Home Nasional Satu Abad NU, LP3ES: Perlu Lompatan ke Khitah Kedua

Satu Abad NU, LP3ES: Perlu Lompatan ke Khitah Kedua

Jakarta, Gatra.com – Ketua Dewan Pengurus LP3ES, Abdul Hamid, mengatakan, Nahdlatul Ulama (NU) perlu melakukan lompatan jauh ke depan dan melakukan gerakan kembali ke khitah kedua pada usiannya satu abad.

Menurut pria yang akrab disapa Gus Hamid ini, jika pada khitah pertama adalah menarik NU dari jambangan politik dan kini perjuangan tersebut sudah diwakili PKB, pada khitah kedua adalah untuk mendigdayakan NU sebagai gerakan pemikiran dan ekonomi.

“Sebagaimana visi Taswirul Afkar dan Nahdlatut-Tujjar yang merupakan embrio dan energi inti berdirinya NU, dan inilah tuntutan peran masa depan NU,” katanya.

Baca Juga: Satu Abad NU, Nahdliyin Siap Berkarya untuk Nusa dan Bangsa

Kini, lanjut Gus Hamid, usia NU telah genap satu abad, menyusul usia saudara-saudara tuanya, Jam'iyatul Khair (1901), Perserikatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912), Sarikat Islam (1912), Al-Irsyad (1914), Mathlaul Anwar (1916), Persatuan Islam, dan beberapa lainnya.

Menurut dia, dalam perjalanan panjang itu, meskipun berdiri agak belakangan, NU tumbuh menjadi organisasi terbesar bersama Muhammadiyah. Ada unsur dinamik dan “kekekalan” di dalam NU yang memungkinkan organisasi kaum sarungan ini berhasil tumbuh sedemikian rupa dan memiliki pengikut paling besar.

Ia menjelaskan, apa saja yang telah dihikmadkan NU kepada umat dan bangsa, mungkin sulit dirinci secara detail. Ini bukan karena tidak ada catatan sejarahnya, tetapi keterlibatannya dalam perjuangan membentuk, mendirikan, dan menegakkan kemerdekaam, telah cukup menjadi bukti bahwa terhadap Indonesia, NU telah mempersembahkan dedikasinya yang luar biasa.

Unsur dinamik itu adalah pesantren, namun bukan hanya dalam pengertian institusionalnya, melainkan lebih signifikan lagi pada pengertian kukturalnya. “Dalam pengertian inilah unsur 'kekekalan' itu saya maksudkan,” ujarnya.

Bahwa untuk menjadi NU, sesorang tidak harus mendaftar, atau pernah belajar di sebuah pesantren. Dengan pernah nyantri, maka akan masuk dan menjadi bagian-dalam dunia pesantren. Namun dunia pesantren juga memiliki mekanisme dan institusi sosial-keagamaan yang dikembangkannya sedemikian rupa dengan cara kreatif dalam membangun afinitas teoritis antara doktrin dengan tradisi.

Hasilnya, lanjut Gus Hamid, memang luar biasa, setidaknya secara sosiologis bahwa bangunan tradisi itu kemudian memiliki hubungan subtil dengan syariat, sehingga pemenuhan tradisi seakan sekaligus pemenuhan syariat, ataupun sebaliknya.

Dengan demikian, masyarakat menjadi tidak lagi merasa ada hambatan syar'i ketika hendak, misalnya, melakukan pemenuhan tardisi selamatan, ziarah kubur, dan lain sebagainya.

“Inilah yang memungkinkan masyarakat dengan mudah, bahkan seringkali tanpa disadari, tiba-tiba dalam dirinya memiliki penghayatan sebagai warga NU, tanpa pernah nyantri atau menjadi anggota resmi NU,” ujarnya.

Menurut Gus Hamid, dengan demikian, seseorang pada derajat dan level evolusi keagamaan apapun, seperti kelompok masyarakat abangan misalnya, dapat terserap ke dalamnya NU secara nyaman. Pun pula kelompok masyarakat yang sekalipun tampak modern namun pandangan dunianya (weltanchauung) masih kental dengan visi adat-istiadat, sangat mungkin juga merasa lebih hangat.

“Dengan demikian, NU adalah rumah terbuka, hampir tanpa dinding dan pilar utamanya adalah pesantren,” katanya.

Kini, dalam usianya satu abad, pilar NU adalah pesantren yang sejak dekade 1970-an juga telah berkembang dalam wajahnya yang makin kompleks, tidak lagi monolit, yakni wajah salaf. Pesantren kholaf (modern) tumbuh di mana-mana dengan berbagai wajah dan institusi-institusi pendidikan yang dikembangkannya.

“NU pun telah banyak mendirikan universitas dan banyak pula pesantren hingga memiliki jenjang pendidikan tinggi universitas,” katanya.

Menurut Gus Hamid, para peneliti mensinyalir pada dekade tersebut (1970-an) adalah awal dimulainya urbanisasi kaum sentri. Namun apa yang terjadi pada dekade-dekade berikutnya, terutama sejak dekade 1990-an, adalah terjadinya gelombang besar sarjana NU dari berbagai disiplin ilmu.

Baca Juga: Gus Mus, Kisah Dibalik dan Makna Lirik Mars Satu Abad NU

“Wajah generasi NU pun berubah, tidak lagi hanya dipenuhi kaum kiyai dan ustaz-ustaz di kampung, seperti pernah diibaratkan KH Wahab Hasbullah bahwa mencari insinyur di NU seperti mencari pedagang es lilin di tengah malam,” katanya.

Tetapi kini, dalam jumlah yang hampir sama besarnya, bahkan lebih besar, adalah terdiri dari golongan profesional, peneliti, akademisi, politisi, hingga bisnisman.

“Kekuatan-kekuatan baru yang tumbuh dari 'tanah' NU itu jelas memerlukan ruang eksistensi dan kiprah baru,” katanya.

79