuk meminta tanggung jawab KLHS Pegunungan Kendeng.

‎Gunretno, perwakilan dari JM-PPK melalui keterangan pers diterima pada Rabu (18/1), mengatakan, pihaknya juga meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan pemerintah daerah untuk duduk bersama merevisi tata ruang Pegunungan Kendeng untuk mengatasi banjir dan banjir bandang di wilayah Pati, Jawa Tengah (Jateng).

“JM-PPK berkirim surat mengingatkan kepada KSP untuk memberikan informasi detail terkait dampak banjir di wilayah Pegunungan Kendeng,” katanya.

Baca Juga: Banjir Bandang 2 Meter Terjang Lereng Pegunungan Kendeng Pati, Satu Warga Tewas

Dalam surat tersebut, lanjut Gunretno, pihaknya juga menyampaikan upaya konkret, utamanya untuk meninjau kembali pembangunan di wilayah Pati berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng dan meninjau ulang Perda RTRW Pati.

“Beberapa lahan pertanian menggantungkan airnya dari Pegunungan Kendeng.‎ Para petani di Kendeng, telah memajukan masa tanamnya agar sebelum Desember bisa panen. Upaya tersebut dilakukan agar ketika banjir terjadi, petani punya cadangan pangan,” ujarnya. 

Menurutnya, kekhawatiran akan ancaman banjir dan banjir bandang itu terus terjadi. Perlu dilakukan rehabilitasi dan penghijauan kembali di kawasan Pegunungan Kendang. 

“Pertambangan malah memperparah kondisi banjir. Padahal warga telah lama menolak adanya pabrik semen,” katanya.

Gunretno menyampaikan, warga meminta kepada pemerintah pusat dan daerah untuk duduk bersama membicarakan solusi atas peristiwa banjir ini, termasuk pelibatan dalam pembuatan tata ruang agar direvisi Perda-nya. 

“Orang yang tahu lapangan akan memberikan masukan sebagaimana peta tata ruang itu,” katanya.

‎Ia menjelaskan, JM-PPK melayangkan surat kepada KSP merespons terjadinya beberapa kali banjir, termasuk banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah Pati, setidaknya dalam 3 bulan terakhir, yakni November 2022 sampai dengan Januari 2023. 

Dampak banjir, lanjut Gunretno, sampai dengan saat ini masih menjadi pukulan mendalam bagi masyarakat terdampak, khususnya petani. Selain berdampak terhadap rumah dan hewan ternak, juga mengancam terjadinya gagal panen akibat lahan terendam banjir. Krisis pangan dan kesengsaraan pun masih menghantui petani. 

Gunretno mengatakan, isi surat JM-PPK kepada KSP yang dilayangkan pada Selasa kemarin (17/1), yakni menyampaikan bahwa kejadian bencana banjir di akhir 2022 lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya bukan tanpa sebab. 

Sejak tahun 2010, pertambangan di wilayah Pegunungan Kendeng terjadi secara masif dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penyebabnya, adalah karst sebagai sebuah ekosistem ditambang secara masif sehingga menjadi tidak maksimal resapannya dan berdampak terhadap banjir yang semakin tinggi. 

Gunretno dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) menunjukkan surat yang dilayangkan kepada Presiden Jokowi melalui KSP. (GATRA/Ist)

“Tambang-tambang yang hadir di Pati bukan hanya dilakukan oleh korporasi besar tapi juga kecil dan baik yang berizin maupun tidak,” katanya.

Selain itu, alih fungsi lahan juga terjadi secara besar-besaran sehingga berpengaruh terhadap daerah resapan. Akibatnya, ketika hujan maka banjir tak berkesudahan dan ketika musim kemarau ancaman kekeringan juga terus membayangi masyarakat sekitar, khususnya petani.

Banjir, penggundulan hutan, dan alih fungsi lahan yang terjadi saat ini akan semakin parah dengan adanya Perda RTRW Pati yang disahkan pada April 2021. Penetapan semua kecamatan sebagai kawasan tambang adalah yang paling parah, termasuk pemerintah yang tidak lagi mempercayai hasil-hasil kajian ilmiah. 

Sebagai contohnya, kata Gunretno, Tambakromo yang ditetapkan sebagai kawasan peruntukan industri. Padahal, dalam dokumen KLHS Pati, Tambakromo menjadi kawasan dengan kerawanan bencana yang tinggi.

Adapun yang perlu diperhatikan lagi, pada 2017 keluar KLHS Pegunungan Kendeng oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sudah jelas menggambarkan ancaman krisis lingkungan jika tambang terus berjalan. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) amanat presiden ini juga secara jelas menjelaskan bahwa ketika bencana akibat tambang melanda maka kerugian bukan hanya alam, namun taksiran secara ekonomi kepada masyarakat terdampak juga tidak sedikit.

Memeng Melva Harahap dari Walhi Nasional menyampaikan, buruknya tata kelola tata ruang di Jawa Tengah, masifnya negara memporak-porandakan dengan regulasi yang tidak punya prespektif lingkungan, negara juga tidak memperlihatkan peran-peran dari perempuan Kendeng.

“Kearifan lokal yang mereka miliki dalam menjaga alam, pengelolaan sumber daya alam tidak punya perspektif lingkungan dan bencana. Harus melibatkan sedulur-sedulur Kendeng dalam aspek lingkungannya,” katanya.

Memeng menambahkan, sesuai Pasal 33 UUD bahwa kekayaan alam, bumi, dan air dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Harusnya, dengan mandat tersebut negara lebih berpihak kepada rakyat, jangan hanya demi segelintir kepentingan yang jelas-jelas merusak alam dan ruang hidup penghidupan.

“Jangan malah sebaliknya dengan gagal tata kelola lingkungan hidup, banjir, longsor silakan dinikmati oleh rakyat, dan untuk tahap pencegahan dan tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi juga memperhatikan pemulihan lingkungan hidup yang rusak akibat pengrusakan daerah pengunungan Kendang atau kawasan serapan air,” ujarnya.

Petrasa Wacana dari Indonesian Speleological Society (ISS) menambahkan, berdasarkan data sementara BPBD Kabupaten Pati pada 2023, sebanyak 4.559 rumah terdampak banjir. Bukan hanya itu, banjir juga menimbulkan kerugian di sektor pertanian, yakni persawahan seluas 3.807 hektare di 7 kecamatan terendam air.

Baca Juga: Banjir Bandang 2 Meter di Kabupaten Pati, Eksploitasi Gunung Kendeng Jadi Pemicu

Ia mengungkapkan, kalau dihitung berdasarkan nilai produktivitas berdasarkan data BPS pada November 2022, menunjukkan harga gabah (GKP) rata-rata di petani Rp5.397 per Kg. Setiap hektare lahan pertanian sawah produktif dapat menghasilkan 3–6 ton per hektare. Dengan asumsi rata-rata per hektare 4 ton atau 4.000 kg, maka total kerugian yang ditimbulkan pada sektor pertanian Rp123.278.274.00 atau Rp123,2 miliar.

Bukan hanya itu, banjir juga memutus roda perekonomian masyarakat akibat terputusnya jalur-jalur distribusi dan pasar, terganggunya pelayanan publik, serta tidak berfungsinya sarana dan prasarana publik.

“Terganggunya aktivitas pendidikan dan masyarakat harus mewaspadai kemungkinan banjir susulan selama musim hujan,” katanya.

2902