Home Regional Gagal Sejahterakan Warga Yogyakarta, Gubernur DIY Dituding Politisasi Falsafah Jawa Nrimo Ing Pandum

Gagal Sejahterakan Warga Yogyakarta, Gubernur DIY Dituding Politisasi Falsafah Jawa Nrimo Ing Pandum

Yogyakarta, Gatra.com – Peneliti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Miftahul Huda menyatakan istilah ‘nrimo ing pandum’ yang digaungkan oleh Gubernur DIY sangat politis. Hal ini sebagai upaya memperdaya nalar masyarakat yang tidak merasakan manfaat pembangunan.

Hal itu dikemukakan Huda dalam paparan ‘Demokrasi Narimo ing Pandum: Catatan Kritis Atas Kebijakan Gubernur DIY Periode 2017-2022', Selasa (14/2) sore, di kantor PKBI Yogyakarta.

“Konsep sebenarnya narimo ing pandum adalah berserah diri berkecukupan atas pemberian Tuhan. Ini adalah pengetahuan berbasis pengalaman dan tidak perlu diperdebatkan karena ranah pribadi,” jelas Huda.

Namun saat digunakan dan digaungkan oleh pemilik kekuasaan, yakni Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X, maka makna luhur narasi tersebut berubah dan bersifat sangat politis. Huda menyatakan, ada silang sengkarut logika dalam jargon ini yang berdampak nyata ke masyarakat.

Lewat jargon nrimo ing pandum, menurut Huda, Gubernur DIY seolah-olah mengajak masyarakat yang tidak pernah mendapatkan manfaat dari pembangunan di Yogyakarta menjadikan hal itu sebagai pemberian dari Tuhan.

“Padahal kebijakan berdasarkan logika, materi, dan proporsi sebenarnya bisa diukur. Ketika dimasukkan dalam konsep nrimo ing pandum, maka kebijakan itu tidak bisa diukur,” lanjutnya

Baginya konsep nrimo ing pandum yang digembar-gemborkan Pemda DIY Yogyakarta sangat bernilai politis dan memperdaya nalar masyarakat.

Menurutnya, kondisi ini dihadirkan untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat, khususnya dalam mengelola Dana Keistimewaan (Danais) yang tahun ini mencapai Rp1,3 triliun.

Kondisi ini merupakan dampak dari kekuasaan Gubernur DIY yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2013. Aturan ini membuat jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dipegang oleh Raja Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tanpa ada batas periode.

“Implikasinya, Gubernur merasa nyaman, tidak memiliki oposisi politik, tidak ada batasan periode, dan ada kepastian jabatan lagi. Dia bisa memimpin dan melayani masyarakat secara stagan, tidak ada perubahan, meskipun UMR murah dan ketimpangan kemiskinan terus meningkat,” jelasnya.

Terlebih lagi, kata Huda, kekuasaan ini tak disertai oleh transparansi penggunaan Danais. Dana tersebut tak bisa diakses oleh masyarakat dan diaudit oleh lembaga pemerintah di pusat maupun daerah.

Direktur IDEA Yogyakarta, Teti Novari K, menyebut pihaknya tidak menemukan adanya kesetaraan hak berpolitik dan berpartisipasi bagi masyarakat.

“Akibatnya, masyarakat tidak bisa melakukan kontrol program pemerintah. Bagi kami, sebagus apapun program dan berapapun besarnya anggaran yang digelontorkan, namun jika prosesnya tidak terbuka, maka program itu tidak akan efektif,” jelasnya.

Menurut Tety, pemerintah daerah seringkali menyampaikan bahwa masyarakat bisa berpartisipasi dalam pengawasan kinerja dan penggunaan anggaran lewat berbagai platform digital. Namun faktanya, saat diakses laman-laman tersebut sering error.

“Jadi errornya keterbukaan, bukan dianggap permasalahan. Karena masyarakat belum mengetahui program yang dijalankan. Maka masyarakat disalahkan karena belum mengetahui program-program yang dijalankan, khususnya lewat Danais,” tuturnya.

1731